Yan Zavin Aundjand

Selamat Datang di Prasmanan Sastra Yan Zavin Aundjand
Peringatan: Dilarang Pipis di Sembarang Tempat

Minggu, 12 Februari 2012

Tarian di Ranjang Kyai


 Sebuah Sinopsis Cetakan Kedua

Sebuah kebudayaan dan tradisi masyarakat desa yang tak pernah mati merupakan salah satu wujud yang membuat masyarakat desa itu tetap ada, meski orang-orang mengatakan itu jauh dari kemajuan dan peradaban arus globalisasi. Semisal tradisi merantau, nikah dalam usia anak-anak dan muda, bertani, carok dan harga diri, pendewaan terhadap kiai, upacara kematian, mistik, dll. lain lagi minimnya dan tidak adanya pendidikan di masyarakat desa itu sendiri.
Sebuah gambaran masyarakat desa yang jauh dari kemajuan menurut pandangan masyarakat modern bahwa tradisi tersebut masih kental dilakukan. Tradisi yang sangat menonjol dalam novel ini adalah banyaknya orang menikah dalam usia anak-anak, dan banyaknya orang melakukan perantauan ke luar daerah—mencari kehidupan, mencari jati diri agar mereka dikenal sebagai orang yang bermateri meski sementara waktu harus meninggalkan anak-anak dan istrinya. Mereka bisa dianggap sukses jika mereka sudah sukses di tempat perantauannya. Pulang membawa sejuta kebahagiaan dan mencukupi segala kebutuhan keluarganya. Begitulah masyarakat desa tersebut menginginkan kesuksesan itu tercapai dan digapai.
Ada peristiwa menyedihkan, seorang perempuan hamil selama 16 tahun lamanya, yang diyakini adanya perselingkuhan dengan tokoh masyarakat yang dianggap kharismatik di desanya. Tidak ada satu pun orang yang dapat mengatasi kehamilannya, bahkan pihak rumah sakit mengatakan, tidak ada masalah dalam kehamilan itu, bayi sehat, janin juga sehat. Jalan satu-satunya yang diberikan dokter padanya, dia harus di operasi, namun mereka tidak mau, disebabkan foktor ekonomi tidak mampu untuk membayar biaya operasinya itu. Meraka hanya terus menunggu dan menunggu kepastian dari sang Maha Pencipta selama 16 tahun lamanya.
Hari telah ditentukannya. Dia meninggal dalam keadaan hamil. Sembari melahirkan ketika dia dibaringkan dalam liang lahat. Pada hari yang sama, menyusul kemudian pembantaian dan pembakaran pondok salah seorang tokoh masyarakat. Sang tokoh disalib. Mayatnya dijadikan pajangan selama 24 jam keliling desa. Pendewaan masyarakat terhadap tokohnya berakhir pada masa berakhirnya kehamilan itu—ketika semuanya hancur terkubur. Kisah tiga desa dalam novel ini mengalami masa buram dan dipenuhi dengan rasa ketakutan, yaitu matinya ibu hamil selama 16 tahun, matinya bayi yang dikandungnya, pemerkosaan dan terbunuhnya tokoh kiai, bunuh diri, dan hancurnya pesantren yang dibakar oleh masyarakat tiga desa itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar