Yan Zavin Aundjand

Selamat Datang di Prasmanan Sastra Yan Zavin Aundjand
Peringatan: Dilarang Pipis di Sembarang Tempat

Minggu, 12 Februari 2012

Pekabar dari Negeri Diyalarium


 Daftar Isi

·      Sesobek Cerita di Taman Zoeliana
·      Kumpulan Cerita dari Perjalanan Hijriyan
·      Percakapan Alif dan Harkat
·      Di Gelarina Senja
·      Pekabar dari Negeri Diyalarium
·      2 cm. Menuju Gelarina
·      Cintaku Padamu Cuma-Cuma, Yang Tertinggal di Asrama. Kau yang Selama Ini Kupuja, Telah Membuatku Sakit Jiwa. Inilah Jiwaku yang Terpotong-Potong, Menjadi Empat Bagian di Antara Gerak Jemari-Jemari dalam Menghitung Hari dan Kapan Aku Mati Dan Kau Ungkapkan Cintamu Itu Dalam Peti Mati
·      Perempuanku Tidak Perawan
·      Separuh dari Jiwaku Pergi


Pengantar
Oleh Mohammad Mahrus

Membuat sebuah cerita pendek menjadi salah satu pilihan bagi seorang penulis untuk menyampaikan ide gagasannya kepada khalayak umum. Gaya penyajian naratif dan sarat dengan nuansa estetik pun menjadi salah satu muatan yang tidak akan terlepas dalam prosa semacam ini. Oleh karenanya, sebuah gagasan dan penyajian yang menarik tidak jarang membuat pembaca mudah mengingatnya. Lagi-lagi hal ini dikarenakan sebuah pilihan.
Saya berpendapat, bahwa secara umum para penulis—dan apa pun yang ditulisnya—kini sedang dihadapkan dengan realitas ganda. Pertama, bagaimana seorang penulis dituntut untuk mengafirmasikan eksistensinya yang mengada. Sebagaimana diketahui bahwa zaman telah bergerak sesuai dengan potensinya sendiri. Progressifitas menjadi argumentasi dari proses pergerakan yang akan terus berlangsung hingga tiba saatnya kelak semua akan terhenti. Realitas inilah yang menterjemahkan bahasa perubahan dalam eksistensi seorang penulis; tentang bagaimana dahulu menjadi seorang penulis berarti juga siap menjadi orang-orang yang tersisihkan. Akan tetapi, kini siapa pun bisa menulis dengan tanpa idealisme sekalipun.
Kedua, kenyataan adanya pertarungan yang dahsyat di luar wilayah kepenulisan itu sendiri. Berangkat dari asumsi bahwa arus globalisasi menjadikan impian-impian yang dicitakan oleh para penulis pendahulu kini mulai teruduksi. Pada kenyataannya saat ini penulis sudah tidak terhitung lagi jumlahnya, dan itu perlu kita syukuri, akan tetapi di sisi lain bertambahnya jumlah penulis tersebut tidak dapat memberikan jaminan kesadaran dan kesejahteraan bagi masyarakatnya untuk lebih bijaksana dalam menunaikan tugas kemanusiaannya.
Benar!!! Ini adalah sebuah wacana, tapi tidak hanya sekedar untuk dibicarakan. Urgensitasnya akan terasa dalam penyikapannya.
Sebuah kumpulan cerita pendek yang tengah berada di tangan pembaca ini pun tidak terlepas dari wacana yang tersebut di atas. Secara pribadi, saya yakin akan adanya kesadaran dalam diri penulisnya, bahwa apa yang dituliskan tidak akan menjadi sebuah kepuasan (pribadi), atau bahkan hanya menjadi kesiaan belaka (na’udzu billahi min dzalik). Ada harapan besar yang terkandung dalam cerita-cerita yang disajikan sang penulis; terlepas dari apa, siapa, dan kapan harapan-harapan itu akan tertuai. Dengan gaya tuturnya yang khas, penulis bercerita, bersyair, mendongeng, menangis, menggurui, belajar, meratap dan tertawa sekaligus. Kenapa? Banyak nuansa yang membuat seseorang akan bertanya-tanya, mencoba meraba, bahkan terjebak ketika membaca dan memahami cerita-cerita di dalamnya.
Selebihnya, semoga para pembaca cukup peka dalam menangkap pesan-pesan yang hendak disampaikan penulis melalui gaya tuturnya yang sopan, meski terkadang juga kurang sopan, dan jika pun kesopanan mempunyai wilayah dan batasan-batasan sebagaimana harapan pembaca.
Akhirnya, selamat membaca!

Yogyakarta, 12 November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar