Yan Zavin Aundjand

Selamat Datang di Prasmanan Sastra Yan Zavin Aundjand
Peringatan: Dilarang Pipis di Sembarang Tempat

Minggu, 12 Februari 2012

Pengantar Tarian di Ranjang Kyai


Novel yang Menangkap Realisme
Oleh: M. Fathoni Mahsun

Kedudukan kyai sebagai sentrum cerita menjadi semakin istimewa manakala dikaitkan dengan budaya pendidikan yang masih rendah. Karena dalam konstruksi cerita dikatakan biarlah kyai saja yang pintar yang lain tidak perlu pintar. Sepintar apa pun kalau bukan anak kyai tidak akan bisa jadi kyai. Pemahaman inilah yang akhirnya melahirkan kultus. Bagi yang dikultuskan kalau tidak kuat-kuat menahan diri, maka akan menjadi keblinger. Barangkali itu yang ingin dikatakan Zavin.

Kalimat  di atas adalah sepenggal kalimat yang saya ambil dari makalah saya ketika diminta membedah novel  Zavin ‘Tarian di Ranjang Kyai’ (TdRK) oleh komunitas Lembah Pring Jombang. Kalimat tersebut merupakan refleksi saya setelah membaca TdRK. Tepatnya perspektif saya menilai paradigma orang-orang Madura mengenai pendidikan. Refleksi-refleksi  serupa yang berkenaan dengan kultur Madura masih banyak lagi.
Sebelum bedah novel tersebut, saya tidak pernah bertemu sama sekali dengan Zavin. Saya menganalisa karya Zavin dari novel TdRK yang dipinjamkan Jabbar Abdullah, lurah Lembah Pring untuk kepentingan bedah novel. Ketika saya bertemu pertamakalinya dengan Zavin, berbekal makalah dan pemahaman tentang novel TdRK yang saya punyai, ada hal-hal yang tidak terkatakan dalam novel tersebut.  Sehingga saya menyadari bahwa saya mengalami dua tahapan pemahaman.
Pemahaman tahap pertama adalah sebelum saya bertemu dengan Zavin. Secara umum dalam tahapan ini saya menganggap terdapat cerita utama dan cerita sampiran dalam TdRK. Cerita utamanya adalah seorang kyai yang menodai maqom istimewanya dengan menyelingkuhi istri orang, bahkan memperkosa santriwatinya sendiri. Dengan mendedahkan cerita demikian Zavin saya anggap membuat cerita yang subversif, karena pada umumnya orang Madura dengan kyai menunduk-nunduk, sami’na wa atha’na, tidak berani membantah, serta kalau perlu menjagai sandal kyai kalau sedang ditinggalkannya. Cerita perbuatan mesum kyai inilah yang kemudian saya anggap sebagai ‘true story’nya.
Cerita di luar itu saya anggap sebagai sampiran yang menjadi bumbu untuk mengkonstruksi keseluruhan cerita. Misalkan tokoh Misnadi beserta istrinya, Nisa. Berikut dengan konflik rumah tangga mereka berdua. Kemudian tentang obsesi orang Madura untuk merantau, tentang pernikahan usia dini, serta tentang pendidikan rendah. Hal-hal tersebut memang secara mudah kita bisa tarik benang merahnya. Bahkan untuk merangkai garis hubung masalah-masalah tersebut,  orang yang tidak membaca TdRK pun bisa. Bahwa mencari nafkah dengan cara merantau menyebabkan orang Madura tidak seberapa menginsafi arti pentingnya pendidikan. Mereka mempunyai anggapan asalkan saya bisa merantau seperti tetangga-tetangga saya, seperti paman-paman saya, seperti bapak saya, atau seperti teman-teman saya, tidak masalah kalau saya harus meninggalkan bangku sekolah. Ini pendekatan  teori pertama. Pendekatan teori kedua, bahwa pernikahan usia dini menyebabkan banyak orang Madura yang drop out dari sekolah. Kemudian karena desakan ekonomi mereka tertuntut untuk bisa menafkahi keluarga. Jadilah merantau sebagai solusi. Dari fenomena demikian muncul lagi fenomena susulan, yaitu karena suami merantau menyebabkan komunikasi suami-istri menjadi terhambat, sehingga memunculkan konflik rumah tangga. Setidaknya itu yang diceritakan dalam novel TdRK.
Sedangkan pemahaman tahap dua,  yaitu setelah Zavin memaparkan proses kreatifnya. Terus terang saya katakan bahwa saya terperangah, tidak hanya saya tetapi juga audien yang hadir ketika itu. Karena dari penuturan Zavin hampir 100 persen cerita dalam novel TdRK memang berdasarkan cerita nyata. Baik nama-nama tokoh, peristiwa, bahkan Sare nama dusun yang menjadi tempat dalam novel ini bukanlah nama fiktif, tapi nama dusun yang sebenarnya. Hal ini berarti berkebalikan dengan prasangka saya. Karuan saja saya ketika itu menganggap ini adalah pekerjaan sastra yang berisiko, sebab cerita yang dikelolanya tergolong sensitif. Kalau sampai diketahui oleh anak turun dari orang-orang yang aibnya diceritakan dalam novel tersebut akan fatal akibatnya. Tapi Zavin enteng saja menjelaskan bahwa hal itu tidak mungkin terjadi, karena mereka hingga saat ini hanya mau belajar baca tulis Bahasa Arab. Teks-teks berbahasa Indonesia tidak akan mereka sentuh, karena mereka buta huruf dalam hal ini.
Penjelasan demikan tentu saja menjadi pembuka fakta yang mencengangkan atas fenomena tingkat pendidikan di Sare. Zavin menjelaskan bahwa Sare adalah wilayah terisolasi, kemajuan daerah-daerah di sekelilingnya tidak mempengaruhi Sare untuk juga ikut maju. Bahkan menurut Zavin, di antara teman-teman sepermainannya hanya dia yang bisa sampai kuliah. Karena ketika itu sekolah yang ada di Sare hanya SD, bila ingin melanjutkan sekolah harus ke desa lain. Sekolah tingkat pertama, tepatnya Madrasah Tsanawiyah baru dibangun oleh salah seorang tokoh Kyai ketika Zavin menyinggung keterbelakangan pendidikan di Sare dalam acara woksop menulis kreatif Sampang dan bedah buku antologi cerpen Merangkai Nasib Menuai Nasab karya Yan Zavin Aundjand (Yogyakarta: Pagar Publishing, 2007) di komunitas TSM (Taman Sastra Madura) yang diletakkan di Wisata Camplong yang dihadiri oleh beberapa guru dan pelajar se-Kabupaten Sampang. Dengan banyak pertimbangan, baik dari pihak pemerintah dan tokoh setempat akhirnya dibangunlah sekolah lanjutan di sana.
Walhasil pemahaman saya tentang pendidikan rendah di Sare semakin berisi. Pendidikan rendah di sana tidak hanya permasalahan putus sekolah, tapi juga ketersediaan fasilitas. Lebih dari itu juga tentang paradigma. Tokoh-tokoh masyarakatnya (baca: tokoh-tokoh agama) hanya mementingkan belajar teks-teks berbahasa arab dan mengindahkan teks-teks berbahasa Indonesia. Ternyata masih ada daerah yang termasuk bagian negara Indonesia yang secara kultural melakukan resistensi program pemberantasan buta huruf. Padahal, tingkat buta huruf di Indonesia terbilang rendah, lebih rendah dari India bahkan China sekali pun yang notabene diprediksi menjadi negara adidaya di masa depan.
Tentang agama? Secara ekstrim Zavin menyebutkan di Sare tidak ada agama Islam, tidak ada NU, tidak ada Muhammadiyah, yang ada adalah agama kyai. Maksudnya Zavin ingin mengatakan bahwa tingkat fanatisme terhadap kyai sangat membabi buta. Bahkan ketika kyai melakukan tafsir-tafsir keagamaan yang melenceng dari syariat yang baku, tidak ada pihak yang berani mengkritisi.
Membaca novel TdRK akhirnya harus diyakini sedang membaca sejarah kelam salah satu daerah di Madura yang mempunyai sederet keunikan, secara apa adanya. Karena Zavin pun menuliskannya secara vulgar. Tidak banyak novelis yang berani merekam realitas masa lalu dengan tanpa tedeng aling-aling. Pram pun ketika ingin menceritakan surat kabar yang berjaya pada masa pergerakan Nasional, Medan Prijaji  tidak secara eksplisit menyebut nama Medan Prijaji, tapi hanya sekedar menyebut ‘Medan’. Nama ini mirip tapi sudah cukup syarat untuk dikatakan nama fiktif, karena tidak benar-benar sama. Sehingga dengan mendompleng pada realitas yang pernah ada Pram bebas mengeksplorasi plot dan alur cerita, tanpa terbebani apakah detail alur dan plot cerita tersebut benar-benar pernah ada atau tidak sebelumnya. Tokoh-tokoh pergerakan nasional yang menonjol ketika itu pun tidak disebutkan nama sebenarnya, hanya dimirip-miripkan.
Demikian juga trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, Dukuh Paruk bukanlah nama wilayah yang terdaftar secara administratif di pemerintahan, tapi tak lebih sebagai simbol teretori minor  atas teretori mayor. Dalam catatan Stamford Raffles gubernur Hindia Belanda yang berkuasa antara tahun 1811-1816, ronggeng merupakan kesenian yang sudah tumbuh berabad-abad di Jawa dan sangat populer di kalangan petani. Tidak hanya di Jawa, di Betawi pun kesenian ini cukup populer, walau pun dengan penyebutan  yang berbeda-beda.
Dalam hal keberanian menyibak skandal masa lalu  mungkin Zavin bisa disandingkan dengan Dan Brown ketika menulis novel Da Vinci Code. Dalam novel tersebut Dan Brown mengklaim semua deskripsi karya seni, arsitektur, dokumen, dan ritus rahasia adalah akurat. Tak ayal penganut Katolik seluruh dunia, juga Protestan, terutama pihak Vatikan meradang, karena mereka merasa Dan Brown telah mengacak-acak wilayah yang mereka sakralkan. Misalkan yang paling parah bahwa Dan Brown mengatakan Yesus mempunyai anak dengan Maria Magdalena, di mana garis keturunanannya masih ada hingga saat ini. Novel tersebut juga menafsirkan bahwa yang menjadi Holy Grail (piala yang digunakan Yesus pada perjamuan terakhir yang dianggap sakral terutama pada abad pertengahan) sebenarnya adalah Maria Magdalena itu sendiri. Itulah sebabnya dalam lukisan The Last Supper (Perjamuan Terakhir) karya Leonardo Da Vinci tidak ada benda yang berbentuk piala (chalice).
Sementara itu dalam konteks yang berlainan, kita juga bisa menemukan skandal dalam novel Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi  yang terdiri dari lima seri. Dalam salah satu serinya diceritakan tentang skandal antara Ra Tanca, salah satu Dharmaputra yang ahli pengobatan, dengan Dyah Wiyat yang tak lain adalah anak Raden Wijaya, Raja Majapahit pertama. Skandal di antara mereka berdua diawali dari ketika Dyah Wiyat sakit dan diobati oleh Ra Tanca. Profesinya sebagai tabib menyebabkan Ra Tanca leluasa berdua-duaan di kamar Dyah Wiyat. Dari sana setan kemudian mengipas-kipasi, dan sejak saat itu Dyah Wiyat menjadi sering sakit hanya sebagai alasan untuk bisa berdua-duan dengan Ra Tanca. Padahal, di satu sisi Ra Tanca sudah beristri. Sementara di sisi lain, hatinya yang sudah mulai tertambat dengan Ra Tanca menyebabkan Dyah Wiyat tidak begitu saja menerima ketika dijodohkan dengan Kudamerta. Bahkan di awal-awal pernikahannya dengan Kudamerta, Dyah Wiyat masih infill.
Bisa jadi cerita skandal tersebut merupakan sebuah distorsi sejarah, karena dalam refrensi bakunya, baik dari serat Pararaton maupun serat Negarakartagama tidak pernah dengar menyinggung-nyinggung masalah perselingkuhan Ra Tanca dan Dyah Wiyat. Distorsi tersebut seharusnya mempunyai dampak sangat serius, karena menyangkut aib keluarga raja. Namun, menjadi tidak berdampak serius karena era Majapahit sekarang sudah selesai. Autentifikasi Majapahit pun masih menjadi pertanyaan besar bagi bangsa ini, bahkan di mana persisnya lokasi ibu kota Majapahit, orang sekedar bisa mereka-reka.
Lain ceritanya dengan skandal yang diceritakan Zavin dalam novel TdRK, bekas pesantren yang dulu dibakar massa karena kyainya melakukan skandal terlarang, sekarang pun masih ada. Bahkan ketika novel ini ditulis, saksi sejarahnya pun masih ada. Zavin mendapatkan cerita yang kemudian dinovelkannya dari neneknya yang ketika itu berusia 125 tahun. Saya membayangkan sang nenek ketika itu bisa menceritakan panjang lebar tentang kejadian yang pernah dialaminya. Barangkali karena kejadian itu sangat membekas di benaknya, termasuk ketika mayat kyai Slamet yang sudah terpisah dari kepalanya di arak keliling kampung. Tentunya cerita demikian memang menjadi cerita berharga, apalagi ketika bisa mengelola untuk didokumentasikan menjadi sebuah karya tulis.
Menulis novel yang mendokumentasikan fakta memang bukan Zavin seorang yang melakukannya.  Ambil contoh novel In Cold Blood. Novel yang ditulis Truman Capote ini disebut-sebut sebagai a brilliant insight of criminal mind. Ketika diterbitkan pada 1966 langsung menjadi best seller, sampai saat ini sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa. Versi Indonesianya pun sudah ada. Novel ini menceritakan tentang pembunuhan sadis empat orang anggota keluarga, suami-istri, dan dua orang anak remajanya. Novel ini ditulis dengan aturan jurnalistik ketat dan membutuhkan proses penulisan selama enam tahun. Bahkan Copote melalui novelnya ini didaulat sebagai peletak dasar jurnalisme versi baru, yaitu jurnalisme sastrawi.
Akhirnya, walaupun masih belum sefenomenal In Cold Blood, karena dari yang saya alami apa yang diceritakan Zavin secara lisan masih lebih atraktif dari versi tulisnya, tersebab masih banyak sisi estetik yang tidak terungkap dalam versi tulisan, tapi TdRK tetap saja mempunyai sisi menarik. Bayangkan saja! Novel setebal 239 halaman ini hanya ditulis dalam satu minggu. Itu artinya sehari Zavin rata-rata menulis lebih dari 20 jam. Wajar saja ketika hasilnya berbeda dengan novel yang ditulis selama enam tahun.

3 September 2011

M. Fathoni Mahsun, Pegiat Komunitas Kepenulisan Sanggar Kata Jombang, Penulis Novel Metamorfosis Telur Sambal Terasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar