Naskah Mentah Novelku Bagian Ketiga (judul besar dirahasiakan).. hehehehe... monggo-monggo
oret-oretan: jam 02.35 s/d 03.25 wib sambil Facebookan
3
Orang tuaku sudah tak lagi merantau. Mereka sudah bisa hidup di
kampung dengan sederhana. Ayah mencoba melanjutkan pekerjaannya menjadi
pedagang kayu-kayu bangunan di rumah sebagai pekerjaan sampingan, sesekali dia
diundang untuk jadi tukang bangunan di desa-desa tetangga. Selain itu,
pekerjaan tetap ayahku bertani; menanam jagung, jabi rawit, kedeli, kacang,
kacang hijau, tembakau, sesuai dengan aturan musim menanam. Kami makan dari
hasil pertanian kami. Di sini aku mulai diajari ke sawah, ke talon untuk bantu-bantu orang tuaku
bertani.
Kata ayahku, aku sudah besar, jadi aku harus bisa bekerja.
Pekerjaanku selain bantu-bantu bertani, aku mesti setiap hari ngangkut air
dengan Pelteng dari sumur Bates; air buat mandi,
buat nyuci, buat masak, buat minum, dan lain sebagainya. Setelah itu aku
mencari rumput, dedaunan, atau apa saja yang bisa dimakan buat makan sapi.
Orang tuaku punya dua peliharaan sapi. Biasanya, ibuku setelah memasak buat
sarapan pagi, dia juga ikut mencarikan makan sapi. Orang menyebutnya ngare’, ngare’
itu mencarikan dedaunan, rumput, atau apa saja yang bisa dimakan buat sapi,
dengan membawa celurit atau arit kecil dan gerinjing. Gerinjing itu adalah wadah buat rumput, dedaunan,
dll., yang terbuat dari bambu dengan cara diiris tipis yang kemudian dibentuk
bulat, renggang, dan berlubang.
Aku menjadi anak yang nurut apa yang disuruhkan oleh orang tua.
Aku tak pernah melawan. Namun, seringkali setelah pulang dari Langgar, yang
sering ditanyakan oleh orang tua adalah, “ghenthong sudah kamu isi, Nak…?” atau “kamu sudah
cari makan sapi, Nak…?” ghenthong itu tempat penampungan air yang
diletakkan di pakeban,
yang terbuat dari tanah, berbentuk bulat seperi kendi, tapi
bentuknya besar dan lubangnya juga besar. Pakeban itu adalah tempat untuk mandi, anggaplah
kamar mandi. Pakeban
posisinya harus diletakkan di samping kanan rumah, berbentuk segi
empat. Kamar mandi yang sederhana, hanya membutuhkan empat tiang bambu kecil,
atau kayu seukuran panjang badan sampai dada yang ditancapkan ke tanah dengan
ukuran panjang dan lebar empat persegi, tanpa atap, kemudian dipasang
aling-aling dari kain atau dari tikar atau apa saja agar ketika mandi aurat
tertutupi. Ada pula yang tidak dibentuk seperti itu, hanya cukup ada ghenthong,
tapi ditutupi dengan pohon-pohon pisang yang ditanam di pinggir ghenthong.
Di masa ini, aku tidak pernah membayangkan punya cita-cita yang
bagaimana. Aku masih kecil. Usiaku masih sembulan tahun. Aku masih suka main.
Orang tuaku tidak sepenuhnya menjadikan aku orang yang berpendidikan dan
berpengalaman. Aku tahu bahwa saat itu, orang tuaku tidak mementingkan aku
berangkat ke sekolah. Aku terus disuruh bekerja membantu pekerjaannya, apa saja
yang mereka kerjakan, aku harus selalu ada membantunya. Aku sadar betul, orang
tuaku tidak pernah mengingatkan aku pergi ke sekolah, baik ke SD atau pun ke
Madrasah. Kecuali kadang, serigkali orang tuaku mengingatkan aku dan menenyakan
aku berangkat ngaji ke Langgar, selebihnya tidak.
Aku juga baru tahu bahwa ayahku sangat ganas dan keras. Setiap
kali aku tidak berangkat ngaji ke Langgar, aku pasti diseret dan dipukul dengan
irisan potongan bambu. Sedang aku sudah mulai malas-malasan pergi ke Langgar
atau pun ke sekolah. Dalam pikiranku cuma ada main dan main dengan teman-temanku.
Aku tak pernah merasa takut dan cedera meski ayahku keras memukuliku atau kiai
di Langgar karna aku jarang berangkat ngaji. Tapi aku tidak pernah absen dalam
membantu orang tua bekerja, aku selalu ada.
“Nak, nanti kita nanam jagung,” kata ibu mengajakku.
“Iya, bu’…” balasku. Aku baru saja selesai mencari makan sapi,
sebentar lagi berangkat ngambil air dari sumur. Jarak dari rumahku ke sumur
yang aku tuju, bisa dibilang lumayan jauh, sekitar setengah kilo meter
perjalanan. Dan setiap hari, aku mesti bolek balik sampai tiga kali buat ngisi
air ghenthong mandi dan ghenthong dapur. Kadang aku ngangkut air
dulu baru cari makan sapi. Tergantung mana yang lebih didahulukan.
“Makan dulu, Nak,” ucapnya.
“Iya.”
“Nanti biar tidak usah dikirim nasi ke talon. Biar ayahmu saja yang makan
di sana. Kamu makan dulu, nanti makanan ayahmu kamu bawa, ya…?”
“Iya, bu’..”
Aku pergi ke dapur. Sepertinya aku tak bisa ngangkut air hari ini.
Aku mesti cepat-cepat makan dan mengantarkan makanan buat ayah yang sejak tadi
sudah ada di talon
sendirian.
“Nak, kamu harus bisa anggheleh,”
kata ayah setelah aku sampai di talon. Kulihat ayah belum selesai ananggheleh talon, masih tinggal
separuh.
“Kamu coba dulu. Ayah mau makan…”
“Iya, Yah…” dengan hati-hati aku berdiri mendekati nanggheleh atau
alat bajak, kupegangi ujungnya dengan tangan kanan, dan kupegangi tali sapi
dengan tangan kiri. Meski hati ragu dan takut, aku mesti mencobanya dan harus
bisa. Nenekku dari ibu membantunya dari belakangku memasang atau menaburkan
jagung ke tanah yang sudah dibajak.
Nanggheleh
adalah salah
satu cara untuk mengolah tanah cara petani, yang dilakukan menggunakan tenaga
sapi. Alat nanggheleh
itu terdiri dari nanggheleh
yang terbuat dari kayu dibentuk palang (siku), palang pertama berukuran kecil,
yang kedua memanjang ke depan dengan sedikit melengkung. Di ujung palang kedua
itu terdapat pangonong;
pangonong itu kebanyakan terbuat dari bambu,
berbentuk pendek seukuran dua sapi berdiri berjajar rapat, yang nantinya
diletakkan di leher sapi.
Alur penanaman dilakukan secara memutar dengan mengatur jarak
antar baris bajakan 40 cm dan diikuti peletakan benih Jagung dengan jarak dalam
baris benih 40 cm. Setelah benih disebar
atau diletakkan, tanah kemudian ditutup menggunakan alat bajak lagi (nanggheleh).
Caranya dengan melewati tanah tengah antar barisan yang tidak disebari benih
Jagung. Sampai nanti waktunya pendangiran dilakukan juga memakai alat bajak,
yaitu dengan cara melewati tengah tanaman secara bergantian.
Ah, hasil bajakanku tidak lurus, tidak seperti hasil bajakan
ayahku. Aku berhenti saja nunggu ayah selesai makan, dari pada kocar kacir
tidak karuan, mending ayah saja yang mengerjakan. Aku mesti melihat dulu
bagaimana cara ayah menyetir alat bajak yang diseret oleh kedua sapi itu.
“Lo.. kok sudah berhenti, cong?” kata ayah sudah selesai makan.
rokok di tangannya baru saja dia sulut.
“Tidak tahu..” lalu aku tersenyum sendirian. Ayah membiarkan aku
meletakkan alat bajak itu, kemudian aku duduk di dekat ayah.
“Sudah, tidak apa-apa,” kata nenek. Lekas ibuku datang.
“Lo… masih tinggal banyak, ya…?”
“Iya. Itu kacong, suruh melanjutkan malah duduk duduk…” sambut
ayah.
Ibu diam tidak membalasnya.
Ibu mendekati nenek, mengambil bakul berisi jagung di tangan
nenek.
“Biar aku saja. Ibu pulang saja,” nenek mengangguk.
“Kacong pulang saja, ngangkut air sana… pulang sama nenek,”
lanjutnya.
“Iya,” jawabku.
Nenek berjalan dengan santai menuju pulang di belakangku.
Sesampainya di rumah, aku dengan segera mengambil pekolan
atau alat pikul dan pelteng berangkat ke sumur. Untuk mengisi pelteng
dengan air itu, aku harus mengambilnya dengan timba beberapa kali tarikan.
Terakhir aku mandi di pinggir sumur sebelum berhenti mengangkut air. air ghentheng harus
penuh sebelum ayah dan ibuku pulang kerja, sampai di rumah mereka tinggal
mandi, mengambil wudhu’, lalu sholat.
Setelah aku selesai bantu-bantu keluarga, aku pergi bermain dengan
teman-teman di tetangga, dan ke mana pun aku mau. Aku jarang berada di rumah,
kadang pulang hanya untuk makan, pulang hanya untuk ngangkut air dan cari makan
sapi, tapi kadang makan di tempat rumah teman di tetangga. Orang tuaku jarang
menyuruhku pulang ke rumah, kecuali jika di kandang sapi dan pakeban
tidak ada apa-apa, alias aku tidak cari makan sapi dan mengisi air ghenthong,
dikarenakan aku sering telat bangun pagi di rumah tetangga.
Siang itu, aku ngompet di kandang sapi Mantoan Saripah, kandangnya
jauh dari rumahnya. Saat itu aku malas sekali pergi ngaji ke Langgar. Ngumpet
itu sudah menjadi kebiasaanku dengan teman-teman untuk tidak ngaji, kadang aku
dengan teman-teman ngumpet di kandang, di dalam selokan kering, di rumah orang,
di mushalla orang, dan kadang dimana saja yang penting aman dari pantauan orang
tua, kiai, dan orang-orang yang mungkin akan memberi tahu keadaan kami ke orang
tua. Aku tidak pernah punya pikiran untuk berbuat hal lain yang lebih nyaman
dari pada harus ngumpet, padahal ngumpet itu capek dan pengap di tempat yang
sempit dan gelap. Kadang aku sekongkol dengan orang-orang di tetangga tempat
aku ngumpet, mereka sepakat tidak memberitahuku ada di rumahnya. Malam aku
biasa ngumpet di rumah tetangga, siang aku biasa di kandang sapi orang.
Aku sangat takut bila aku sampai ketahuan ayahku tidak berangkat
ngaji, aku pasti diseret dan dipukul. Ah, di kandang sapi itu, Mantoan Saripah
datang menjenguk sapinya. Menjadi kebiasaan setiap siang selepas dhuhur,
Mantoan Saripah membawakan air buat sapinya di kandang. Entahlah, aku yang
sadari tadi ngumpet di belakang kandang dekat pantat sapi, tiba-tiba sapi
dengan sendirinya gelisah. Bokong sapi terus bergerak ke kanan dan ke kiri.
Mantoan Saripah yang saat itu sedang menyguhkan sapinya merasa kaget dan heran
dengan tingkah sapinya yang tidak seperti biasanya. Dengan rasa khawatir,
Mantoan Saripah memeriksa sapinya yang gelisah itu, cuma itu sapi yang gelisah,
sementara yang lain tidak. Sapi di kandang itu tiga ekor sapi, semuanya
beser-besar. Aku tak tahu bahwa dia sedang memriksa sapinya yang terus bergerak
itu.
“Ah, kamu kenapa di sini, cong?” tanyanya tiba-tiba. Aku kaget.
“Tidak..” jawabku sembarangan.
“Kamu tidak ngaji, ya. Nakal. Saya akan kasih tahu ke ayah kamu,
nak. Jadi kamu yang membuat sapi saya ketakutan. Untung kamu tidak ditendang
sapi. Sana pergi. Sana pergi ngaji, cong. Ketahuan ayah kamu, mati kamu, cong.
Anak sekarang memang begini, disuruh ngaji malah ngumpet,” kata Mantoan Saripah
terus memarahiku. Aku takut. Aku pergi.
Pergi yang entah aku ke mana, mau mencari aman seperti sudah tidak
aman. Sebentar lagi ayahku pasti mencariku. Aku berjalan pelan melewati jalan
menuju ke rumah temanku, rumah Ji Matthohir, di sana biasanya tempat anak-anak
ngumpet dan tidak ngaji. Aku sering ngumpet di sini kalau malam.
Tak lama kemudian, menjelang beberapa saat, ada suara menyebut
namaku;
“Neng, ada Sufyan ke sini?” suara ayahku. Dia menanyakan aku ke Ji
Matthohir yang sedang duduk di teras rumahnya, yang punya rumah.
“Tidak tahu. Coba lihat sendiri di belakang,” balasnya.
“Masak dia sekarang sudah jarang ngaji. Mau jadi apa anak itu…”
gerutunya sambil melangkahkan kakinya ke belakang rumah.
Kulihat ayahku membawa sapu lidi di tangan kanannya sambil
berkata;
“Cong, pulang, cong. Pulang, nak. Kamu tidak ngaji. Kamu sudah
licik sama orang tua, cong…”
Mendengar suaranya, aku langsung lari, kabur dari tempat
persembunyian itu. Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk lari kencang, tapi
tidak bisa, kaki ayahku lebih panjang dan lebih kencang mengejarku. Aku kenak
juga. Tanganku dipegang dan diseret menuju pulang. di jalan itu, aku tak
henti-hentinya dipukul dengan sapu lidi yang sejak tadi dia pegang buatku. Aku
menangis dan terus menangis. Sampai rumah aku diikat di tiang dapur di depan
rumah dengan tali raffia, sambil dipukuli tubuhku yang sudah tak kuat menahan
sakit. Aku seperti menjerit-jerit kesakitan. Ibuku menangis melihatku yang
sudah babak belur, tapi seperti tak bisa dia mencegah ayahku berhenti.
“Kamu ini mau jadi apa? Orang tua sudah bela kamu agar kamu bisa
ngaji, tapi kamu malah ngumpet, jarang ngaji ke Langgar. Saya tahu, cong, kamu
jarang ngaji. Berangkat ngaji dari rumah, tapi kamu tidak sampai ke Langgar.
Mau jadi apa besok kalau kamu seperti ini perbuatannya,” kata ayah tak selesai
memukulku.
“Sudah. Kasihan Sufyan, sudah cukup…” cegah ibu. Ibu menangis
tergopoh-gopoh. Ayah berhenti memukul, lalu dia pergi sambil ngomel.
“Orang tua itu memasukkan anaknya biar anaknya tahu ngaji. Tidak
seperti orang tuanya ini yang tidak tahu apa-apa. Mau jadi apa dia besok.
Ngumpet lagi, nak, ya.. ngumpet, cong. Ngumpet, nak…! Tapi jangan sapai
ketahuan saya lagi.”
Ibu melepas ikat tali di tubuhku. Dia membawaku ke pakeban membersihkan
tubuhku yang berlumuran debu gara-gara diseret oleh ayah. Aku diam sambil
menangis, ibu juga menangis sambil memandikanku.
“Kamu jangan begini lagi, nak, ya… besok kamu ngaji yang benar.
Tidak usah mau ngumpet, cong…! Kamu kan tahu, ayahmu itu keras kalau mukul.
Besok ngaji lagi yang benar, ya…?”
Aku tak berkata apa-apa.
Ibu benar-benar pahlawanku.
Ibu merawatku, dia mengoleskan minyak tanah ke tubuhku yang cedera
dengan sapu dan di bagian yang luka. Sementara adikku, Maimunah, dia hanya diam
menatapku menangis. Entah, dia tahu apa tidak aku sehabis dipukul ayah. Tapi
dia menatapku dengan tatapan kasihan dan sayang, sama seperti tatapan ibuku.
Aku mulai berbaring di ranjang menenangkan tubuhku yang lesu. Aku tenangkan hati.
Kupejamkan mata hingga aku lelap.
#
# #
Hari ini aku mulai berangkat ngaji ke Langgar dengan rajin, aku
takut ayahku memukulku lebih parah lagi.
“Kamu kenapa tidak ngaji dari kemarin?” tanya kiai Ma’ruf
menydangku malam itu. Seperti biasa, kiai menyidang santri-santri yang tidak
berangkat ngaji, tangan kanannya memegang potongan irisan bambu. Tidak hanya
aku, banyak juga teman-temanku yang disidang.
“Saya sakit, Kiai…!”
“Sakit? Alasan kamu. Benar kamu sakit? Tidak bohong…?”
“Tidak, Kiai. Saya benar-benar sakit.”
“Ya sudah. Sana ngaji.”
Aku lolos dari pecutan kiai Ma’ruf. Tinggal teman-temanku yang
lain.
“Hasan? Kamu kenapa jarang ngaji?” bental kiai. Hasan kaget.
“Ikut ibu…”
“Kamu tidak bilang ke ibu kamu, kalau kamu ngaji?”
“Sudah…”
“Kenapa kamu tidak berangkat ngaji?”
“Saya dipaksa ibu…”
“Alasan kamu.. ke sini…? Tangannya di balik…?”
Hasan ikut saja apa yang diperintahkan oleh kiai Ma’ruf.
“Cetas… cetas… cetas…” tangan kanan Hasan dipukul sebanyak tiga
kali. “Cetas… cetas… cetas…” tangan kirinya, juga tiga kali.
“Berdiri…?” perintahnya lagi.
“Piyer… jangan diulangi lagi, piyer… jangan ulangi, ngaji yang
rajin, piyer… paham?” betis Hasan.
“Enggi…
enggi… enggi…” katanya. Hasan mengendus kesakitan.
Begitu juga dengan yang lain secara bergantian.
Batinku tiba-tiba meronta, kulihat kehidupan ini seperti tidak
adil. Hati kecilku mulai bertanya tentang Tuhan, “benarkah Tuhan memaksa
manusia untuk mengetahui ayat-ayat-Nya? Benarkah orang mesti dipukul gara-gara
jarang mempelajari ayat-ayat-Nya? Apakah ini ajaran Tuhan?” Aku bertanya-tanya
pada diriku sendiri. “Aku masih kecil, Tuhan. Aku tidak tahu apa-apa. Oh,
Tuhan, apakah Engkau melahirkanku hanya untuk seperti ini? Dipaksa untuk
mempelajari ayat-ayat-Mu?” terus tanyaku dalam hati.
Inginnya memberontak. Aku tak ingin hidup seperti ini, setiap hari
aku dilanda ketakutan dan sedih. Aku mesti merelakan masa-masa bahagiaku dengan
teman bermain hanya demi harus peri ke Langgar, ke Sekolah, dan ke Madrasah.
Aku tak punya kebasan memilih hidupku sendiri. Masa kecilku aku ingin disayang,
dimanja. Aku ingin semua orang tahu, dan memberiku jalan untuk memilih hidupku
sendiri.
“Anak lahir sampai umur tujuh tahun itu adalah tanggung jawab
seorang ibu, ibulah yang mendidiknya. Dari usia tujuh tahun sampai sembilan
tahun, itu adalah ayah yang mendidiknya. Ayah punya tanggungan untuk menyuruh
anaknya belajar agama, dan harus didik sholat. Bila seorang anak dalam usia
sembulan tahun masih tidak sholat, maka pukullah anak itu, tapi jangan sampai
cedera tulangnya. Namun, bila orang tua tidak mampu untuk mendidiknya sendiri,
maka pasrahkanlah anaknya kepada orang yang dianggap bisa dan mampu untuk
mendidiknya.” Kata-kata ini yang terus aku ingat dari seorang guru yang pernah
aku dengar di Madrasah.
Aku pasrah saja kemudian, bila itu memang benar perintah dalam
agama. Meski hati ini terus memberontak dan gelisah, tapi aku tidak punya
kemampuan untuk melawan atau pun pergi jauh sekalian. Aku sebenarnya ingin
hidup di suatu tempat yang akan membuatku damai. Tapi tak apalah, akan aku ikuti
semua cerita hidupku seperti ini, aku ingin tahu, sampai di mana dan sampai
kapan aku harus seperti ini.
#
# #
Di Langgar, aku mulai jadi santri yang dicocoki oleh kiai.
Artinya, aku seringkali disuruh bantu-bantu di dalem; menyapu, masak kopi dan teh ketika ada tamu, cari pakan
kambing peliharaan kiai, dan yang lainnya bila diperlukan. Sampai suatu ketika
aku dinyatakan sebagai kabuleh dalem di langgar. Aku mulai jarang pulang dari
langgar. Berangkat sekolah dank e madrasah dari langgar. Tidur di langgar.
Makan pun juga di dalem. Aku mulai jarang pulang ke rumah, dua hari atau tiga
hari aku pulang.
Orang tua lebih senang kitika anaknya kerasan di Langgar meski
jarang pulang sekali pun. Sebab, Langgar sudah dianggap sebagai tempat yang
suci, berpahala, dan tidak mungkin akan membuat seorang anak berbuat
macam-macam. Dia akan baik-baik saja selama berada di langgar. Senangnya.
Aku sendiri mulai nyaman dengan suasana di langgar, selain ngaji
dan mengabdikan diri kepada kiai dan nyai, malam aku bisa main-mainan dengan
teman-teman santri yang bermalam di langgar. Apalagi ketika terang bulan, kami
tidak pernah lepas bermain di halaman Langgar, bermain Selodor.
Kami senang sekali bermain Selodor. Kami biasa main Selodor ketika
sudah selesai ngaji kitab ke kiai Ma’ruf, baru setelah itu kami mulai main, ada
pula sebagian santri tidak ikut main karena piket ngisi air dari sumur ke kamar
mandi kiai sampai penuh. Setiap malam semua santri yang sudah dianggap besar
dan kuat, diberi tugas piket ngisi air kamar mandi kiai. Setiap kelompok piket
ada empat yang bertugas.
Kami mulai berbaris di halaman setelah ditentukan kelompok pemain
Selodor masing-masing. Permainan ini cuma ada dua kelompok. Satu kelompok menjaga
dan mempertahankan wilayahnya untuk tidak dimasuki lawan. Kelompok kedua, beraksi
masuk ke wilayah lawan.
Aku sendiri sebagai kelompok pertama. Kami berjaga, mengisi baris-baris
melintang dan tanda di lapangan atau halaman. Barisan seperti berlapis-lapis. Kami
mengisi strategi lapisan terakhir dan paling awal untuk orang-orang yang paling
panjang tangannya, karena dua lapisan ini yang kami anggap paling penting. Di
lapisan pertama ini yang menentukan lawat masuk ke wilayah kami, sedang lapisan
terakhir menentukan lawan dapat keluar dari wilayah kami. Di permainan ini,
kami tidak pernah membatasai jumlah orang selama halaman di depan langgar itu
cukup, dan jumlah orang tiap kelompok harus sama. Kadang kami bermain tiga
orang sampai sepuluh orang per kelompok.
Aku sendiri menjadi aktor utama dalam permainan ini, kami
menyebutnya sebagai Selodor. Selodor yang bertugas membelah wilayah atau lapangan
permainan menjadi dua. Sebagai Selodor, aku mendapatkan posisi terpenting dalam
permainan ini, aku bisa bergerak dari ujunng ke ujung, mengunci lawan dalam
satu kotak dalam baris. Mengunci lawan dalam kotak memang tidak mudah, harus
membutuhkan kelihaian, kelincahan, dan gerak cepat. Aku tidak hanya bertugas
sebagai pengunci, tapi juga dapat menyerang pemain yang sedang bengong yang
sekiranya bisa aku tangkap. Posisi terpenting yang perlu aku jaga itu adalah
baris kedua dari depan dan belakang.
Permainan Selodor ini bagiku, gampang-gampang sulit, asyik dan
menyenangkan. Kami bermain sesuai aturan, yaitu; apabila salah satu dari pemain
lawan, kelompok penyerang, sukses melewati rintangan, serta bisa kembali lolos
pulang (goal), maka dianggap kelompok penyerang dinyatakan menang dan permainan
diulang kembali tanpa ada perubahan posisi. Namun, kelompok penjaga dapat
mengalahkan kelompok penyerang apabila salah satu di antara mereka tersentuh oleh
kelompok penjaga dan kelompok penyerang sampai keluar dari baris kanan, baris
kiri dan kembali atau mundur. Maka, kelompok penyerang dinyatakan kalah, dan
permainan berganti posisi. Artinya, kelompok penjaga jadi kelompok penyerang,
dan kelompok penyerang jadi kelompok penjaga.
“Hu...” Budin dari kelompok penyerang mengecoh Tingwar yang
berjaga di baris pertama.
“Ah,” kata Tingwar, Budin lepas dari penjagaannya. Segera dia
dapat serangan susulan, juga lepas.
Aku dengan segera menguncinya dua penyerang yang masuk itu di
kotak kedua. Di kotak kanan baris kedua Budin, di kotak kiri baris ketiga
Sabrawi. Kedua orang ini terus mengocehku dan penjaga garis, namun aku tetap
siap siaga.
“Huh, guh, huh…” ocehnya. Tapi aku tidak getir sama sekali. Aku
atur strategi senyaman mungkin.
“Haaa…” teriakku. Sabrawi tersentuh tanganku saat dia mulai mau
masuk ke dalam baris keempat.
“Hureee…” kata kelompokku merasa senang dan puas. Aku juga ikut
bergembira karena aku bisa menangkap Sabrawi.
Pergantian posisi;
Aku jadi penyerang pertama dengan Atmari. Aku samping kanan,
Atmari samping kiri.
“Hep… hep… hep…” Atmari mengecohnya.
Penjaga baris petama Hosen. Atmari terus mengecohnya. Aku diam
saja mengambil kesempatan ketika Hosen mendekati Atmari.
“Hiap….” Aku masuk di baris kedua. Segera Atmari melompat saat
Hosen mengejarku.
“Hiya…” saat Atmari melompat, segera Mat Suhar menghadangnya, dan
aku tinggal melangkah menuju baris ketiga. Segera di antara kelompokku yang
lain masuk dari belakangku. Mudah sekali. Aku sudah sampai di tahap pertama
dengan Atmari, lepas di garis kelima, garis paling akhir.
“Sekarang aku sebelah kiri, kamu sebelah kanan,” usulku ke Atmari.
Dia mengangguk tanpa basa-basi.
Di baris kelima itu aku tinggal melangkah saja, karena penjaga
garis masih sibuk menghalang penyerang susulan. Baru di baris kedua aku dan
Atmari dihadang. Kami tetap di posisi yang direncanakan. Ah, dari belakangku
sudah ada yang menyusul kembali. Tambah mudah mudah untuk lepas dari baris ke
baris. Semakin banyak yang mengecoh, maka semakin bingung si penjaga baris.
“Selodor…” teriak Atmari, dia finis duluan dariku. Kami menang
lagi. Dan permainan diulang tanpa mengubah posisi.
Kami terus bermain, kedua kalinya kelompokku kalah, dan begitu
juga seterusnya. Masuk ke wilayah lawan memang kadang mudah-mudah gampang. Tapi
juga membutuhkan strategi dan kecepatan lari. Kami senang dengan apa yang kami
lakukan dan kami capai masing-masing, yang kalah dan yang menang akan sama-sama
puas dan bersedia menerima kekalahan. Keringat di tubuh kami bercucuran, mandi
keringat.
Malam sudah larut. Bulan meninggi di atas halaman tempat kami
bermain. Suasana ramai dengan teriakan kami bermain.
“Ha..yo, ha..yo, ha..yo..” kata yang lain.
“Huh huh, huh huh, huh huh, huh huh, huh huh,” teriaknya bersamaan
kelompok penjaga.
“Hiyaaaat…” ada yang berteriak sambil mengoceh.
“Itu, tuh. Itu, tuh. Muhari sudah masuk… kamu ke kanan… jaga,
jaga.. jangan sampai lolos…!” teriak Miskuri dengan lantang. Dia anak yang
dikenal paling kocak. Bawaannya selalu senyum dan tiba-tiba tertawa ketika ada
hal-hal yang diangap lucu.
“Ha… hayo…! Hiyat……” ad yang berteriak sambil menangkap lawan.
Kami bermain semakin seru dan seru.
“Anak-anak… berhenti…” suara kiai Ma’ruf dari dalam rumah. Kami
segera diam, dan berlarian satu-satu ke dalam Langgar.
“Sudah malam… tidur… takut shubuhnya tidak bangun,” lanjutnya.
Kami berebutan mengambil tempat tidur di Langgar. Kami terus tidur
dengan sarung bau keringat, tanpa baju, dan kaki berdebu. Sebelum shubuh kami
harus bangun, pergi ke sumur untuk mengambil wudhu’ untuk sholat shubuh
bersama, serta dilanjutkan ngaji al-Qur’an.
Bangun tidur, rasa kantuk masih sangat. Kami dengan sendirinya
sperti digiring ke sumur yang terletak di belakang rumah kiai. Kamu benar-benar
masih sangat ngatuk sekali. Di sumur kami saling menunggu mengambil wudhu’ dan
bergantian menimba air dari sumur. Kulihat banyak teman-teman santri yang masih
tidur di kawasan sumur dengan posisi duduk, menyandarkan tubuhnya pada
pepohonan yang ada di sekitar sumur. Kawasan di pinggir sumur itu sangat bersih
dan halus, karena setiap hari di tempati anak-anak santri duduk. Ada pula yang
tidur biasa dengan berselimutkan sarungnya. Untungnya, di antara kami saling
membangunkan yang tidur setelah selesai mengambil wudhu’, begitu juga seterusnya.
Terserah yang membangunkan siapa yang akan dibangunkan terlebih dahulu. Kiai
Ma’ruf sendiri tidak pernah tahu bahwa santri-santrinya banyak terkapar dengan
kantuknya di kawasan pinggir sumur.
“Sudah. Biarkan Atmari tidur. Biarkan. Jangan berisik, ya… awas
kalian kalau sampai bangun,” beri tahu Musdor kepada yang lain. Dia anak yang
kami kenal brutal, suka ngamuk, mukul teman, dan suka bertengkar. Dengan
tubuhnya yang besar dan kekar, Musdor banyak ditakuti oleh teman-temanku,
termasuk diriku sendiri. ah, ditinggallah Atmari sendirian tertidur pulas di
dekat pohon pisang dengan posisi tidur miring. Sarung yang dia pakai dijadikan
selimut tubuhnya dari angin tertiup dingin.
Kasihan, dia pasti kebingungan dan takut saat matahari
membangunkannya. Atmari memang ketika sudah tidur sulit bangunnya, sulit untuk
bangun sendiri. Tidak hanya Atmari, kadang teman-teman santri yang lain ketika
ketiduran di kawasan pinggir sumur seringkali kebablasan bila teman-teman yang
lain tidak membangunkannya. Bangun saat matahari sudah terbit, dan dengan kaget
dia lari pulang, lain lagi besok ketika dia kembali ke langgar, dia akan
menghadap kiai untuk disidang dan yang pasti akan mendapatkan hukuman dari kiai
seperti biasanya.
#
# #
Aktifitasku di Langgar sebagai kabuleh kiai lebih banyak waktu malam, karena
siang aku mesti berangkat ke sekolah dan ke madrasah. Aku sering disuruh-suruh
pada waktu malam itu, baik ketika menjelang ngaji dan atau selesai ngaji.
“Sufyan?” panggil lora Saipullah, putra kiai Ma’ruf yang paling
muda. Usianya masih sama denganku. Putra-putri kiai aku perlakukan sama,
bagaimana pun putra-putrinya, kepunyaannya harus dihormati dan ditaati.
“Iya, ra..!” sahutku.
“Kamu sekarang beli rujak ke bi’ Mathari.”
“Takut, ra…!”
“Ngajak teman.”
“Iya.”
Dia menjulurkan uang Rp. 1.000 buat beli rujak. Aku ngajak Musdor
berangkat ke rumah bi’ Mathari. Aku merasa lebih tenang berjalan malam-malam
dengan dia, dia orangnya tidak takutan dengan apa pun, baik hantu sekali pun.
“Bi’… Beli rujaknya, bi’..?” kataku saat memanggil bi’ Mathari di
dalam rumahnya, mungkin dia sudah tidur. Aku ketuk pintu.
“Iya…” sahutnya. Dia salah satu penjual rujak yang buka duapuluh
empat jam, meski orangnya sudah tidur, tapi masih bisa dibangunkan, dan siap
melayani.
“Disuruh Ra Saipul beli rujaknya satu…” lanjutku menyambung.
Lekas, bi’ Mathari keluar, dan mengambil duduk di teras rumahnya
di mana peralatan rujaknya juga ditaruh di tempat itu.
“Beli berapa, cong?” tanyanya sambil membuka cobik.
“Satu saja, bi’.”
“Cabi berapa?”
“Satu.”
Bi’ Mathari mulai meracik.
Aku duduk melihat bi’ Mathari membuat rujak, pengin sekali makan
rujak. Tapi apalah, aku tak punya uang. Musdor mondar-mandir di halaman rumah
bi’ Mathari.
“Ini, cong.” Bi’ selesai membikin rujak pesananku. Cepat sekali.
“Mari, Bi’…!” kataku
“Assalamualaikum…”
kemudian. “Ayo, Dor,” ajakku.
Kami menuju pulang.
Di jalan, Musdor berbisik ke telingaku.
“Suf, ambil satu, makan,” ucapnya membujuk. “Tidak apa-apa, tidak
mungkin ketahuan kalau cuma satu potong lontong. Ayolah…?”
“Ya sudah, ini.”
“Yah, kamu ngambil juga satu. Tidak apa-apa kalau Cuma hilang
dua,” bujuknya lagi. Aku terpaksa mengambilnya. Ah, benar-benar enak, rasanya
perut lapar sekali.
“Enak, kan?” kata Musdor. “Kita ini capek.”
“Iya.”
“Haha…” kami tertawa di jalan-jalan.
Sesampainya di Langgar, aku tidak langsung mengikuti pegajian kiai
Ma’ruf, aku masih disuruh buatkan kopi buat tamu yang sedang nunggu kiai
selesai ngajar. Setelah itu aku mesti mengecek ternak itik kiai di belakang
langgar setelah selesai cuci perabot-perabot yang kotor di dapur.
Wajar, ngabuleh di dalem kiai atau di rumah kiai itu memang tidak
jauh beda dengan pembantu. Bedanya, kalau pembantu itu dibayar, tapi kalau
kabuleh itu tidak dibayar, alias murni untuk mengabdi dengan tujuan mendapatkan
barokah kiai dan pahala dari Allah.
Santri meski pun tidak ikut ngaji, tapi dia dibutuhkan kiai atau
nyai-nya, itu sama halnya dengan yang ikut ngaji, dan bisa jadi akan melebihi
dengan santri yang ikut ngaji. Dengan ketaatan, kepatuhan, ikhlas dengan apa
yang disuruh kiai atau nyai, maka dengan sendirinya ilmu akan datang, dia
diyakini sebagai orang yang akan mendapatkan barokah dan ilmu-ilmu yang tak
disangka-sangka, kemanfaatan ilmu yang dia dapat dengan luar biasa nilainya di
mata masyarakat kelak ketika terjun di tengah-tengah masyarakat.
Aku sendiri merasa sangat senang sekali bila tidak ikut ngaji, aku
lebih baik disuruh apa saja oleh kiai, nyai, atau lora dari pada ngaji di
langgar. Aku jadi hobby bekerja kemudian dari pada ngaji. aku juga seringkali
disuruh membacak tanah sawah kiai, bantu-bantu orang menanam cabi kiai, kadang
juga menanam jagung, dan pekerjaan rutin saya setiap hari yang tidak bisa
ditinggalkan itu adalah mencari pakan kambing kiai setiap pagi.
Pikirku, jadi kiai itu memang enak dan menyenangkan, dia hanya
bermodalkan ilmu, mengajari anak-anak baca tulis al-Qur’an, mengajari ilmu
agama tata cara beribadah. Kehidupannya dijamin. Dia banyak dihormati dan
ditakuti. Mau melakukan apa saja tinggal menyuruh orang atau santrinya sendiri,
tanpa ongkos, hanya bermodalkan keihklasan dan atas nama guru tolang. Aku
sempat berpikiran, “kenapa aku tidak punya orang tua kiai, ya..? Coba
seandainya ibu dan ayah saya keturunan kiai, aku pasti jadi kiai. Aku pasti
jadi lora. Aku bisa berbuat apa saja sama orang-orang. Dan aku dihormati.” Aku
sangat iri, karena setiap kali ada undangan, undangan apa saja; maulid nabi,
tahlil, selamatan, acara pengantin, dll. kiai mesti diperlakukan berbeda oleh
tuan rumah alias yang mengundang. Sementara orang-orang seperti aku, orang
biasa, hanya sekedar-sekedarnya saja, seperti tak begitu diharapkan, sebatas
sebagai pelengkap saja di acara undangan itu. Tempat dan hidangannya pun juga
berbeda; alas yang ditempatinya bersih dan suci, ada banyak makanan yang
enak-enak dan buah-buahan segar di deretan depan para kiai yang datang. Beda
dengan orang biasa sepertiku, ditempatkan di luar atau halaman, kadang di teras
rumah, kadang juga diletakkan dibelakang barisan undangan para kiai bila
undangannya sedikit, dan alas yang ditempatinya biasa-biasa saja, yang penting
ada meski kurang bagus dan bersih, makanan juga seadanya, yang penting makan.
Ah, jadi orang sepertiku ini memang harus serba tunduk dan patuh,
kadang aku juga berpikir bagaimana orang sepertiku ini juga diperlakukan
seperti halnya orang memperlakukan kiai, nyai, atau lora-nya. Atau sebaliknya,
kiai, nyai, dan lora-nya juga memperlakukan kami sebagaimana kami memperlakukan
mereka. Mungkinkah itu? Ketika orang sepertiku meminta mereka untuk menyangkul
ladangku atau mencarikan pakan ternaku. Tidak. Aku masih merasa bahwa Tuhan
menciptakan manusia berbeda. Entahlah, aku belum tahu banyak tentang rencana
Tuhan, apalagi agama yang aku anut ini dengan tanpa sengaja.
Tapi, aku masih ingat betul waktu guruku di Madrasah mengatakan
bahwa Allah-lah Maha pencipta yang mengetahui segala apa yang dilakukan oleh
makhluk-Nya, yang tersembunyi mau pun yang tampak terlihat oleh manusia. Allah
tidak memandang siapa dan bagaimana manusia itu, baik pangkatnya, atau pun
tidak berpangkat, tapi Allah melihat dan menilai sejauh mana amal dan nilai
ketaqwaan seorang hamba kepada Allah. Hati seorang hamba itulah yang menjadi
patokan Allah dalam menilai derajat seorang hamba tersebut.
#
# #
Saat ini kiai Ma’ruf memberikan peraturan baru kepada semua
santri, baik putra mau pun putri. Aturannya adalah, semua santri harus membawa
satu botol minyak tanah untuk minyak sturking yang tiap malam dipakai untuk
ngaji. kiai Ma’ruf mulai mengatur dan membagi nama-nama santri yang harus
membawa satu botol minyak tanah setiap kali berangkat ngaji. satu santri hanya
mendapatkan bagian satu kali bawa minyak tanah ke langgar, dan berputar kembali
ke awal setelah semuanya selesai mendapatkan bagian.
Padahal, pada awalnya tidak, tidak ada peraturan seperti itu.
Entahlah, kenapa kiai Ma’ruf memberikan itu kepada semua santri. Barangkali
kiai Ma’ruf merasa tak mampu kalau setiap hari mesti membelikan minyak tanah
sturking di langgar, lain lagi di lampu-lampu minyak di rumahnya. Sudah
sepantasnya santri yang menanggung itu, sudah cukup kiai sebagai guru ngaji dan
guru agama. Sudah cukup berjasa kepada masyarakat dalam mendidik anak-anaknya.
Sebagai seorang kiai, dia tidak dibayar, santri yang belajar ngaji tidak
dipungut biaya apa pun, tempat sudah geratis, lampu sebelumnya juga geratis
dinikmati. Hanya satu kali putaran dari jumlah santri yang ada diwajibkan
membawa satu botol minyak tanah, tidak satu orang harus setiap hari membawakan
minyak tanah.
Ah, di malam tanggal tua, malam gelap kawan. Lampu-lampu minyak di
langgar dan sekitarnya sudah dipadamkan alias mati. Sementara kiai dan
keluarganya sudah lelap di rumahnya. Di malam yang gelap ini, aku dengan
teman-teman santri bermain petak umpet. Permainan uji nyali, siapa yang takut
sama hantu, maka di sinilah ujiannya. Malam gelap seperti ini cukup membuat
kami merinding sekaligus senang bagi yang ngumpet atau pun yang bertugas
mencari.
Dalam permainan ini, siapa pun boleh ikut. Kami bermain sebanyak sepuluh
orang. Sebelum memulai bermain, terlebih dahulu kami melakukan hompimpa sampai
habis dan tinggal dua orang saja. Tinggal Atmari dan Musdor, mereka berdua
terus melakukan hompimpa. Dua orang ini yang nantinya akan menentukan mana yang
akan bersembunyi dan mana yang akan menjadi pencari.
“Sembunyi,” kata Atmari. Musdor menjadi pencari. Kami menyebar di
beberapa tempat.
Ah, aku takut, aku ngumpet dekat Mat Suhar di tempat yang cukup
aman dari pencarian Musdor.
“Satu… dua… tiga… sudah…?” tanya Musdor dengan mata tertutup baju.
Dia berdiri di balik gedung Langgar sebelah kanan dekat dapur kiai. “Empat…
lima… saya hitung sampai sepuluh. Enam… tujuh… delapan… sembilan… sudah..?”
“Belum…!” suhut Atmari sambil berusaha lari kencang dengan
tubuhnya yang gemuk dan perutnya yang gendut.
“Sudah, belum..?” tanyanya lagi.
“Sepuluh…” Musdor mulai membuka tutup matanya.
“Suit…” saut Atmari. Dia sepertinya sudah berada di posisi yang
aman. Seketika itu pula aku langsung menyambung, “uy…”, sebelum Musdor selesai membuka
tutup matanya.
Musdor mulai mencari, berjalan dengan gagahnya. Celengak-celengok
ke kanan dan ke kiri. Mat Suhar mulai mendekati benteng, tempat Musdor tadi
menutup mata, aku mengikuti dari belakangnya. Musdor aku lihat ke arah belakang
Langgar, lalu dengan segera kembali ke tengah. Dia mencoba berjalan dan
melongohkan matanya ke arah kiri langgar, terus melangkah.
“Yat… kembali… hu…!” teriak Mat Suhar. Dia berhasil dan lebih dulu
memegang benteng si pencari, Musdor. Permainan selesai.
Kami mengulang permainan kembali dengan memilih orang yang akan
jadi pencari. Mat Suhar sekarang yang punya hak menentukan siapa orang yang
akan jadi pencari. Teman-teman berkumpul dan berbaris di benteng di belakang
Mat Suhar. Mat Suhar mulai menyebutkan angka urutan baris anggota di
belakangnya tanpa dia tahu nama-nama yang menduduki angka yang disebutkan.
Kami terus bermain sampai larut. Senang teramat senang, yang
awalnya takut, akhirnya menjadi biasa dan tidak takut. Benar-benar senang.
Untungnya, kiai Ma’ruf tidak bangun, kami bisa bermain dengan bebas, sampai
kami benar-benar lelah, lalu terlelap dengan tubuh basah dengan keringat.
Malam yang menyenangkan, tapi sayang, adzan subuh kami tidak
bangun, lelap sekali. Sampai-sampai yang adzan shubuh itu kiai Ma’ruf sendiri,
bukan lagi di antara kami, yang biasanya adzan itu adalah santri sendiri yang
bertugas. Kami benar-benar sial dan takut, kiai Ma’ruf menyuram kami yang lelap
satu-satu dengan air. Dengan kaget, kami bangun. Ada yang langsung berlari ke
sumur, ada yang masih bengung, ada yang masih membantah marah-marah dikira
bukan kiai, pokoknya macam-macam.
“Bangun, bangun, bangun,” kata kiai Ma’ruf sambil menyiramkan air
ke wajah santri. “Dikira saya tidak tahu. Bangun…! Makanya kalau main itu
jangan sampai terlalu malam. Ayo, bangun..!”
“Siapa ini? Mau cari masalah dengan saya? Ayo kalau mau tengkar. Ayo
kita ke halaman,” kata Musdor. Kiai Ma’ruf diam saja.
“Ada apa, Dor? Kamu mau apa…? Sana, sana, ke sumur. Cepat?” kata
kiai Ma’ruf kemudian.
“Enggi…”
saut Musdor langsung kendor, tahu bahwa dia adalah kiai.
“Disuruh tidur malah main, anak sekarang memang susah diatur.”[ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar