Yan Zavin Aundjand

Selamat Datang di Prasmanan Sastra Yan Zavin Aundjand
Peringatan: Dilarang Pipis di Sembarang Tempat

Minggu, 12 Februari 2012

Pengantar Labuk Dhellika


MAGIS DAN MENEPI:
Sisi Lain Pembacaan Labuk Dhellika

Oleh: Ustadzi Hamzah


Sebagai seorang yang tidak begitu mendalam dan berpengalaman dalam dunia kesusasteraan, saya mencoba menelusuri setiap kata dan kalimat yang terucap dan tertulis dari buku Labuk Dhellika ini untuk kemudian membentangkan makna-makna yang tak terucapkan dan tertuliskan. Pengalaman saya membaca dan mencoba menerka kata yang tak terkatakan oleh Yan Zavin ini adalah yang kedua kalinya. Sebelumnya saya di beri kesempatan untuk “membaca” karya Yan Zavin berupa novel Tarian di Ranjang Kiai (Azhar Risalah, Kediri, 2011). Di situ saya mencoba melihat “karya sastra” dari perspektif yang lain, yakni dari beberapa kajian Sosiologi Agama. Dengan menggunakan tema kajian “Sentuhan Raja” March Bloch (1979) novel itu memposisikan “Kiai” sebagaimana “raja” dalam konteks role-nya dalam masyarakat. Ada lapis-lapis plot cerita yang memposisikan kiai sebagai sosok yang kompleks dan “adiluhung”, seperti “raja” di dalam masyarakat Eropa abad pertengahan yang juga memposisikan raja sebagai axis mundi. Dan, menurut persepsi saya pribadi, “cara membaca” saya atas novel itu cukup memperjelas kata yang tak terkatakan yakni relasi atas-bawah,  pusa-tepi, luas-sempit, desa-kota, perantau-mukim, dan relasi opisisi lainnya; yakni antara kiai-masyarakat, orang desa dan kota, dan lain-lain; meskipun masih membutuhkan orang untuk ikut membersihkan kaca mata baca saya agar tetap jernih.
Hal yang sama juga akan saya praktikkan untuk membaca Labuk Dhellika ini. Hal ini saya rasa perlu karena perspektif yang beragam akan lebih memperkaya jangkauan kata yang tertulis menjadi kata yang tidak berhenti pada tulisan saja, tetapi kata yang berkata. Mengawali pembacaan saya untuk mengantarkan kumpulan puisi ini, perlu disampaikan bahwa puisi atau karya sastra lainnya merupakan bahasa hati, bahasa perasaan, bukan bahasa lisan atau tulisan meskipun bentuknya tulisan dan rangkaian kata. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan adalah tafsir makna atas rangkaian kata dan kalimat yang diungkapkan. Untuk itu beberapa perspektif mungkin nanti akan dipakai dalam mencoba memaknai buku ini sebagai pengantar bagi segenap pembaca yang hendak berselancar di dunia rasa, susastra.
Secara umum buku kumpulan puisi ini berisi dua bagian yang masing-masing bagian mewakili rasa dan makna yang berbeda. Bagian pertama yang bertajuk Tujuh Ayat Dhellika mengisyaratkan satu transendensi emosi yang tinggi. Satu demi satu puisi terangkai dan berpuncak pada “sunyata” sastra yakni “keabadian”. Pembicaraan tersebut nanti akan saya ungkapkan setelah pargraf ini. Kemudian bagian kedua diberi judul Labuk Lubuk, yang lebih memproyeksikan emosi-emosi lokal sebagai perwujudan dari “imanensi” penulis atas kenangan yang diperolehnya dalam meniti hidup di kampung halaman.
Pada bagian pertama buku ini, penulis berusaha memaparkan pengalaman-pengalaman transenden baik bagi dirinya maupun orang lain. Misalnya di sajak Tembang Sorban:

“tanpa restu anugrah dariNya, oh kekasih terima kasih cinta.” gundah hati dalam dimensi ruang dan waktu. jalan hitam, sepasang pengakuan diri pada Tuhan untuk merelakan segala dalam keabadian diri yang tunggal. memangsa rumusrumus kebatilan.

Transendensi merupakan sebuah proses meniti eksotisme jiwa menuju kesadaran esoteris-transenden—sebuah istilah dari Fritjof Schuon. Proses ini muncul ketika sebuah kesadaran nanusia dihadapkan pada pengalaman-pengalaman “luar biasa” yang datang dan berada di luar kemampuan dirinya. Pengalaman itu berkecamuk, menggelora, dan menggetarkan relung-relung emosi sehingga memunculkan ungkapan-ungkapan “eksotik”, mendalam, dan terkadang tidak terlalu mudah dicerna dengan gaya bahasa, tutur, dan tradisi lisan/tulisan semestinya. Ungkapan-ungkapan itu sangat pribadi, berliku, gamang, dan melompat-lompat. Bukan berarti tanpa makna, tetapi mengemas makna menjadi sangat-sangat bermakna dengan memaknai setiap helai makna dengan ungkapan nir-makna. Itulah ekstase dan merupakan tahap-tahap transendensi. Bukan sebuah kebetulan, tetapi sebuah kesengajaan mengungkapkan emosi transenden menjadi kata.
Dalam dunia emosi-transenden hal terebut bukan hal baru, tetapi sangat biasa. Mircea Eliade –salah satu ahli Fenomenologi Agama menggambarkan bahwa ungkapan-ungkapan tentang “yang suci” selalu meniscayakan sebuah kata dan ungkapan yang tidak sepenuhnya bisa mewakili perasaan akan yang suci tersebut, dan inilah yang disebut dengan ganz andere. Oleh karena itu, proses transendensi juga mengarah pada gaya-gaya ganz andere tersebut, yakni ungkapan-ungkapan “magis”, eksotik, pribadi, dan berliku. Ada sesuatu yang sangat besar dirasakan oleh penulis, tetapi ketika diuangkapkan dalam bentuk ragam bahasa maka perasaan itu luluh menjadi bahasa yang –seperti saya katakan di atas, berliku, pribadi, dan terkesan magis. Misalnya pada sajak berikut:

dhellika 1: dhellika
kuduk: tentang riwayat gerak hidup dalam detak kuduk, semayam nadi

dari lelap malam menyajikan gentayangan ruh. harapan kembali menjadi diri sendiri pada tawa hari bermain dahaga.
dhellika, adalah kekuatan bangkit dari tidurnya; kendali seluruh alam melepas identitas diri, tubuh dibiarkan diam—karena malam bukan miliknya. hentikan malapetaka dari malam, sampai terbuangbuang.

Ungkapan-ungkapan di atas jelas menggambarkan sebuah “perasaan atau peristiwa” besar, namun ketika terucap pola-pola ungkapan menjadi berliku dan sangat pribadi, sehingga mengeluarkan nuansa magis.
Gambaran-gambaran seperti itu tertuang pada sebagain besar sajak di bagian pertama dari buku ini. Maka, kalau pembaca mengikuti seluruh goresan-goresan tulisan penulisnya akan terbawa ke dalam nuansa yang sangat magis, sebuah  nuansa yang hanya bisa digambarkan dengan perasaan pula dan bukan dengan kata-kata. Salah satu bentuk gambaran rasa untuk ungkapan nuansa magis biasanya melalui proses pencitraan –proses ini lazim digunakan oleh sastrawan puisi dan novel; dan juga banyak ditemukan dalam tulisan religius untuk menggambarkan perasaan dan emosi mendalam. Pencitraan biasanya menggunakan istilah-istilah harian yang dekat dengan penulis, sederhana, logis, dan bahkan sepele. Meskipun demikian, pencitraan itu menggambarkan sebuah perasaan yang besar. Misalnya dalam sajak Tajhin Sappar:

tajhin sappar ditukar atas dasar persaudaraan. di sana, makhlukmakhluk di luar manusia mengikuti: menyulap seperti sebentuk rahasia bumi. hingga tumbuh reranting, tanah menghijau, musim subur atas nama anugerah malaikatmalaikat hinggap di atapatap rumah tak berpenghuni.

Tajhin Sappar –sebuah makanan tradisional menjadi “antara” rasa, emosi dan peristiwa. Bukan sekedar tajhin (Jawa: tajin), tetapi memediasi peristiwa menjadi rasa dan emosi. Sesuatu yang sederhana, dekat, sepele digunakan untuk mengungkapkan peristiwa “pemberontakan” tradisi atas kurangnya kedekatan antara manusia dengan tuhan. Beberapa citra digunakan penulis dalam beberapa sajak di bagian pertama dari buku ini yang orientasinya mengungkapkan perasaan besar, apresiasi, bahkan pemberontakan. Dan, pencitraan ini menjadi gaya tersendiri dari puisi tutur naratif Yan Zavin dalam Labuk Dhellika ini.
Kemudian bagian kedua buku ini penulis lebih asyik membiarkan “kenangan” kampung halaman menghiasi setiap perasaan yang terungkap dalam sajak-sajaknya. Penulis berusaha memproduksi kembali peristiwa, benda-benda, sosok-sosok yang dialami di kampung halaman menjadi sebuah riwayat yang menjadi arus besar “sejarah”. Maksudnya tentu mengungkapkan kembali peristiwa yang terjadi di tepi menjadi peristiwa yang memutar arus sejarah yang berada di pusat. Aliran ide yang tertuang di sajak-sajaknya mempertegas relasi antara tepi dan pusat, dan penulis cenderung menepi –kembali ke Madura. Kampung nelayan, rokok tingwe (nglinting dewe –membuat rokok dari secarik kertas sendiri, bukan buatan pabrik atau alat), warung kopi, layang-layang, dan lain sebagainya menjadi tema utama meskipun terkadang dijadikan alat pencitraan. Misalnya sajak Balndongan:

di blandongan
asapasap berterbangan di ruangruang remang
aku mencaricarai jati diriku
pada secangkir kopi dan sebatang rokok lintingan
katanya, bebaskan anakanak bangsa dari bahaya kekurangan kopi.

Kemudian juga di sajak Jejak Sepatu:

masih ada jejak sepatu merintih
di pinggiran seberang jalan
jejak menginjak kakikaki nelayan pulang
untuk menghampiri anak isitrinya menunggu di lidah jalan

Nuansa lokal Madura –khas kampung halaman penulis ditampilkan sebagai bentuk “pembalikan” arus sajak yang “hanya” mengungkapkan keabadian yang abstrak, mengungkapkan emosi-emosi tengah sebagai ungkapan poros, menjadi sajak yang mengakomodasi fenomena tepi menjadi arus sastra puisi. Dari 32 sajak di bagian kedua buku ini, penulis menampilkan nuansa tepi –kampung halaman sebagai poros ungkapan sastra yang baik. Tentu nuansa ini juga dapat ditemukan di beberapa sajak di bagian pertama. Artinya, di dalam kedua bagian tersebut terdapat nuansa magis dan tepi dengan intensitas yang berbeda dan menyebar di beberapa sajak.
Diskursus pusat-tepi mungkin bukan sesuatu yang asing dalam diskusi ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Edward Shils misalnya merampungkan teori center-periphery dari kajian-kajian pendahulunya. Ide utama kajian ini adalah bagaimana relasi pusat dan tepi, dan bagaimana konsekuensi logis yang ditimbulkannya. Pusat biasanya menjadi acuan bagi tepi. Dengan karakter yang “determinan” pusat telah menjadi trend-setter bagi budaya tepi. Dan tepi sendiri biasanya juga “hanya” mengikuti arus yang terjadi di pusat. Meskipun demikian, beberapa kajian, misalnya Wertheim dan Heischmann, telah menunjukkan bahwa tepi merupakan “counterpoint” bagi pusat. Dan, sajak-sajak pada bagian kedua dari buku Labuk Dhellika ini sepertinya ingin melakukan hal yang sama dengan pola-pola kajian Wertheim dan Hirschmann di bidang Sosiologi dalam “membalik” arus sastra “pusat” ke “tepi” di bidang Sastra. Mungkin penilaian saya salah, tapi tafsiran saya tentang sajak-sajak di bagian kedua buku ini mencoba melihat dari sisi yang berbeda dari cara pandang susastra.
Segala sesuatu pasti membutuhkan apresisasi dan kriktik, maka hadirnya Labuk Dhellika ini juga masih menyisakan beberapa hal untuk dikritik dan tentunya dari perspektif sastra. Adapun pembacaan dari perspektif lain mungkin hanya sedikit bisa masuk ke kritik, tetapi apa yang saya lakukan lebih banyak mendeskripsikan saja dan mengapresiasi –tentu karena keterbatasan saya dalam melihat karya sastra dari perspektif sastra. Dan, tentunya hadirnya buku ini bisa menambah khazanah sastra “tepi” dan lebih khusus lagi bisa memberi inspirasi bagi teman-teman penulisnya di Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk giat menulis, baik dalam bidang sastra maupun dalam bidang-bidang yang lain.

Yogyakarta, 10 Oktober 2011

Ustadi Hamzah, dosen agama dan sosiolog di Fakultas Ushuludin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar