Yan Zavin Aundjand

Selamat Datang di Prasmanan Sastra Yan Zavin Aundjand
Peringatan: Dilarang Pipis di Sembarang Tempat

Minggu, 12 Februari 2012

Epilog Labuk Dhellika


Yan Zavin Aundjand: Antara Puisi, Fiksi, dan Sejarah Lokal

Oleh: Fahrudin Nasrulloh*

Begitu saya duduk di sebuah restoran Madura di Bangkalan, pemiliknya mendekati saya dan bertanya kalau-kalau saya ingin membeli tanah. Dia berkata bahwa dia memiliki 500 hektar tanah lengkap dengan sertifikatnya siap untuk dijual, dan bisa mencarikannya yang lebih luas lagi jika perlu. Tampak bahwa dia telah mengamati saya ketika saya memfotokopi Rencana Induk Kota, yang diketahuinya sering dilakukan investor. Saya katakan bahwa saya hanyalah dosen universitas yang tidak mempunyai apa-apa. Dia meminta maaf, tetapi mengatakan bahwa banyak orang datang di Bangkalan mencari tanah. Di hari lain, ketika saya diundang makan-makan dalam sebuah restoran di Kamal, kota pelabuhan Kabupaten Bangkalan, pemiliknya, seorang Cina Islam yang telah haji tujuh kali, menawari tuan rumah saya sebidang tanah tambak yang luas dan sebuah stasiun pom bensin yang dimilikinya. Saya sangat terkesan oleh dua peristiwa itu. (Kuntowijoyo. Radikalisasi Petani. Bentang. 1993)

Dari ilustrasi di atas, saya mengibaratkan diri saya bukan sebagai Kuntowijoyo, tapi seseorang yang lain yang tak begitu mengenal banyak hal ihwal Madura atau tentang orang-orang Madura. Esai Kuntowijoyo yang terkumpul dalam buku tersebut mengunggah tema “Madura Dijual: Mengatasi Keterbelakangan Ekonomi Sebuah Kota Sekunder”. Pemerintah Daerah Jawa Timur di tahun kisaran 1990-an telah memikirkan masa depan pulau Madura, demi upaya pengembangan perekonomian dengan membangun jalan transportasi darat selain kapal feri yang selama ini ada. Sebuah jalur percepatan ekonomi yang diangankan, mungkin oleh banyak orang, mungkin juga oleh manusia Madura, ataukah sebaliknya. Dari sanalah, kini telah terwujud jembatan yang kita kenal dengan sebutan jembatan Suramadu. Sejarah lokal, imajinasi tentang manusia Madura, dunia pesisir, pelaut yang tangguh, petani tambak garam, makam Kiai Kholil Bangkalan, cerita carok, sosok Cakraningrat, tokoh Sakera, hingga puisi-puisi D. Zawawi Imron berlintasan dalam kesejarahan lokal yang pernah kita kenal.
Bagaimanakah arus modernisasi dan urbanisasi yang dialami sebagian orang Madura tercermin dalam karya puisi, yang tentunya membutuhkan kajian yang lebih luas dan mendalam semisal pada korelasi ruang publik antar penyair asal Madura dalam strategi puitik yang mereka yakini dan jalankan? Dan untuk kali ini kita akan coba bersapa-kenal dengan penyair muda dari Madura ini, Yan Zavin Aundjand, kelahiran 1980-an ini, yang lebih banyak berproses kreatif di Jogjakarta. Sejauh manakah penyair Madura terkini kita baca? Bagaimana kita membandingkan Zavin dengan penulis Madura lain seperti M. Faizi, Alek Subairi, Salamet Wahedi, Mahwi Air Tawar, M. Fauzi, Umar Fauzi Ballah, dan lain-lain yang mana masih banyak lagi selain mereka yang bermunculan pada tiap kurun waktu tertentu. Penulis asal Madura yang muda-muda, secara kuantitatif, lebih banyak bermunculan jika dibandingkan dari penulis kota-kota lain. Kondisi kepengarangan dan ruang sosial yang bagaimanakah yang mendukung dan mempengaruhi hal demikian? Karena itu perkembangan kesusastraan Madura amatlah penting dijadikan telaah tersendiri dalam konteks kesusastraan di wilayah Jawa Timur.
Buku puisi Zavin yang berjudul Labuk Dhellika (yang menurut saya bisa diartikan sebagai: Dasar dari Lubuk Terdalam) ini dibangun dengan menggunakan imaji yang digali dari dunia kampung halaman, riwayat-riwayat tradisi setempat yang mengakar kuat, persentuhannya dengan berbagai peristiwa, puisi yang lahir dari perjalanan, serta bagaimana generasi muda Madura menyikapi persoalan-persoalan kemajuan teknologi yang perlahan-lahan merangsek daerahnya, dalam hal ini di mata si penyair. Bagaimana seorang penyair dilahirkan dan tumbuh di sini?
Maka Zavin berupaya menghadirkan dunia Madura dengan lokalitas bahasa daerahnya, semisal ia menggunakan kata atau frasa: Rébbá, bújú’, Tajhin Sappar, Toampar, Ju’panda’, atau thongthong, yang sebenarnya memiliki rujukan arti dan lapisan makna tersendiri yang mungkin sulit dipahami orang yang tak akrab dengan bahasa Madura. Persoalan tanah Madura dan manusia Madura yang digambarkan Kuntowijoyo di atas juga terlukis dalam bait kedua puisi ini:

tanah kami tanah perawan: tanah yang tak pernah disentuh oleh kemajuan.
tanah hanya tinggal tanah; tempat pembuangan sampahsampah, maling, perampok, copet, pembunuh, mafia tanah, semuanya bersembunyi di sini. membikin debu bersiut di wajah kami. (“Talelah: Tanah Pengasingan”)

Sebagai pembaca, saya seperti disuguhi sebentang pencarian kreatif si penyair yang terus membayangkan “sosok puisi”nya, dan yang kita temukan saat ini pada puisi-puisinya adalah semacam deskripsi dari lokalitas yang agak gelap dibaca, yang samar-samar, mungkin untuk sejumlah puisi yang menggunakan istilah bahasa Madura. Kendati sebagian besar puisinya di bagian akhir bercorak lain yang terasa terang sekaligus gamblang (“Langkah”):

malam menelan seluruhku. angin menyala dalam hatiku yang beku oleh waktu. debudebu
bangkit dari seberang jalanjalan kota menuju rumahku. aku menunggu pagi dan matahari
bangkit dari api.

Juga yang sublim namun ngungun dan sedikit tertatih: bergeliutan mengawang-awang, tak henti-henti. Kata-kata seakan menyusun teka-tekinya sendiri lalu nyungsang, dan saya tanpa sadar terseret di kelokan lelorongnya. Bahwa di palung dasar puisi, tersimpan juga cerita-cerita tak bertepi, seperti sungai, mengalir di desir angin. Seberkas ihwal, yang mengada, menyorong ambiguitasnya. Karenanya, boleh jadi, ada yang tak terhingga dari segala yang mencolot darinya: mulai yang tersembunyi, sampai jalinan cerita yang mengepung si penyair lalu lantak dan terasing bahkan atas dirinya sendiri. Seakan ada yang terus dihidupi namun si penyair justru terhirup oleh gairah untuk senantiasa mengungkai dimensi kefanaan yang kerap disodorkan seperti lewat judul puisi “Labuk Lubuk”:

hidup semakin fana
namun kita terus beranjak meniti hari yang semakin sunyi

Bandingan: dari Estetika Puisi yang Bercerita Hingga Kesederhanaan yang Jernih
Ada yang sekejap. Berlintasan hendak menembus sesuatu. Tenggelam mencari sari “perenungan puitik” di sumur puisi. Ada momen penciptaan puisi, pada ambang waktu tertentu, bisa lenyap sekaligus hadir kapan saja. Mengingatkan kita pada fiksi mikro dengan rancang logika yang runtut, padu, sederhana namun cukup memorable. Kita, katakanlah, dihidangkan pada sebuah puisi naratif. Apakah puisi Zavin mulanya diniatkan sebagai cerita akan dunia kampung halamannya? Bisa saja itu terjadi. Dan hal itu sudah dituangkannya dalam novelnya Tarian di Ranjang Kiai (Azhar Risalah Kediri, 2011). Pada puisi yang bernuansa naratif semisal kita temukan pada judul “Ketupat Sangu; Sebuah Sesajen di Hari Raya Ketujuh, Sekumpulan Dewa Berpesta Atas Angkaangka Bulan, Menulis Kesucian dalam Tubuh Manusia Penuh Dosa dan Ruhnya yang Abadi.”:

II/
pagi rumahrumah ramai dengan doadoa, “khusushon ila arwah arwah”. hari ini adalah harinya untuk beristirah. yang hidup memberikan yang mati dan yang mati akan menjagai yang hidup.
“tidak”, kata sebagian yang lain di luar rumah berdasarkan keyakinan nenek moyangnya sendirisendiri. “hari ketupat adalah hari raya sapi” ucapnya seperti orang angkuh.
manusia kembali suci. arwaharwah dibersihkan dengan pacul dan anak celurit menyayat tubuh tanah pemujaan.

Puisi Zavin yang demikian tetap menilaskan seberkas bayangan “entah” atau secuil sisa. Kesenyapan lain. Sejenis kembangan khayalan bahkan serpihan kenyataan hidup yang terkadang merucut dari pengalaman sehari-hari di kampung. Puisi yang bercerita. Tapi adakah puisi yang bersembunyi di balik cerita? Yang tidak mendesakkan apa-apa? Barangkali di situ kita bisa menyebutnya sebagai puisi Haiku. Puisi Zavin corak agamisnya lebih menonjol dengan anasir tradisi masyarakat Madura. Mari kita sandingkan dengan puisi-puisi Joko Pinurbo, yang lebih personal, di mana kita bisa menyambanginya semisal pada “Di Bawah Kibaran Sarung”, “Bercukur Sebelum Tidur”, “Topeng Bayi Untuk Zela”, “Gadis Malam di Tembok Kota”, atau “Pertemuan” ini:

Dan malam itu datang seorang pangeran
dengan celana komprang, baju kedodoran, rambut
acak-acakan. Datang menemui gadisnya
yang lagi kasmaran
(Puisi “Pertemuan”)

Atau:

Lalu tubuhku bukan siapa-siapa lagi.
Tubuhku negeri yang belum diberi nama.
Dan kuberi nama dengan sebuah ngilu
saat bercukur sebelum tidur.
(Puisi “Bercukur Sebelum Tidur”)

Jika diperbandingkan, puisi itu terasa berbeda dengan puisi “Gerimis Jatuh” Sapardi Djoko Damono yang simpel, padat dan mendalam lapisan imajinya:

gerimis jatuh kaudengar suara di pintu
bayang-bayang angin berdiri di depan
tak usah kauucapkan apa-apa; seribu kata
menjelma malam, tak ada yang di sana

Tidak semua puisi Jokpin bercorak naratif. Semisal puisi “Cermin” (Koran Kompas, 15 April 2007). Nuansa Haiku menguat di sini:

Aku bercermin pada wajahmu
airmataku berkilauan di kristal matamu.

Meski puisi Jokpin banyak yang pendek-pendek, tapi daya kocaknya tetap kental dan menggoda seperti humor nyinyir tentang Kristus pada puisi “Di Kalvari” (Koran Tempo, 1 Juli 2007):

SalibMu tinggi sekali
Ya, lebih baik kaupanjat tubuhmu sendiri.

Sebagaimana pula cerita pendek, sebuah karya yang baik adalah yang kuasa mengendap kuat dalam ingatan. Agaknya mungkin sedikit mendekati tepat, ujar Hasif Amini, bahwa: “Cerita pendek, dengan ukurannya yang mini, dengan sendirinya langsung tampil sebagai artifak verbal, yang konkret, ostensible, tampak sekaligus awal hingga akhirnya, seperti sirkuit.” Maka bagaimanakah kita jika diperhadapkan dengan puisi yang sedikit-banyak mencomot anasir cerpen, walau tampak terasa beda. Perbandingan anasir cerpen, dengan puisi naratif Jokpin, dapat dipertemukan dengan puisi Mardi Luhung berjudul “Pengalaman Beristri” (Koran Kompas, 8 Juli 2007), meski tanpa lelucon, terkesan longgar, romantik, tak menyosokkan puspa metafora:

   Jika dia pergi, aku mendesir. Aku buru dia, dia pun balik
ke rumah. Dia mawar sekaligus duri. Duri tapi aku suka sekali
dilukai. Dan setiap dia berkalimat, aku hilang bahasa. Dia
       memang ahli, aku ingin lebih ahli. Dia menampik, bagaimana aku
      lebih ahli menampik? Seluruh bau miliknya terasa begitu melekat.
         Tapi bagaimana seluruh bau milikku? Apakah juga melekatinya.
             Dia memang memujaku, tapi aku hilang rupa. Tak berbekas.

Dari sejumlah puisi di atas gejala interteks kian menembus selubung tersamar di medan proses kreatif, baik itu pada penyair maupun cerpenis juga novelis. Masing-masing saling menyusupi. Memoles, menambal-sulam, dengan bahan atau anasir dari apa pun. Mengais-ngais keajaiban di balik rahasia tiap genre karya. Ini terlihat pada puisi Jokpin yang membetot diri dari inklusivitas puisi, dari yang “bergelap-gelap”, dari puisi yang selama ini seolah dianggap muskil tersentuh, sarat makna, bukan pula tipe semisal puisi mbeling Remy Silado. Setidaknya, napas puisi, masih mengendap lekat dalam puisi Jokpin. Lantaran puisi bukan barang suci yang tak menempat di surga atapun neraka tapi di dunia, maka kesan puisinya yang bermain-main dengan “tubuh”, “mayat”, “makam”, “celana”, “kamar mandi”, bahkan pada “puisi” itu sendiri. Sebaliknya, pada puisi Zavin, “makam”, “mayat”, “arwah”, “tubuh”, ditempatkan pada aras sakralitasnya secara prosaik (Rébbá):

malam jumat; ruhruh bújú’ berpulang ke tanah asal. pun yang mati akan mengintip matahari menggeser tubuhnya, membenamkan asap pecut yang meliut ke angkasa, tubuh merah kuning melesat dari sela kerak tanah kering coklat.

yang berdiam dalam dirimerekam malam di arwah hingga sunyi di hati abai pada
rumah yang gaduh, bertukar nasib, berebut dupa yang disulut demi sang jagat.

Dan menulis puisi yang berbobot, filosofis, tahan uji terhadap “hempasan kala” (istilah Sanusi Pane), memang sukar. Lebih sukar lagi adalah menulis puisi inklusif, yakni puisi terbuka yang mengandung unsur daya-apresiasi dan daya-kreasi, daya-ekspresi dan daya-komunikasi, keempat-empatnya lengkap. Pada dimensi inklusifitas inilah penyair menghadapi dilema puitiknya. Jika puisi ditulis terlalu berbobot, canggih dan filosofis, tinggi dan abadi, maka acapkali daya-komunikasinya rendah, ekspresinya kurang, maka jatuhlah puisi itu menjadi eksklusif dan tertutup, atau bahkan eliptis, puisi yang tidak lengkap, demikian ujar Ragil Suwarna Pragolapati.
Puisi-puisi yang kuat, menampung ragam momen dan ingatan dalam dunia sehari-hari. Bukan sekadar irisan kenyataan atau potret kabur dari unggunan peristiwa. Tidak semata bersandar pada “emosi”, untuk mencapai puisi yang “gigantis” yang bertaut pada yang serba manusia, serba hidup yang tak terbatas pada dunia, seperti yang pernah disorong oleh Asrul Sani. Puisi Zavin punya potensi juga untuk mengembangkan dongeng yang tentu tumbuh subur di tempatnya, yang bisa ia garap dengan model epikal seperti pada puisi “Tujuh Ayat Dhellika”:

dhellika 7: dhellika
jejak: sebuah tanda

kesempurnaan ranjang membentengi malam; agar dirinya terjaga dari bencana menghanguskan segala, bahwa malam hanya sebatas bunga mimpi.
besok masih tetap berdiri. kekuatan utuh pada tubuh. ruh tak hilang bersemayam. terang memangsa rumusrumus malam.

Meski selintas puisi di atas tidak begitu terasa menawarkan dongeng, tapi ihwal rahasia malam dan ruh-ruh, maka corak epikal bisa dieksplorasi dari sejarah rakyat dan kronik nama-nama daerah sosok-sosok yang memiliki nilai historis. Bandingkan dengan puisi “Daging” Gus tf yang meski sangat kental nuansa filosofis-personalnya yang bisa menjadi gambaran sederhana:

Tidak. Tidak ada kisah
tentang dunia. Kecuali dongeng, semacam konon,
        yang diterbangkan oleh sepotong daging di jagat raya. “Ini
        bulan, kuserpih dari seratku yang malam. Ini matahari, kubeset
        dari kulitku yang siang. Pada keduanya ada gerhana, tempat
        kau berpikir tentang tiada.”

        Puisi-puisi Zavin saya kira memiliki semangat untuk meraih puitikanya yang khas di masa mendatang, jika ia berani untuk terus melakukan pembacaan kembali terhadap puisi-puisinya saat ini agar setidaknya mampu mengatasi soal-soal teknis dan pola tutur yang berlarat. Lokalitas dan imaji-imaji ke-Madura-an membutuhkan terobosan estetik tersendiri. Dan setiap puisi yang lahir selalu memendarkan cahaya bayangannya yang justru di situlah puisi yang sebenarnya tak mudah dicipta.

----
*Fahrudin Nasrulloh, Esais, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar