Naskah Mentah Novelku Bagian Pertama (judul besar dirahasiakan).. hehehehe... monggo-monggo
oret-oretan: jam 19.14 s/d 02.26 wib sambil Facebookan
Jauh aku sebelum lahir, akulah orang yang diramalkan kelahirannya
menjadi reingkarnasi Trunojoyo, sang pangeran; sang pemberontak kebatilan,
penegak harkat, martabat, dan harga diri. Orang-orang pada berteriak dengan
kepergian sang pangeran, sang pangeran pergi demi melanjutkan perjalanannya
untuk mewujudkan kembali cita-cita suci. “Pangeran
Trunojoyo tak mati, dia masih hidup. Kelak, pangeran Trunojoyo akan kembali
setelah bangunan-bangunan mulai berderet dari Sampang ke Camplong. Dia masih
bertapa di gunung jawa untuk memperoleh cincinnya kembali yang diambil oleh
pamannya sendiri.” ucapnya orang-orang penuh keyakinan. Namun, ia tak
mungkin kembali, merelakan diri dan singgasananya tumbuh berkembang sendiri.
Entah, orang-orang percaya bahwa kelak ia akan kembali, membawa cincin
kekuasaannya mengebarkan bendera menjulang cahaya.
Setelah aku lahir dari rahim ibu; pertama aku mendengarkan suara
ayahku mengumandangkan adzan di telinga kananku, pertanda bahwa aku adalah
muslim—Tuhan yang satu telah menciptakanku ke muka bumi ini dengan selamat dan
sempurna. Kepada Tuhan aku berlindung dan berjalan di atas ayat-ayatnya. Akulah
manusia, meniti bumi dalam diriku sendiri. Akulah bumi. Akulah aku. Akulah
benda-benda mati. Akulah sang ayat Tuhan itu. Akulah. Akulah itu.
Yang kedua, setelah aku lahir dari rahim ibu; aku mendengarkan
ayahku menyebut nama Trunojoyo di telinga kiriku, “engkaulah yang terpilih,
anakku. Jiwamu Trunojoyo. Menangislah dengan lengking pedang di tangannya.
Genggamlah tekatmu demi mahkota di kepalanya,” begitu ayahku menyebutku saat
itu. Tapi, aku belum mengerti apa yang dia ucapkan, suara bising tiba-tiba
menyeretku menangis. Hawa panas manusia membuatku gelisah, inginnya segera
berlari, berlari kencang, meraih hidupku di kehidupan yang tak lagi dihuni oleh
manusia. Tak apalah, aku baru saja dilahirkan untuk menangisi manusia
menertawakan luka, anak-anak kelaparan, rakyat ditindas keserakahan para
penguasa. Kini aku datang, lahir sebagai anak manusia, membawa pesan mahkota
leluhur yang diam sejak lama di museum kenagan.
Semua menyaksikan kelahiranku, para peramal, perempuan-perempuan
janda, tak lupa juga kakek-kakek dan nenek-nenek juga tak ketinggalan
menyaksikanku menangis, melihat ciri-ciri khas dan tanda-tanda baik pada
diriku. Alam seperti damai kurasakan saat itu, burung-burung berhenti berkicau,
ayam-ayam, sapi-sapi, dan semua hewan peliharaan dan bebas mendengarkan
lantunan tangisku, seperti semua mata memandang, seolah-olah memberikan pesan
da sejuta harap untuk aku segera bangkit dewasa, lebur dengan mereka. Mengajak
mereka memakan benih dan air dari tanah yang telah lama mati diinjak-injak
penguasa. Pesan dan harap itu adalah tanggung jawab, tanggung jawab dalam
perjalanan hidupku.
Oh, bukanlah aku menjadikan diri sebagai pemegang tongkat kejayaan
dan mahkota kehormatan. Tapi angin barat laut membawaku kemari. Dengan
mitos-mitos dan ritual keagungan para penegak dan pembabat tanah ini. Aku
adalah manusia yang diciptakan dari tangis ibu dan ayah yang sejak lama mereka
mengharapkan punya keturunan. Sekian lama mereka menunggu anak yang dia
lahirkan tumbuh besar, namun beberapa jabang bayi yang dikandungnya selalu
gagal, atau orang banyak menyebutnya keguguran. Pertama orang tuaku punya anak
laki, tidak menjelang lama akhirnya meninggal dunia, anak pertama berusia dua
tahun. Yang kedua, ibuku mengandung lagi, enam bulan usia kandungan berjalan,
tiba-tiba keguguran. Yang ketiga, ibuku mengandung lagi, menjelang usia
kandungan lima bulan, tiba-tiba keguguran lagi. Setiap hamil, jarak untuk hamil
lagi berjarak satu tahun, baru bisa hamil kembali.
Harapan seperti mulai hancur mereka rasakan, setiap hari mereka
tidak pernah lupa berdoa agar diberi keturunan. Sebab, sudah bertahun-tahun
mereka menjalani hubungan rumah tangga, namun tidak punya keturudan seorang
anak yang bisa mereka rawat sampai dewasa dan melihatnya tumbuh besar sebagai
manusia yang berbakti kepada kedua orang tua, nusa, dan agama. Aku tidak
merasakan bagaimana sakitnya hati dan perasaan mereka saat melihat anaknya
sudah meninggal dunia dan keguguran, aku tak bisa membayangkan bagaimana air
matanya jatuh penuh harap. Kini, aku memenuhi panggilan air matanya, memasuki
ruang-ruang kosong dalam tubuh mereka. Akulah setelah satu tahun kemudian dari
keguguran kehamilan ibu yang ketiga. Berdiam menyepi dalam perut rahim ibu,
sesekali menendang-nedang perut ibu dengan kenakalan-kenakalanku, dan berharap
kepada Tuhan untuk segera aku dikeluarkan dari desah sakit air mata ibu. Aku
ingin melihat mereka tersenyum, memelukku dengan mesra, menikmati kasih sayangnya
menghirup udara dunia. Akulah anak dari air mata ibu.
Setelah satu tahun dari keguguran, di saat ibuku mengandungku
dalam usia empat bulan kandungannya, ada seorang nenek tua datang ke rumah
malam-malam, dia seorang dukun pijat dan dikenal sebagai orang pintar di
desaku, dia mengetuk pintu membangunkan orang tuaku. Dengan kaget orang tuaku
bangun dan membuka pintu, “ad apa, nek?” tanya ayahku, yang sadari tadi kaget
mendengar ketukan pintu.
“Anakmu laki-laki,” ucapnya tanpa basa-basi. Sementara ayah dan
ibu kaget, dalam hatinya bertanya, “kok bisa tahu?” tapi hal itu tidak terlalu
dipikirkan, orang tuaku keburu senang mendengar nenek tua itu mengatakan
begitu. Artinya, orang tuaku masih punya harapan seorang anak untuk mereka
rawat sampai dewas dan tumbuh menjadi seperti mereka pula.
“Besok kalau lahir, beri dia nama Sufyan. Kelak anakmu akan jadi
juru tulis, dan memiliki jiwa pemimpin,” lanjutnya. Orang tuaku hanya diam,
tidak bisa membalas apa yang diucapkannya. “Tapi, kalian mesti bersabar, masa remaja
anak itu melanglang buana ke mana-mana. Dia akan mejelajahi tempat-tempat yang
tidak pernah dia ketahui sebelumnya. Dia akan jauh dari desa ini sementarawa
waktu, dia akan kembali setelah dia membawa bekal; pengalaman, pengetahuan, dan
siap berdiri di sini kembali. Tidak usah bersedih, banyaklah berdoa, semoga dia
selamat, menjadi anak yang soleh dan bermanfaat bagi masyarakat.”
“Iya, Nek. Amin!” kata orang tuaku berbarengan.
“Saya pulang dulu,” ucapanya, lalu dia pergi. Orang tuaku kembali
masuk ke dalam rumah, dan mencoba menghilangkan apa yang dikatakan oleh nenek
tua itu, tidak terlalu banyak dipikirkan. Mereka hanya menginginkan bahwa kelak
anaknya lahir dengan selamat dan bisa mereka rawat, dan menjadi anak yang baik
yang berbakti kepada kedua orang tuanya, alias tidak muluk-muluk mempunyai anak
kelak harus menjadi pemimpin atau pejabat atau apalah yang mayoritas mausia
inginkan. Lagi pula apa yang diucapkan oleh nenek tua itu masanya masih lama,
terlalu dini bila dipikirkan dari sekarang. Mereka terus lelap kembali di
tempat tadi mereka tidur. Bahagia mengarungi mimpi-mimpi. Bangun pagi-pagi
dengan senyum basah, menjadi semangat kembali bekerja untuk bekal besok
persiapan anaknya lahir. Ibu sendiri tak lelahnya mengelus-ngelus perutnya yag
buncit, dan sambil lalu mengajakku ngombrol diiringi tangis bahagia air matanya
yang jatuh perlahan. Aku merasakan sentuhan kasih sayangnya, ucapannya yang
membuatku bertahan, angkuh dan kuat. Ibulah yang mengajari aku menjadi manusia,
manusia yang tangguh, manusia yang kuat, kurekam semua yang ibu ucapkan di saat-saat
dia mengelus perutnya. Ucapannya tak pernah berubah. Akulah itu, serupa air
mata doa ibu, doa yag tertanam benih-benih harap untuk aku berdiri di depan
matahari, membuka mata, menatap hari-hari.
#
# #
Aku merasakan bagaimana saat aku keluar dari kangkangan ibu, saat
ari-ari, saudara kembarku diputus dengan gigi geraham ayahku. Aku merasakan
bagaimana harapan kedua orang tuaku untuk aku bertahan hidup, terlebih ibuku
yang hampir mengorbankan seluruh nyawanya demi aku hidup. Ayahku dengan segera
memotong ari-ari, ari-ari saudara kembarku yang menghubungkan aku dengan ibu.
Ayahku memutuskannya demi aku tak tergantung kepada orang tua, saatnya aku
menjadi diri sendiri dan berdiri di atas kaki sendiri. Pertanda bahwa hidup
baru telah dibuka, perjalanan baru aku mulai dengan tangis. Kulihat ibuku
lemas, tergeletak di ranjang, dia belum tersadarkan diri, dia baru saja
memasukkan separuh nyawa untukku. Tapi aku tahu, bahwa ibu sedang lelah yang
sangat, meski aku keburu ingin disentuh ibu, aku sabar menunggu sampai dia
terbangun. Aku yakin, bahwa dia juga ingin segera tahu wajahku dan segera
menggendongku.
Sementara ayahku masih sibuk dengan ari-ariku, dia dengan semangat
mencucinya dengan bersih. Aku merasakan seperti ayahku sedang memandikanku,
lalu aku merasa seperti ayah memasukkan aku ke dalam kendi, seperti batok
kelapa, aku merasa seperti berada di dalam sebuah ruangan yang gelap sekali.
Ah, ayah menggendong ari-ariku dalam kendi yang sudah terbungkus kain mori ke
halaman rumah, dengan payung di tangan kirinya. Dia meletakkan ari-ariku di
sebelah kanan pintu utama rumah.
Ayahku ternyata percaya juga bahwa ari-ariku sebenarnya adalah
saudara kembarku yang berbentuk lain, dia merawatnya dengan baik, seperti dia
juga merawatku. Dia rela merawat ari-ariku selama empat puluh hari. Ayah
meletakkan lampu minyak di tempat ari-ariku ditanam sebagai penerang. Meski
ari-ariku diputus dari pusarku, dia tetap masih berhubungan secara batin,
perilaku, pola hidupku kelak. Hidupku, batinku, perilakuku mengikuti ari-ariku.
Makanya, ayahku memperlakukan ari-ariku dengan sangat hati-hati dan istimewa.
Selain lampu minyak sebagai penerang, yang diyakini oleh ayahku sebagai simbol
penerang bagi jalan hidupku juga, ayahku menaburkan di tempat itu dengan
kembang agar ari-ariku harum, dan membikinkan tempat rumah bambu, agar dia tak
kehujanan, kepanasan, agar hewan-hewan buas tak memakannya, dan agar
makhluk-makhluk halus tidak memburunya. Di sinilah orang tuaku seperti menciptakan
masa depanku, dia menciptakan masa depanku dengan harapan terang benderang,
bangkit dari keterpurukan, tidak ditindas, pemberani, mandiri, punya tekat yang
baik dan kuat, dan menjadi diri sendiri, serta menjadi anak yang berguna,
berbakti kepada orang tua, agama, bangsa, dan negara.
Di hari keempat puluh hari, orang tuaku melaksanakan upacara
Molang Are atas kelahiranku, sekaligus memberikan serta menetapkan nama
untukku. Nama yang diberikan tak jauh dari kalimat-kalimat yang tak jauh dari
nuansa atau kalimat-kalimat yang berbau islami. Di hari itu, ada banyak orang
yag datang menghadiri upacara itu, ikut menyaksikan dan berdoa serta puji
syukur atas karunia seorang anak yang diberikan oleh Tuhan kepada orang tuaku.
Semuanya terlihat gembira. Pada saat itu pula, laki-laki, perempuan, tuan dan
muda menyentuh keningku, ada juga yang menciumnya, dan ada juga yang
menggendongku. Meski aku tidak mengatakan apa-apa, tapi aku tahu mereka
menyentuhku atas dasar cinta, kegembiraan, dan rasa syukur kepada Tuhan sang
Pencipta. Aku membelas sentuhan mereka denga senyum polos, dengan tatapan mata,
dan dengan caraku yang lain yang membuat mereka senang menyentuhku.
Molang Are, merupakan tradisi budaya, kepercayaan, norma, yang
merupakan tradisi masyarakat Madura. Upacara ini dilakukan untuk melaksanakan ritual
dalam rangka memperingati kelahiran bayi. Meski kadang ada yang berbeda, ada
yang dilakukan tujuh hari dan ada yang empat puluh hari dari kelahiran sang
bayi. Upacara Molang Are ini memiliki nilai yang sarat akan makna agama; dalam
upacara itu terdapat ritual keagamaan, seperti berzikir, baca shalawat atas
nabi, pengorbanan, penebusan, pembebasan, dan selamatan yang diyakini sebagai
bentuk kekosongan diri seorang bayi dari segala dosa. Bahwa anak lahir itu dalam
keadaan suci (fithrah), tanpa
dosa-dosa.
Ah, di sini aku didandan di tengah-tengah berlangsungnya acara
upacara Molang Are itu. Tubuhku diletakkan di atas talam yang ditaburi
bunga-bunga harum. Di sinilah, sang manusia pilihan nabi Muhammad hadir. Lalu orang-orang
mengusapi jidakku dengan tangannya dari air doa yang sebelumnya disiapkan
secara bergantian. Kudengar kumandang sholawat dilantunkan, sorak sorai
kegembiraan. Tak lama kemudian bulu kepalaku yang tipis dicukur sebagian,
katanya sebagai bentuk penjernihan yang dipercaya agar si bayi bebas dari
bencana dan bala’, cerdas, taat pada orang tua dan mampu menghadapi rintangan
dalam hidupnya. Potongan rambutku kemudian mereka timbang, lalu berat timbangan
rambutku ditukar atau mereka menyebutnya ditebus dengan emas yang nettonya juga
sama dengan berat rambutku itu.
Setelah selesai acara pemotongan rambut, biasaya dilakukan
pemberian nama untuk si bayi, nama yang dicocokkan atau diambil dari hari,
minggu, bulan, tanggal, tahun, dan jam waktu dilahirkan. Nama itu diminta
kepada atau yang memberikan adalah Kiai, ustadz, atau guru ngaji. Namun, namaku
sudah ditentukan jauh sebelum aku lahir itu, yang diberikan oleh nenek tua yang
malam-malam ke rumahku. Langsung saja orang tuaku menetapkan namaku “Sufyan” sekaligus
diumumkan pada orang-orang yang hadir kala itu.
Masa-masa kecilku, aku disukai banyak orang. Tubuhku montok. Warna
kulitku putih dan bersih. Aku dikenal anak paling lucu dan terlihat pintar
dibandingkan dengan anak-anak yang lain seusiaku. Aku jarang berada di pangkuan
ibu, aku lebih sering dibawa orang, tetangga, mbak-mbakku, kakak-kakakku,
paman, bibik, dan setiap ada orang yang melihatku pasti ingin menggendongku dan
menciumku. Sebagai seorang bayi, aku semakin saja memanja, namun tidak rewel.
Aku menganggap semua orang yang menyentuhku adalah ibuku, sentuhan kasih
sayang. Aku berada di pangkuan ibu saat aku merasa haus dan ibuku yang sudah
benar-benar rindu menggendongku. Setelah itu, aku dilepas dibawa orang-orang
bermain yang entah bermain apa dan ke mana aku tidak tahu. Aku mengikuti ke
mana mereka membawaku selama itu membuatku tentram dan merasakan kedamaian. Aku
tahu, bahwa mereka tak mungkin membawaku kabur dari orang tuaku. Aku tahu bahwa
mereka tak mungkin menyakiti aku yang bayi, mereka semua adalah ibuku,
ibu-ibuku yang lain yang menyentuhku dengan kasih sayangnya.
Pada usiaku ke tujuh bulan, orang tuaku melakukan upacara Toron Tana. Upacara ini dilakukan untuk menguak
masa depan dan kepribadian sang anak, dan untuk mensyukuri anak tersebut yang
telah beranjak usia tujuh bulan. Dalam usia tujuh bulan ini, si anak diyakini memasuki
ruang kosong, pikirannya akan dibentuk oleh lingkungan dan keluarganya sebagai
sumber atau figur dalam berperilaku. Di sinilah perubahan baru dimulai, dari
perubahan fisik belajar merangkak, berjalan, dan berbicara. Tak lain upacara
ini dilakukan untuk memberikan harapan baru, gairah, support orang tua kepada
si anak dalam memulai belajar melangkah, berbicara, dan merubah pandangannya
dengan baik dan benar.
Dalam upacara Toron Tana ini,
aku diletakkan di tengah-tengah undangan selesai sholawat qiyam (barzanji) yang
oleh orang tuaku undang untuk ikut melakukan upacara itu. Orang tuaku
mengundang family-family dan tetangga menghadiri upaca ini. Uapacara ini
berlangsung di teras rumah. Aku duduk sambil dipegangi ayahku di dekat nampan
berisikan tepung, pisau, kain, asam, segala jenis bebijian, al-Qur’an, pena,
buku tulis, korek api, uang, sisir, bedak, dll. Kulihat tidak hanya orang yang
tua-tua mengelilingiku, tapi juga ada banyak anak kecil mengelilingi tempat aku
duduk disuruh mengambil barang-barang yang disiapkan itu, yang aku anggap semua
itu adalah mainan. Lekas setelah itu, ayahku mengusir salah satu anak yang
sadari tadi mau menemaniku bermain. Tapi aku tahu, bahwa ayahku tidak sedang
marah, dia sedang mengusir bala’ dari dalam diriku, mengusir bencana yang mau
mendekatiku. Aku dituntun mengambil salah satu benda yang ada di depanku.
Pertama aku ambil pena, lalu al-Qur’an, kemudian buku tulis, setelah itu aku
ambil satu-satu sisanya. Katanya, mereka meyakini bahwa benda yang pertama yang
aku ambil itulah yang menggambarkan sebagai jalan hidupku.
#
# #
Seperti biasa, aku sering dibawa main ke mana-mana. Suatu ketika,
aku dibawa Tomin, kakak sepupuku, bermain di bawah pohon asem rindang di
pinggir jalan. Di sini anak-anak bermain
jual-jualan, loncat tinggi, main kartu, dan sebagainya. Tomin
menggendongku, aku belum bisa berjalan sendiri, baru saja aku bisa belajar
duduk dan merangkak. Anak-anak yang lain juga ikut ramai menemaniku. Aku
sungguh menikmati mainan mereka meski aku sendiri tidak tahu bermain. Aku
menikmati suasananya.
Sang itu, tenggorokanku merasa haus, perus meraas lapar, aku
menangis, agar orang yang mengajakku membawaku segera pulang. Aku jarang
menangis. Aku menangis hanya bila aku merasa lapar dan haus, selebihnya tidak.
Tangisaku sebagai tanda bahwa aku lapar dan haus. Segera Tomin menyampariku,
lalu mengangkat tubuhku ke atas bahunya. Ah, dia sepertiya tidak kuat
mengangkat tubuhku sampai ke atas bahunya. Tubuh dia juga masih kecil, dia baru
saja berusia empat tahun. Empat tahun lebih tua dariku. Tidak biasanya, dia
seringkali menggendongku atau membawaku dalam bentuk ditimang. Namun sekarang
dia tiba-tiba mengangkat tubuhku ke atas bahunya, inginnya aku duduk di bahunya
sambil kedua tanganku dipegangi. Tapi, dengan tubuh dia yang juga kecil, tulang
muda, aku tak bisa diletakkan di bahunya, dia mengangkatku dengan sekuat
tenaga, yang akhirnya aku malah tidak duduk di atas bahu, tapi seperti aku
dilempar ke belakang tubuhnya dan terjatuh di akar pohon asem. Akar-akar pohon
asem tua. Akar-akar yang menjadi tubuh. Tubuhku terlempar di salah satu akar
besar pohon asem itu.
Seketika aku tidak sadarkan diri, Tomin berlarian ke rumah
mengabarkan aku ke orag tuaku. Anak-anak yang lain berteriak meminta tolong.
Mereka hanya bisa berteriak dan tidak ada satu pun yang segera mungkin
mengangkatku dari akar pohon itu. Aku terkulai lemas. Tiba-tiba kudengar begitu
banyak orang. Ibuku tergopoh-gopoh mengangkatku. Tapi aku tak sadarkan diri,
suara orang-orang kudengar seperti bisikan yang entah berkata apa. Aku
merasakan sakit di bagia rusuk kiri dan pinggangku. Aku menahan sakitnya
kuat-kuat. Tubuku yang kecil, rasanya tak kuasa menanggung beban sakitku.
Kini, aku tak lagi bermain bebas dengan semua orang, aku terbaring
di ranjang ibuku, berdiam diri menyepi. Kutahan nafas menahan rasa sakit. Tubuh
kudiamkan tenang tak bergerak. Aku berusaha ingin sembuh sendiri dari sakit
tanpa merepotkan kedua orang tuaku. Aku ingin cepat sadar. Aku tahu bahwa Tomin
saat ini sedang berada pada marah orang tuaku dan orang tuanya. Dia pasti
ketakutan. Dia pasti sangat merasa bersalah, karena membuatku sakit. Aku ingin
segera melarang mereka yang memarahi Tomin, atau mungkin dia tidak hanya
dimarahi, tapi bisa jadi dipukul oleh orang tuaku atau orang tuanya. Aku ingin
dia tidak ketakutan dengan marah yang menyalahi dia seorang.
Tangin menunggu aku terbangun. Orang menganggapku sudah mati.
Sementara orang tuaku seperti tak punya harapan lagi aku hidup. Aku dianggap
mati karena aku tidak bergerak dan tak bernafas. Orang tuaku sudah pergi ke
mana-mana mencari tempat dan orang yang bisa menyembuhkan diriku, dari kiai,
tabib, dan dukun sudah orang tuaku datangi. Pulang membawa air, kembang
berwarna-warni, ramuan-ramuan, dan beberapa doa-doa untuk durapi ke tubuhku,
namun aku juga tak sadarkan diri. Orang tuaku seperti putus asa menunggu aku
terbangun. Meski keyakinannya aku mati, tapi mereka tak mau menguburkan
jasadku, merak punya keyakinan bahwa aku masih punya harapan untuk hidup lagi.
Mereka tidak tahu apa-apa tentang hal itu, persoalan mati, atau
tidak mereka pasrahkan semuanya kepada Tuhan sang Pencipta. Bila selama satu
minggu aku belum bangun dan sadar, mereka aka benar-benar yakin bahwa aku
benar-benar mati. Kalau orang saat ini menyebutku koma, alias belum mati. Cuma
mereka yakin saja dengan posisiku yang tak bernafas dan tak bergerak, bahwa aku
masih punya harapan hidup.
Satu minggu aku berbaring tak sadarkan diri, lama sekali rasanya.
Orang tuaku sudah putus asa, anak satu-satunya yang diharapkan hidup
benar-benar mau tiada. Pikiran dan hatinya dihantui kekacauan dan ketidak
tenangan. Caki maki, pujaan, dan taubat selih berganti diucapkan orang-orang
yang menemaniku berbaring, terlebih orang tuaku. Aku mendengarkan bising tangis
tergopoh-gopoh. Ah, seorang nenek tua yang dulu meramalkan aku itu tiba-tiba
datang, namanya Mbah Nisan, datang tanpa berkata apa-apa, lalu mengusap
keningku, menciumi pipiku, lalu membacakan doa-doa yang disemburkan ke dalam
air lalu ke tubuhku, air doa dalam gelas diletakka di dekat kepalaku.
“Banyak berdoa. Ucapkan apa yang kalian inginkan, ajak anak ini
bicara sesuai keinginan kalian,” pinta Mbak Nisan kepada orang-orang yang
menjagaiku.
“Nak, kalau kamu hidup, apa pun yang kamu minta akan nenek
berikan. Yang penting kamu hidup ya, Nak..!” seru Nyai Suri, nenekku dari ibu.
“Nak, kalau kamu hidup, nenek akan memberikan apa pun yang kamu
minta, yang penting kamu hidup. Tidak apa meski kamu berani ke nenek, yang
penting kamu hidup, Nak..” ucap Nyai Sari, nenekku dari ayah.
“Nak, kalau kamu hidup, makanan yang ada di dapur itu kamu
habiskan tidak apa-apa, nenek rela meski saya lapar, yang penting kamu hidup,
Nak. Habiskan semua makanan yang ada di rumah itu selama kamu mau, saya rela,”
kata Nyai Seya, saudari nenek dari ayah.
“Nak, kalau kamu hidup, kamu tidak usah bekerja, biar ibu dan
ayahmu yang bekerja untuk kamu. Besok kamu ngaji, sekolah, dan mondok. Bila
kamu mau mati, ibu rela melepaskanmu, Nak. Pulanglah agar kamu tak beban
sakitmu. Ibu rela.”
“Nak, ini ayahmu. Sadarlah bila kau ingin melanjutkan hidupmu. Da
pergilah denga segera bila kau ingin meninggalkan kami. Ayah sudah merelakanmu,
Nak. Bila kau hidup, kau tidak usah membantu ayah bekerja bertani, cari makan
sapi, kamu cukup mencari ilmu, ngaji, sekolah, dan mondok.”
Hampir semua orag yang ada melontarkan keinginannya. Aku merasakan
apa yang telah mereka ucapkan, dan aku tahu siapa mereka. Mereka semua
orang-orang yang menginginkan aku hidup, tertawa lepas, bermain dengan mereka.
Aku tak ingin menyia-nyiakan harapan mereka. Aku sudah lama berdiam. Sudah
saatnya aku bangun dari tidurku. Orang-orang sudah menunggu. Lekas aku
menghembuskan nasaf pelan, menggerakkan kedua tangan, lalu menangis. Segera
Mbah Nisan memberikan air doanya ke bibirku, aku minum enam kali tegukan, aku
benar-benar haus sekali. Sejenak mereka tersenyum, puji syukur kepada Tuhan
berulangkali mereka ucapkan. Ayahku pergi ke kamar mandi, berwudhu’, lalu
shalat sunnah syukur atas sembuhnya diriku. Segera dia kembali dan
mengendongku, menciumi pipi kanan dan kiriku, setelah itu aku diberikannya
kepada ibu. Ibu mendekapku dengan hangat, seperti udara yang tiba-tiba msuk ke
jantungku. Aku tahu bahwa rindu dan kasih sayang ibulah yang sangat. Aku rindu
ibu.
Nyai Suri membikinkan aku bubur dicampur pisang susu, makanan
kesukaanku. Ibuku yang menyuapinya. Aku sangat lapar sekali. Ayahku sibuk
menyiapakan selamatan, doa bersama, sekaligus makan-makan bersama atas
kesembuhanku. Aku terus diayun oleh ibu dipangguannya sambil menyuapi bubur
pisang ke bibirku. Aku senang. Tubuhku terasa pulih kembali. Kembali segar. Ibu
tersenyum bahagia.
Setelah selamatan selesai, Mbah Nisan menghampiriku, duduk santai
dengan beberapa keluarga dan familyku. Dia bercerita banyak tentang pengalaman
mengobati, terlebih ketika dia punya pandangan besar terhadap kehidupanku
besok. Dia mulai bercerita banyak tentang Sampang tanpa menggunakan bacaan
apa-apa, dia merekam semua cerita-cerita terdahulu dalam otaknya;
“Semua orang tahu, pangeran
Trunojoyo Sampang, dengan kehebatannya dia bisa merebut kekuasaannya kembali
dari tangan penjajah Blanda. Perjuangannya memerangi penguasa dhalim dalam membela
Nusa dan Bangsa mengusir penjajah dari bumi ini. Kalian tahu, pangeran
Trunojoyo itu keturunan dari Ratu Ibu Madegan Sampang, pasangan pangeran
Cakraningrat I atau nama aslinya Raden Praseno. Orang-orang terdahulu itu
mempunyai kemampuan yang luar biasa. Kehebatan raja-raja di Sampang itu luar
biasa hebatnya.
Jauh sebelum Trunojoyo lahir, Sampang ini memiliki keunikan
tersendiri, dan sudah ada raja-raja kecil. Tahun 835 M pada abad ke 7, di
Sampang sudah ada padepokan agama Buddha dengan seorang resi sebagai pusat
kekuasaan, dan guru agama. Peninggalan Candra Sangkala di sumur Daksan,
Dalpenang, Sampang. Peninggalan Candra Sangkala itu merupakan kebanggaan kita, bahwa
jauh sebelumnya Sampang sudah ada masyarakat yang berkembang meski tidak
teratur seperti sekarang. Candra Sangkala itu dulu berbentuk tulisan, saya
tidak tahu kalau sekarang masih ada atau tidak; bentuknya itu; kudok alih ngrangsang ing buto, yang
artinya itu menunjukkan tahun Caka pada tahun 757 C. (835 M.). Candra Sangkala juga
ditemukan di buju’ Nandi di Kemuning Kedundung, yang seingatku berbunyi; nagara gata bhuwana agong, yang
menunjukkan tahun Caka 1301 (1379 M.). Candra Sangkala juga ditemukan di Pangeran
Bangsacara Takobuh, yang berupa angka 1305 C. (1383 M.).
Belakangan raja Madura yang sempat memerintah itu adalah raja Ario
Lembu Peteng sekitar abad 14 M. Dia putra dari Prabu Brawijaya V, kemudian
diperintah oleh Raja Ario Menger, Ario Patikal, Nyai Ageng Boedo, dan Kiai
Demong sekitar tahun 1531-1623 M. secara berturut-turut. Kerajaan Kiai Demong
itu kemudian dipindah dari Madegan Polagan Sampang ke Pelakaran Arosbaya
Bangkalan, dan dipindah lagi ke Sampang setelah Madura berhasil ditaklukkan
oleh kerajaan Mataram. Kiai Demong merupakan raja keturunan dari Majapahit yang
sudah masuk Islam. Kemudian digantikan oleh Panembahan Lemah Duwur sekitar
tahun 1531-1592 M., cucunya. Masjid Madegan Polagan Sampang itu adalah salah
satu peninggalan Panembahan Lemah Duwur, sampai sekarang masih ada dan keramat.
Orang bayak melakukan sumpah pocong di sana bagi orang-orang yang dianggap
bersalah untuk menemukan jawaban yang jelas dan pasti. Panembahan Lemah Duwur
adalah salah satu orang yang berjasa dalam meletakkan dasar-dasar kepemimpinan
Islam di Madura.
Panembahan Lemah Duwur mempunyai keturunan Pangeran Tengah
(1592-1621) yang kemudian menikahi Ratu Ibu I, yang sekarang makamnya ada di
makam raja-raja Madegan Polagan Sampang. Nah, Pangeran Tengah memiliki
keturunan seorang anak bernama Raden Praseno, yang memiliki gelar Pangeran
Cakraningrat I, dia hidup sekitar tahun 1624-1648 M. Pangeran Cakraningrat I kemudian diambil
menantu oleh Sultan Agung dengan salah satu putrinya yang dikenal Ratu Ibu II. Raden
Praseno diangkat oleh Sultan Agung menjadi Raja Mataram pertama yang berkuasa
di wilayah Madura Barat dengan gelar Cakraningrat I. Dia nobatkan langsung oleh
Sultan Agung pada tanggal tanggal 23 Desember 1624 M. Selain sebagai menantu,
dia juga sebagai panglima perang Mataram yang handal, sampai akhirnya, makamnya
pun dikebumikan dengan makam raja-raja di Imogiri Jawa Tengah. Selama
kepemimpinannya, dia jarang berada di Sampang, karena dia diangkat sebagai
panglima perang Mataram. Dalam menjalankan tugasnya sebagai panglima perang,
dia dibantu oleh salah seorang putranya dari selir, Raden Maluyo, untuk memerangi
pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh Pangeran Alit, tapi keduanya
akhirnya gugur di medan pertempuran.
Kerajaan Mataram pun setelah Sultan Agung Hanyokrokusumo mangkat
sekitar abad 16 M., yang awalnya kekuasaan itu diberikan kepada menantu
kesayangannya, Cakraningrat I, tapi ternyata, dengan pola permainan politik dan
intervensi Belanda, tampuk kekuasaan diserahkan kepada Sunan Amangkurat I, adik
ipar Sultan Agung sendiri. Di mana Sunan Amangkurat I ini dikenal sebagai Raja
Mataram yang mau bersekutu dengan penjajah Belanda.
Raden Maluyo meninggalkan seorang anak bernama Pangeran Trunojoyo.
Pangeran Trunojoya itu sebenarnya, sepeninggalan pangeran Cakraningrat I,
dialah orang yang berhak menerima tahta kekuasaannya. Dia orang yang paling
berhak meneruskan roda pemerintahan. Namun, tahta itu diberikan kepada Raden
Undagan yang bergelar Cakraningrat II (1648-1707 M). Di sinilah Belanda ikut
campur dalam pengalihan tahta kekuasaan. Kepemimpina Raden Undagan itu tidak
belangsung dengan baik, yang akhirnya tatanan dinasti Cakraningrat hancur dan
Pangeran Tronojoyo tersingkir dari kerajaan Madura Barat.
Nah, di sini, sang Pangeran Trunojoyo melakukan pemberontakan
(1648). Kemudian istana dipindahkan dari Madegan Polagan Sampang ke Pelakaran
Arosbaya Bangkalan oleh Pangeran Cakraningrat II. Pangeran Trunojoyo dan
pasukannya memberontak dan tidak mau bekerja sama dengan penjajah Belanda serta
berhasil membumihanguskan istana kerajaan di Madegan Polagan. Tapi, meski
berhasil melengserkan kekuasaan Sultan Amangkurat sebagai Raja Mataram, tapi
Pangeran Trunojoyo menolak menjadi penguasa dan menduduki singgasana Kerajaan
Mataram. Dia hanya ingin menjadi penguasa Kerajaan Madura Barat saja, yang
akhirnya Pangeran Trunojoyo resmi dinobatkan menjadi Raja Madura Barat dengan
gelar Panembahan Maduretno. Panembahan Maduretno membawa mahkota Kerajaan
Mataram, dia menolak menyerahkan simbol kekuasaan Kerajaan Mataram, selama
Sultan Amangkurat tidak bersedia memutuskan kerjasama dengan Belanda. Sampai
akhirnya tuntutan itu dipenuhi, dan mahkota Kerajaan Mataram dikembalikan.
Sebagai penguasa di Kerajaan Madura Barat, salah satu peninggalan Pangeran
Trunojoyo adalah monumen yang ada sampai sekarang itu; monumen Trunojoyo ini yang
kemudian dijadikan sebagai pusat latihan kelaskaran prajurit Kerajaan Madura
Barat. Pangeran Tronojoyo gugur dalam medan pertempuran melawan kebatilan yang
dilakukan kedua kakek dan pamannya serta mengusir penjajah Belanda dari bumi
pertiwi ini.
Setelah abad 17 M., Sampang menjadi daerah Kadipaten, dengan
Adipatinya Raden Temenggung Purbonegoro, dan Raden Ario Meloyokoesuma. Tanggal 15
Januari 1885 Kadipaten dipimpin oleh Adipati Raden Temenggung Ario Koesuma
Adiningrat. Tarus dilanjutkan dipimpim secara berturut-turut oleh Raden
Temenggung Ario Candranegoro, Raden Adipati Ario Secodiningrat, Raden Ario
Suryowinoto, dan Raden Temenggung Kartoamiprojo. Pada tahun 1929 sampai dengan 1931
M. Kadipaten dipimpin oleh Raden Ario Sosrowinoto.”
Begitulah tutur katanya, orang-orang terlihat cermat mendengarkan
tuturnya. Memandang ta’dhim ke Nyai Nisan. Aku hanya diam dalam dekap hangat
ibu sambil sesekali aku diayun mendengarkan tutur cerita Nyai Nisan. Seperti
biasa, setelah selesai acara, orang-orang duduk santai sambil ngobrol seputar
kehidupannya, agama, cerita-cerita kuno, mitos, dan sebagainya. Aku tak tahu
kenapa Nyai Nisan menceritakan Raja-raja di Sampang dahulu kala, tak ada maksud
yang aku tangkap atau pun mereka yang dengan seksama mendengarkannya. Entahlah.
Barangkali dia hanya sekedar bercerita, mengisi waktu kosong setelah acara,
atau suatu gambaran atas kegembiraan kesembuhanku dari tidur yang nyenyak, atau
mungkin suatu tanda bahwa akulah yang diharapkan dalam cerita itu yang diyakini
sebagai reingkarnasi Trunojoyo, bahwa Sampang harus kembali dipimpin orang yang
punya jiwa pemimpin seperti Trunojoyo.
Aku sendiri tidak mengharapkan itu, aku tak tahu apa-apa soal
cerita yang diceritakan oleh Nyai Nisan itu, terlebih aku tak tahu diriku
sendiri. Pangeran Trunojoyo masih asing dalam diriku, dia masih fiktif dalam
hati dan pikiranku. Cerita tentang bangkitnya atau kembalinya Trunojoyo ke
Sampang aku anggap mitos sebagian orang yang mendewakan Pangeran Trunojoyo,
kalau pun itu benar, aku masih meragukannya. Lagi pula, bila aku yang terpilih
menjadi reingkarnasi dari pangeran Trunojoyo, aku bukanlah orang yang pantas
menerimanya. Aku tak ingin hidupku terbebani tongkat dan mahkota, yang semua
itu adalah merupakan wujud tiran—menyaingi Tuhan. Aku hanya ingin hidup
sederhana, damai, membagun rumah tangga, berbuat baik terhadap sesama, tak
pandang bulu, tidak memandag orang sebelah mata. Hidupku akan dikenang sepanjang
berjalannya kehidupan ini. Akulah aku yang tak ingin menjadi bagian dari orang
lain, biarlah ia kukenang, biarlah ia menjagaiku dalam segala tindakanku,
biarlah kuteruskan cerita kehebatannya dalam hidupku tanpa harus menjadikan aku
sebagai ia. Dialah dia, dan akulah aku.
“Saya pamit dulu. Saya mau pulang duluan,” ucap Nyai Nisan selesai
bercerita, lalu berdiri. “Semoga saya masih bisa melihat anak ini tumbuh
menjadi besar. Saya ingin menyaksikan dia seperti yang telah diramalkan oleh
sesepuh-sesepuh kita. Saya percaya ramalan itu.”
“Amin,” ucapnya tamu yang lain.
“Ya sudah. Saya mau pamit dulu, Nak,” ucapnya ke ibu dan ayahku.
“Iya, terima kasih banyak, Nek.” Ayah menjulurkan tangannya
bersalaman, memberikan Nyai Nisan upah uang karena telah membuat aku sembuh
dari tidurku. Sedang ibu memebrikan dia makanan yang entah makanan apa, mungkin
nasi dan sisa-sisa jajan selamatan tadi.
“Kok masih repot-repot!” katanya.
“Tidak, Nek. Terima kasih banyak, Nek.”
“Sama-sama,” balasnya, dia mencium keningku, dan
mengelus-ngelus kepalaku, lalu dia pergi. Diam-diam aku mengagumi Nyai Nisan,
ingatannya tentang peristiwa sejarah penting Sampang sangat luar biasa. Orang
dulu memang kuat ingatannya, meski tak tahu baca dan menulis. Nyai Nisan aku
anggap orang yang paling tua di desaku, lebih tua sepuluh tahun dari nenekku
dari ayah, dia berkelahiran 1928 M. Aku menghitung langkahnya pun sudah tak
teratur, hebatnya dia belum jadi pelupa. Kelak, bila aku besar, aku ingin dia
melihatku, dan mendengarkan banyak cerita. Dia seorang nenek tua yang telah
menyelamatkanku. Aku ingin dia diberikan umur lebih panjang lagi.[ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar