Yan Zavin Aundjand

Selamat Datang di Prasmanan Sastra Yan Zavin Aundjand
Peringatan: Dilarang Pipis di Sembarang Tempat

Kamis, 16 Februari 2012

Ditinggal Orang Tua Merantau

Naskah Mentah Novelku Bagian Kedua (judul besar dirahasiakan).. hehehehe... monggo-monggo
oret-oretan: jam 02.35 s/d 19.16 wib sambil Facebookan
 


Usiaku lima tahun, lahir di tahun 1984, tepatnya di hari Senin Manis, jam 11 menjelang siang. Aku punya adik perempuan yang baru saja lahir beberapa bulan yang lalu, namanya Maimunah. Orang tuaku bekerja sebagai koli garam, dia sebagai pengangkut garam yang sudah dibungkus rapi dari areal tambak ke tempat pinggir jalan untuk nantinya dimasukkan ke dalam truk atau pick up. Dia berangkat kerja setiap hari, setiap jam tujuh pagi dari Camplong ke Sampang dengan mengendarai kol. Setiap berangkat kerja, dia membawa sangu, nasi bungkus ke lokasi kerja buat dimakan siang. Upah jadi koli garam ayahku tidak seberapa, dari upah Rp. 700 sampai dengan Rp. 1.000 per hari.
Dari pekerjaan itulah, ayahku bisa menabung uang upah dari uang sisa belanja keluarganya. Aku sendiri tak pernah meminta uang jajan, kecuali aku diberi sendiri oleh ayah. Untungnya, aku tak pernah meminta. Aku seperti ada yang menuntun, memberi tahuku bahwa ayahku bekerja sebagai koli dengan upah kecil, dan hanya cukup menutupi belanja sehari-hari keluarganya. Aku merasa dengan sendirinya kasihan melihat ayahku banting tulang, dia pekerja keras, dia orang yang taat agama, dan tak pernah lalai dalam kewajibannya.
Dari tabungan yang dikumpulkan oleh ayahku, uang yang dia tabung itu kemudian dibelikan becak. Dia ingin pindah kerja dari kuli garam pindah sebagai tukang becak. Adanya uang yang terkumpul sebesar Rp. 250.000, dengan harga becak Rp. 200.000, masih ada sisa Rp. 50.000 buat simpanan belanja. Dia terus menekuni pekerjaan itu. Hujan tak kenal hujan, panas tak kenal panas, dengan tekun dan sabar duduk di pasar dan berjalan dengan becaknya di jalan raya, mencari penumpang dan kadang menunggu pelanggan.
Aku ingat betul bagaimana ayahku pulang dari kerja dengan basah kuyup, dengan membawa uang ratusan rupiah dengan jumlah Rp. 3.000 di kantong celananya yang juga basah. Aku merasakan bagaimana perjuangan ayahku mempertahankan hidup dan keluarganya. Aku sangat merasakan kesedihan itu saat dia mulai mengeluarkan uang ratusan rupiah dari kantong celananya, kemudian dikeringkan di atas meja di teras rumah, kemudian dia pergi ke dapur dengan tergesa, sepertinya sangat lapar. Aku lihat ayahku melahap nasi seperti orang kelaparan yang tidak makan beberapa hari. Aku sedih menatapnya. Mulai saat itu, aku tidak berani mendekati ayah, hatiku merasa takut. Aku tak ingin dia merasa terganggu di saat dia lelah dan butuh istirahat.
Ibuku sudah sibuk dengan merewangi adik perempuanku, Maimunah. Dia masih kecil, masih butuh rawatan dan penjagaan setiap hari. Tidak sepertiku yang sudah menjadi anak-anak, sudah bisa bermain sendiri dengan teman-teman seusiaku, sering diajak mbak-mbak sepupuku, kakak-kakak sepupuku, atau kadang tetangg-tetanggaku mengajakku bermain di rumahnya. Bermain apa saja yang kami suka. Kami bermain sesuka hati kami. Kadang bermain jual-jualan, mantan-mantanan, main kelereng, umpet-umpetan, lari-larian, dan apa saja yang penting menyenangkan.
Namun, yang sangat menyedihkan kawan, satu tahun setelah ayahku menjalani bekerja sebagai tukang becak, aku ditinggal keluargaku, ayah dan ibu, pergi merantau. Sedang adiku dibawa ke tempat rantau. Aku ditinggal bersama nenek dan kakekku dari ibu. Aku sangat sedih, karena aku tak lagi setiap hari melihat orang tuaku. Aku tahu, orang tuaku merantau tidak hanya semata-mata karena kebiasaan banyak orang di desaku merantau, tapi karena faktor ekonomi yang tidak berkecukupan di keluargaku. Bekerja sebagai tukang becak jauh lebih rendah penghasilannya dari pada waktu ayahku menjadi kuli garam. Sebelum berangkat merantau, ayahku menjual becaknya, uangnya sebagai ongkos perjalanan ke tempat rantau.
Di rantau, ayahku bekerja sebagai karyawan di salah satu toko kayu dan alat-alat bangunan di Kota Pasuruan. Yang punya toko adalah orang Cina yang sudah masuk Islam, yang kebetulan juga, yang punya toko sudah kenal lama dengan ayahku jauh sebelum merantau. Pak Yin, begitu ayahku memanggil majikannya. Pak Yin sangat baik kepada ayahku, dia banyak membantu segala kebutuhan rumah tanggaku sejak ada di rantau. Ibuku hanya sebagai ibu rumah tangga, dan menjagai adikku.
Di sinilah, ayahku banyak belajar dagang; dari dagang kayu, alat-alat bangunan, dan belajar menjadi tukang. Awalnya, ayahku hanya sebatas menjagai toko Pak Yin, melayani pembeli. Tapi, lama kelamaan, ayahku meminta untuk dipekerjakan di usaha Mebel Pak Yin. Dia bilang berterus terang kepada Pak Yin untuk belajar; belajar bikin kursi, almari, ranjang, dan sebagainya. Pak Yin mengizinkannya. Mulai saat itu, ayahku kerja di mebel Pak Yin.
Sebagai orang awam tentang mebel, dia banyak didampingi pekerja yang lain yang sudah paham. Dia mulai dari jadi tukang cat almari dan ranjang, kamudian lama kelamaan ayahku mulai memegang alat-alat mebel, mulai belajar membikin almari, ranjang, kursi, meski sementara waktu yang mendesai dan yang merancang itu masih orang lain, tapi dia mulai fokus mengerjakannya, sampai ayahku benar-benar paham apa yang dia tekuni itu, dan bisa mendesain sendiri model garapannya. Dia akhirnya ayahku juga belajar mengukir kayu di tempat itu.
Orang tuaku pulang satu tahun dua kali, yaitu ketika di hari raya idul Fitri dan hari Raya Idul Adlha. Pulang membawakan oleh-oleh buatku; oleh-oleh baju baru, sandal baru, kadang aku dibelikan sepatu, dan beberapa mainan motor-motoran dan tembak-tembakan. Aku senang sekali ketika keluargaku pulang, tidak hanya karena aku banyak dibelikan mainan atau pun pakaian baru, tapi aku rindu pelukan mereka, dan bisa melihat adikku tumbuh besar, mengajak dia tertawa, dan bermain denganku, meski dia belum tahu aku sebagai kakak kandungnya, sebab masih terlalu kecil.
Di kampung bersama nenek dan kakek aku tidak kesepian, aku punya banyak teman yang mangajakku bermain, aku punya banyak ibu lain yang mengajakku tertawa dan bercanda. Selain bermain, teman-temanku seringkali mengajakku masuk sekolah, tepatnya sekolah SD. Ah, aku suka sekali di sekolah, aku bisa bertemu dengan banyak teman. Mbak sepupuku, Saripah, seringkali menemaniku masuk sekolah, yang kebetulan dia resmi masuk SD di kelas dua.
Dari sini, setiap hari aku berangkat ke sekolah, alias ikut masuk kelas bersama mbakku. Nenek dan Kakek tidak tahu aku pergi ke sekolah setiap hari, mereka tahunya aku pergi bermain di tetangga, apalagi orang tuaku di rantau, dia tak mungkin tahu aku masuk sekolah. Dari saking seringnya masuk sekolah, tidak tahu kenapa, akhirnya guru sekolah yang entah siapa, kemudian meresmikan aku sebagai siswa. Hal ini terbukti ketika akhir studi kelas atau cawu, aku ternyata juga sama mendapatkan raport, lengkap dengan nomor induknya.
Aku memang sangat senang sekolah, padahal tidak ada yang menyuruhku sekolah, orang tuaku tidak pernah mengingatkan apalagi mengajariku tentang dunia pendidikan, nenek dan kakekku pun tidak tahu menahu tentang hal itu. Hal itu berangkat dari kesadaran dan kesukaanku belajar, dan ajakan main dari teman-temanku bermain, terutama mbakku, Saripah.
Pertama, sebagian orang di desaku, khusus kalangan orang-orang tua, menganggap sekolah formal itu adalah sekolah orang kafir. Yang kedua, sebagain yang lain, menganggapnya sekolah formal itu adalah sekolah yang tidak berguna apa-apa, karena dianggap tidak ada bau agamanya sama sekali, alias bukan sekolah yang menjurus masuk surga. Yang ketiga, mereka menganggapnya sebagai sekolah pemerintah, artinya sekolah pemerintah itu adalah sekolah yang kelak akan menjadi pejabat Negara, polisi, dokter, dan tentara. Biasanya, kebanyakan orang menyuruh anaknya hanya belajar ilmu agama, yaitu sekolah diniyah yang dibawahi langsung oleh seorang kiai dan ustadz.
Bila anak ingin belajar, maka belajarlah agama; yaitu dengan cara belajar ngaji al-Qur’an di Langgar atau Mushalla kepada kiai dan ngaji kitab di Madrasah Diniyah. Tempat inilah yang akan membuat seorang anak berbakti, pintar, dan mendapatkan barokah bagi dirinya dan untuk orang tuanya. Biasanya, sebelum anak disekolahkan di Madrasah Diniyah dan ngaji di Langgar, kedua orang tuanya mengantarkan atau menyerahkan atau memasrahkan anaknya kepada kiai atau pimpinannya. Hal itu sebagai salah satu bentuk penghormatan seorang kepada tokoh kiai agar tidak dianggap sebagai orang yang tidak sopan, tidak menghormati guru, dan tidak dapat barokah guru. Sebab, anak diserahkan dan dipasrahkan kepada kiai untuk diajari ngaji dan agama, dan kiai itu adalah seorang guru, guru orang tua itu juga, yang mesti dihormati.
Namun, sangat berbeda sekali, di sekolah formal, SD, barangkali berawal dari anggapan negatif terhadap lembaga pendidikan pemerintah, maka tak seorang pun yang mengantarkan anaknya pergi ke sekolah itu, apalagi memasrahkan atau menyerahkan anaknya kepada guru SD untuk dibimbing baca tulis dan sebagainya. Bahkan guru SD yang mendatangi rumah-rumah penduduk dan memohon kepada mereka agar anaknya bisa bersekolah, selain anak-anak yang masuk sendiri ke sekolah dengan pelantara ikut temannya. Tapi anehnya, orang-orang membiarkan anak-anaknya berangkat ke sekolah SD. Anggapan negatif hanya sebatas anggapan, seperti halnya menganggap sekolah SD ada tapi tidak ada, sebatas tempat bermain anak-anak. Tapi, tak bisa dipungkiri, ketika ada persoalan yang diangap lebih penting oleh orang tua siswa, maka tidak boleh tidak kepentingan itu harus lebih diutamakan dari pada pergi ke sekolah SD, kecuali pergi ke sekolah Madrasah. Seperti, orang tua punya kesibukan bertani, punya acara tradisi; maulid, selamatan, pernikahan, dll. di sini orang tua sangat membutuhkan kerja seorang anak; dari bantu-bantu mengangkut air, perlengkapan acara, memasak di dapur, cuci perabot dapur yang kotor, menjagai adiknya yang kecil, merawat tanaman, cari makan sapi dan kambing, menyebarkan undangan, dan sebagainya.
Sudah menjadi hal yang biasa, anak-anak dipekerjakan membantu orang tuanya. Membantu orang tua adalah hukumnya wajib, apa pun yang diperintahkan oleh orang tua harus diikuti dan tidak boleh membantah selama hal itu tidak bertentangan dengan agama. Begitulah pemahaman yang seringkali diajarkan di sekolah Madrasah. Seperti halnya, anak-anak yang masuk SD “masuk sekolah iya, tidak masuk sekolah tidak apa-apa”. Beda dengan Madrasah Diniyah, “masuk sekolah dia dapat pahala dari Allah, berhalangan masuk dia harus ada keterangan izin”.
SD di sini sudah berdiri sejak lama, aku tidak tahu tahun berapa berdirinya. SD yang belum terstruktur dengan rapi dan benar. Tidak ada seragam. Anak-anak semuanya memakai pakaian yang sering dipakek main, dan memakai sandal. Semua guru yang bertugas ngajar di SD ini, semuanya dari luar daerah, tidak dari Sampang sendiri. Meraka semua dari Kabupaten Pamekasan yang jadi PNS di Sampang. Mereka setiap hari pulang pergi dari Pamekasan ke Talelah Camplong. Dari jalan raya besar, meraka harus melintasi jalan pelosok dengan jarak tiga kilo meter ke tempat SD, tempat mereka mengajar. Selain jalan pelosok di Talelah Camplong rusak, tukang ojek masih sedikit—masih bisa dihitung jumlahnya dan ongkosnya pun sedikit mahal. Maka, kebanyakan dari mereka memilih berjalan kaki dari pertigaan jalan besar menuju tempat lokasi.
Sesampainya di sekolah, mereka mesti menenangkan badannya terlebih dahulu sambil mengusap keringatnya. Waktu masuk sekolah baru bisa dimulai pada jam 10.00 wib, dan pulang jam 12.00 wib. Mereka rutin sampai di sekolah pada jam 09.30 wib. Perjalanan mereka dari Pamekasan ke Camplong kurang lebih ½ jam naik kol/angkot, dan 20 menit dari pertigaan ke tempat SD dengan jalan kaki santai. Itu pun murid banyak yang tidak datang, entah sibuk membantu orang tuanya, entah sibuk karna bermain di tempat lain. Para guru mengerti dengan keadaan di desaku, bahwa waktu pagi adalah waktu anak-anak bekerja membantu orang tuanya, entah membantu mencari makan sapi atau kambing, entah mengangkut air, entah membantu bekerja di ladang, dan sebagainya. Jam 10.00 wib adalah ukuran para guru SD, bahwa pada jam itu anak-anak selesai bekerja membantu orang tuanya. Namun, hal itu juga tidak menjamin anak-anak banyak yang masuk sekolah. Di sini, para guru SD memang dituntut untuk bersabar.

# # #

Setahun kemudian, orang tuaku tahu bahwa aku masuk SD (Sekolah Dasar). Mereka tahu ketika itu mereka pulang dari rantau, pagi-pagi aku siap-siap pergi ke sekolah dan pamit sama ibu dan ayah. Mereka kaget bercampur senang melihat aku semangat bersekolah. Mereka senang, barangkali mereka sudah tahu banyak tentang pendidikan di luar, atau mungkin sudah banyak dapat informasi tentang dunia pendidikan di rantau, aku tidak tahu. Yang jelas orang tuaku senang melihatku bersekolah. Aku selalu berangkat lebih awal, sekitar jam 08.00 wib aku berangkat ke sekolah meski sekolah masuk jam 10.00 wib. Waktu fari jam 08.00 sapai jam 10.00 wib aku gunakan bermain kelereng, kadang jual-jualan, dan kadang main karet deangan teman-teman seusiaku di rumah Mantoan Rawi di belakang sekolah SD. Baru ketika bel berbunyi, kami berhenti bermain, dan segera mungkin masuk ke kelas.
Di hari itu pula, pada waktu siang hari, orang tuaku berencana memasukkan aku ke sekolah Madrasah Diniyah di Bandungan, lokasi tidak jauh dari SD, hanya berjarak beberapa meter saja. Di itu juga berdiri bangunan masjid, tempat orang-orang melaksanakan sholat jumat bersama. Orang tuaku memasrahkan aku ke kiai Zainul sebagai pengasuh di sana untuk masuk Madrasah Diniyah, dan mulailah aku menginjakkan kaki di Madrasah Diniyah itu di kelas Shifir/kelas nol. Di Madrasah Diniyah itu, ada tujuh kelas atau tingkatan; kelas shifir/nol, kelas satu, kelas dua, kelas tiga, kelas empat, kelas lima, dan kelas enam.
Di hari yang sama, sehabis sholat maghrib, orang tuaku mengantarkan aku ke Langgar, dipasrahkan ke kiai Ma’ruf untuk belajar ngaji al-Qur’an. Keesokan harinya, aku diajak ibu belanja di pasar Sampang untuk membeli baju baru, sarung, dan kopiah, sekaligus dibelikan beberapa buku dan pena, serta kitab al-Qur’an. Hari itu, aku benar-benar dituntut untuk belajar. Aku tahu, bahwa orang tuaku sepertinya lebih menfokuskan aku untuk lebih belajar ilmu agama dari pada ilmu umum. Aku ikuti saja apa kemauan mereka. Besoknya lagi, aku kembali ditinggal, orang tuaku berangkat lagi ke Pasuruan, tempat mereka mencari kehidupan nafkah, entah sampai kapan mereka pulang dan tak kembali ke tempat rantau. Ah, entahlah.
Aku lebih suka mereka bekerja di rumah, bisa berkumpul bersama setiap hari. Aku ingin orang tuaku merasa cukup dengan apa yang mereka lakukan dan tak lupa bersukur dengan apa yang telah diberikannya. Di sini aku selalu berdoa dalam rinduku, semoga mereka selamat, sehat, diberi rizki yang halal dan berkah. Aku selalu sabar menunggu mereka datang untukku, dengan rindu, dan dengan kasih sayang.

# # #

Kawan, sekarang aku mulai belajar ngaji, baca al-Qur’an, di Langgar. Aku diajari baca al-Qur’an oleh kakak sepupuku, Tomin, yang dulu menjatuhkan aku ke akar pohon asem itu. Kadang juga diajari oleh pamanku dari ibu, Puari. Dua orang ini yang setia mengajari aku baca al-Qur’an. Aku tidak mau diajari orang lain selain orang dua itu.
Aturan belajar di Langgar ini adalah anak-anak atau santri yang baru belajar dan tidak tahu baca al-Qur’an, mereka harus belajar ke santri yang sudah tahu dan lebih tahu baca al-Qur’an serta sudah lama belajar di Langgar. Begitu juga sebaliknya, semua santri yang dianggap lebih tahu dan sudah lama belajar di Langgar, mereka harus mengajari santri-santri yang belum tahu baca dan yang baru belajar. Setelah selesai mengajari adik-adiknya, mereka diwajibkan menghadap kiai untuk membaca al-Qur’an secara bergantian, dan kiai yang meneteni bacaan-bacaan mereka benar dan salahnya.
“Yang panjang seperti ini, itu namanya ALIF. Kalau yang seperti perahu, terus ada titiknya satu di bawah, itu namanya BA’… ingat, ya…! Nah, kalau titiknya ada dua di atas… itu namanya TA’..! Coba kamu sebutkan… ini apa kalau yang panjang..?” kata Kak Tomin mulai mengajariku.
“Alif..”
“Kalau yang seperti perahu, ada titiknya di bawah..?”
“Ba’…”
“Terus, yang ada titik dua di atas, namanya apa…?”
“Ta’…”
“Bagus…. Coba baca lagi.”
“Alif… ba’… ta’…”
Begitu juga seterusnya. Langgar jadi ramai dengan mereka belajar al-Qur’an. Tidak boleh ada yang bercanda, main-mainan, atau pun ketiduran, harus semuanya belajar dan belajar. Bagi yang tidak punya gandengan mengajari ngaji, mereka harus membaca al-Qur’an sampai nanti waktunya menghadap ke kiai. Namun, bagi santri-santri yang baru dan belum bisa membaca, mereka harus mencari guru pembimbing. Satu orang bisa mengajari santri lebih dari satu, dua, atau tiga orang.
Di Langgar, waktu belajar ngaji santri ada tiga kali selama duapuluh empat jam. Yaitu; sore sehabis maghrib; waktu ini semua santri harus datang ke Langgar sebelum adzan maghrib untuk sholat berjamaah bersama, kemudian setelah itu dilanjutkan belajar ngaji sampai waktu sholat isya’ datang, sholat isya’ berjamaah, kemudian istirahat 5-10 menit untuk persiapan mengikuti pengajian kiai. Di malam-malam tertentu, biasanya kiai mengadakan ajian kitab Safinatun Najah untuk diikuti oleh semua santri. Waktu setelah selesai sholat isya’ sampai jam 09.00 wib.
Di sini, semua santri, laki-laki dan perempuan, diwajibkan bermalam di Langgar. Cuma tempatnya dipisah. Ada tempat khusus yang disebut pondok untuk tempat santri putri bermalam, sementara santri putra tidur di Langgar. Tempat ngajinya pun juga berbeda, ada Langgar Putri dan Langgar Putra. Langgar Putra diasuh oleh kiai, dan Langgar Putri diasuh oleh nyai, istri kiai sendiri. Semua santri diwajibkan bermalam, karena mereka nantinya harus mengikuti dan belajar kembali setelah sholat subuh. Sebelum subuh mereka harus bangun, kiai dan nyai-lah yang membangunkan mereka. Setelah selesai belajar ngaji waktu subuh, mereka harus mengikuti ajian kitab Sullamut Taufiq selama 15 menit.
Langgar ini memang dibentuk oleh kiai seperti halnya pondok pesantren; ada waktu khusus belajar al-Qur’an, ada juga waktu untuk ngaji kitab. Bagi santri yang melanggar dan tidak hadir ke Langgar, alias tidak mengikuti waktu belajar yang telah ditentukan, mereka akan disanksi hukuman berdiri dan dipukul dengan sapu lidi sebanyak tiga kali pukulan oleh kiai dan nyai bila datang ke esokan harinya.
Tujuan kiai kepada semua santri, selain belajar ngaji, mereka juga harus dibekali tata cara hidup dalam agama, dengan cara kiai menerapkan ajian kitab Safinatun Najah dan kitab Sullamut Taufiq. Dua kitab tersebut yang harus diketahui isinya oleh semua santri guna mereka tahu jalan hidup, tata cara beribadah dan mengenal Allah lebih dekat. Safinatun Najah adalah sebuah kitab pemula bagi orang yang hendak belajar fiqih Syafi’i, yang artinya adalah adalah perahu keselamatan. Sedangkan Sullamut Taufiq adalah sebuah kitab pemula yang merupakan kitab yang menerangkan perkara yang wajib dikaji dan dipelajari serta diamalkan bagi orang yang mengerti mau pun yang belum memahaminya. Sullamut Taufiq artinya tangga pertolongan untuk mencintai Allah dengan sebenar-benarnya, guna menjadikan amal sholeh yang dapat meraih pahala yang ada di sisi-Nya dan menjadi sebab untuk mendekatkan diri (taqorrub) kepada-Nya serta mendapat tempat di haribaan-Nya kelak.
Selain semua santri harus mengikuti waktu belajar ngaji (ngaji al-Qur’an dan kitab) pada waktu malam dan subuh, kiai juga mewajibkan santri harus datang siang ke Langgar, tepatnya menjelang sholat dhuhur. Semua santri harus datang sebelum adzan dhuhur, di sana mereka harus melaksanakan sholat berjamaah sebelum belajar. Di waktu dhuhur ini, setelah selesai ngaji, santri biasanya langsung pulang, mereka hanya mengikuti proses belajar selama satu jam, dan bagi santri yang sekolah mereka langsung berangkat ke Madrasah Diniyah sampai sore.
Peraturan demi peraturan dibentuk di Langgar itu untuk dapat mencegah santri dari bermalas-malasan, tidak nakal, dan rajin berangkat ngaji ke Langgar. Apa pun bentuknya, kiai memiliki tujuan baik kepada santri-santrinya agar lebih semangat dan mengajari istiqomah dengan baik, membiasakan santri-santrinya agar terbiasa tepat waktu, terutama dalam hal beribadah. Sanksi diberikan agar santri mempunyai rasa takut bila ingin tidak berangkat ngaji atau melanggar. Tapi, meski sudah diberi sanksi, santri-santri kadang banyak yang malas-malas berangkat ngaji.
Aku sendiri tak pernah absen berangkat ke Langgar. Aku anak yang paling rajin. Aku terus belajar membaca al-Qur’an, sampai aku benar-benar tahu baca al-Qur’an. Setahun kemudian, kak Tomin dan Paman Puari, yang mengajari aku baca al-Qur’an setiap hari, berhenti dari Langgar, mereka berdua melanjutkan hidupnya berkeluarga. Tapi aku tidak khawatir mereka berhenti dari Langgar dan tidak mengajari aku baca al-Qur’an lagi, karena aku sudah bisa membacanya sendiri. Artinya, menurut bahasa santri-santri di Langgar itu, aku sudah bisa melarlar sendiri. Melarlar itu artinya sudah bisa mengeja kalimat perkalimat, dan secara otomatis sudah bisa membaca kalimat dalam al-Qur’an secara berturut-turut. Dan sebentar lagi aku akan khatam belajar al-Qur’an di tahap pertama.
“Nak, al-Qur’an-mu sudah sampai di mana? Juz berapa?” kata ayahku, saat itu dia pulang dari rantau.
“Sudah mau khatam. Tinggal juz 30, yah…!” jawabku.
“Sebentar lagi kamu khatam?”
“Iya.”
“Alhamdulillah…!”
“Kalau kamu nanti khatam, ibu akan belikan kamu Qur’an baru, baju, sarung, dan kopiah baru,” ucap ibuku.
“Acara khataman di Langgar, kapan, Nak…?” tanya ayah.
“Tidak tahu, yah…!”
“Nanti saya mau ke Langgar, ke kiai,” katanya.
Sudah menjadi biasa, bagi santri yang khatam al-Qur’an-nya, akan dirayakan dalam satu acara Khatmil Qur’an. Acara itu dilakukan untuk memberikan ucapan terima kasih dan rasa syukur kepada Allah, karena anaknya telah khatam dan bisa baca al-Qur’an. Khatmil Qur’an biasanya diadakan setiap satu tahun sekali. Bagi orang tua yang ingin anaknya dirayakan ke-khataman-nya harus member tahu terlebih dahulu kepada kiai, pengasuh Langgar. Orang tua akan dimintai sumbangan sesuai kesepakatan bersama dengan wali santri yang lain yang khatam, selama itu tidak memberatkan kepada wali santri. Belajar baca al-Qur’an di Langar itu geratis, tidak ada biaya apa pun. Sampai ketika khatam pun, para wali santri yang khatam tidak merasa dibebani. Sungguh luar biasa perjuangan seorang kiai dalam mendidik santri-santrinya agar bisa baca al-Qur’an dan tahu agama. Dan aku masih saja kagum dengan semua itu.

# # #

Di Langgar, aku termasuk anak yang paling kecil dari pada santri-santri yang lain. Kebanyakan santri yang belajar ngaji di Langgar, rata-rata mereka sudah dewasa, usia mereka sepuluh sampai limabelas tahun. Rata-rata santri belajar di Langgar paling lama satu sapai tiga tahun. Ada yang berhenti sebelum khatam (artinya selesai belajar baca dari juz pertama sampai juz 30), ada yang sampai khatam, dan ada pula yang sudah khatam berkali-kali.
Berhenti dari Langgar itu tidak mudah, santri yang mau berhenti harus pamit dulu kepada kiai atau nyai, biar tidak dianggap sebagai santri yang kurang ajar kepada guru, tidak tahu berterima kasih, dan tidak sopan. Mereka harus mendatangi kiai bersama orang tuanya. “Datang dengan memanggil salam, maka pulang harus dengan salam pula,” begitu mereka menganggapnya. Kiai dan nyai di sini, tidak hanya dianggap sebagai kiai dan nyai saja, akan tetapi dia adalah sebagai gutu tolang yang telah mengajari alif, ba’, ta’, huruf hijaiyah dalam al-Qur’an. Guru tolang itu adalah guru pertama yang mengajari mereka baca tulis al-Qur’an. Guru tolang diyakini hampir memiliki posisi yang sama dengan ibu atau orang tua, yang mesti ditakuti dan dihormati. Artinya, apa pun yang dilakukan dan yang diperintahkan oleh kiai atau nyai harus diikuti dan dita’ati. Bila tidak, maka diyakini akan menuai bala’, dan dianggap santri yang durhaka.
Namun, ada pula santri yang berhenti belajar dari Langgar itu disebabkan karena mereka melangsungkan hidupnya berkeluarga atau menikah. Rata-rata mereka menikah dalam usia sepuluh sampai limabelas tahun bagi laki-laki, dan Sembilan dampai empatbelas tahun bagi kaum perempuan. Bagi santri yang mau menikah, baik yang sudah berhenti atau yang masih dalam proses belajar di Langgar, mereka harus mengabdikan diri selama satu bulan lamanya sebelum acara pernikahannya berlangsung. Pengabdian ini dilakukan untuk si calon mempelai mempunyai bekal tata cara berumah tangga, belajar akad nikah, dan untuk mendapat barokah dari guru tolang.
Menikah bukanlah suatu hal yang main-main, menikah adalah membutuhkan kesiapan lahir dan batin, jiwa serta mental. Dari sini mereka dituntut untuk melakukan pengabdian kepada guru tolang untuk nantinya dibekali berbagai macam hal yang nantinya akan dilakukan di acara pernikahnya. Yang sangat diutamakan bagi calon mempelai itu adalah belajar akad, cara menjawab akad dari penghulu. Calon mempelai diajari setiap hari cara mereka menjawab akad dari penghulu, sampai mereka benar-benar fasih dan hafal dalam mengucapkan kalimat menjawab akad, baik cara menjawab dengan bahasa arab atau dengan bahasa daerah. Selama satu bulan itu, calon mempelai harus tinggal di Langgar, dan melakukan apa yang disuruh oleh kiai atau nyai; dari mencari kayu bakar, mengangkut air ke kamar mandi, mencari makan peliharaan kiai, seperti sapi atau kambing, dan apa pun yang perlu dilakukan di rumah kiai.
Di Langgar, orang tuaku duduk bersila menemui kiai Ma’ruf, berbincang-bincang soal pekerjaan ayahku di rantau. Sedang ibu kulihat juga melakukan bincang-bincang yang tak kalah menariknya dengan nyai, istri kiai. Perbincangan masih seputar pekerjaan dan pengalaman. Ah, belum ada yang menyinggung tentang keadaanku. Aku tak ikut duduk dengan mereka, aku duduk di tempat yang jauh dari tempat ayahku ngombrol dengan kiai Ma’ruf. Duduk menunggu orang tuaku selesai.
Pergi ke rumah kiai merupakan kebiasaan banyak orang. Mereka membahasakan, orang yang pergi ke tokoh masyarakat atau kiai itu disebut “acabis”, yaitu bertamu ke rumah kiai dengan tujuan tertentu; ada yang memang khusus silaturrahmi, ada yang kebutuhannya meminta doa, ada pula yang membicarakan keperluan anaknya, ada pula yang memang ada kebutuhan khusus untuk menanyakan beberapa persoalan hukum fiqih dalam agama yang sedang ia hadapi, dll. Acabis itu identik dengan silaturrahmi yang tidak hanya sekedar silaturrahmi, tapi ada salam tempel yang berbentuk uang yang diberikan kepada kiai tersebut. Salam tempel itu biasanya dilakukan ketika sudah mau pulang dari rumah kiai. Salam tempel itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat ketika mau acabis kepada kiai dan nyai. Namun, masyarakat akan menjadi enggan dan malu ketika mereka tidak bawa apa-apa, alias acabis ke kiai dan nyai degan tangan kosong.
Acabis merupakan salah satu penghormatan seorang (santri), masyarakat, kepada kiai atau guru. Guru adalah orang yang termasuk golongan sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, “fie sabilillah”, orang-orang yang hidupnya berada di jalan Allah. Maka guru, juga mendapatkan perlakuan seperti halnya orang fakir, miskin, anak sabil, dll. Masyarakat menganggap kiai atau guru itu adalah anak sabil, yang juga punya hak untuk diberi, ditolong, dibantu dalam hidupnya, bahkan dia juga berhak mendapatkan zakat fitrah menjelang hari Raya Idul Fitri. Justru oleh masyarakat zakat fitrah itu diberikan kepada kiai, atau mereka menyebutnya “memberikan zakat fitrah kepada guru tolang”. Zakat fitrah, selain sebagai bentuk penyucian diri dan harta, masyarakat juga meyakini sebagai bentuk bala’ ketika zakat fitrah itu diberikan kepada orang yang tidak cocok dengan dirinya. Artinya, cocok secara spiritual, batin orang yang mengeluarkan zakat fitrah tersebut.
Ketika setelah hari raya, ada sebagian orang yang ditimpa penyakit atau musibah, maka hal itu diyakini sebagai bala’, karena zakat yang dikeluarkan itu telah diberikan kepada orang yang sebelumnya tidak pernah menerima zakat darinya. Bila sebelumnya zakat fitrah sudah biasa setiap tahunnya dikeluarkan dan diberikan kepada tokoh kiai (guru tolang) si A, maka hal itu tidak boleh diberikan kepada tokoh kiai (guru tolang) si B. hal itu yang oleh kebanyakan masyarakat diyakini akan menuai bala’ atau malapetaka terhadap dirinya. Untuk menjaga keselamatan, maka orang-orang biasanya dalam mengeluarkan zakat fitrah itu langsung diberikan kepada guru tolang (kiai) pertama yang mengajari alif, ba’, ta’, huruf hijaiyah dalam al-Qur’an.
“Anak saya, Sufyan, mau saya ikutkan khatmil qur’an, kiai,” ucap ayah kemudian ke tujuan utamanya.
“Iya,” jawab kiai Ma’ruf. “Sufyan. Dia anaknya memang rajin sekali.”
“Katanya, dia sudah juz 30, kiai. Jadi, mungkin baiknya saya ikutkan saja di khatmil qur’an.”
“Iya. Tinggal sedikit. Sebentar lagi sudah selesai. Acara Khatmil Qur’an di sini itu… tinggal satu bulan lagi. Saya sudah jauh-jauh hari sudah mengumumkan kepada santri yang mau khatam, biar mereka secepatnya membertahukan orang tuanya. Biar mereka siap-siap… ada 20 orang kalau tidak salah.”
“Masalah pembiayaan, bagaiamana, Kiai?”
“Wah… soal itu… saya pasrahkan ke wali santri masing-masing. Saya begini… saya itu takut dikira membebankan mereka. Itu saja…! Saya tidak mau kalau sampai di kemudian hari ada pembicaraan yang tidak bagus didengar.”
“Kalau saya kiai… karena ini selamatan qur’an, selamatan anak saya juga, saya akan menyumbangkan berapa pun kebutuhannya. Bagi saya, ini masalah kebaikan kiai, demi selamatan qur’an Allah yang dipelajari anak saya.”
“Saya pasrahkan ke sampeyan. Terserah sampeyan mau menyumbangkan berapa untuk anak sampeyan di acara Khatmil Qur’an anak sampeyan besok. Kalau masalah menyelamati qur’an itu, sebenarnya cukup dilaksanakan di rumah-rumah masing-masing. Acara seperti ini sudah terlanjur, sudah turun temurun dari dulu, dari abah saya. Saya cuma melanjutkan saya apa yang telah dilakukan abah saya. Secara saya sendiri, saya tidak mau. Lebih dilakukan di rumah masing-masing. Melakukan selamatan qur’an itu hukumnya tidak wajib, cuma kalau dilakukan itu kita mendapatkan pahala, karena kita telah menjunjung tinggi al-Qur’an, kalamullah, Allah subhanahu wata’ala. Sebagai orang Islam, kita harus menghormati al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup.”
“Iya, kiai,” ucap ayah sambil mengangguk.
“I…ya..! anak bisa tahu ngaji. Tahu baca al-Qur’an, itu sudah anugerah luar biasa. Tidak ada harganya. Tidak bisa dibeli dengan uang seperti apa pun banyaknya. Ini demi kebaikan, demi ilmu Allah…! Kita ini tidak ada apa-apanya kelak di hari kiamat. Makanya, kita harus bekali anak-anak kita itu dengan ilmu agama, agar dia tahu tata cara hidup dan beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala…
Ayahku hanya mengangguk dan mendengarkan penuturan kiai Ma’ruf dengan seksama.
“Siapa lagi kalau bukan anak kita kelak yang akan menolong kita. Anak itu harapan kita. Anak yang pintar agama, dia akan mendoakan kita, baik kita masih hidup atau sudah mati. Kelak di akhirat itu anak kita yang akan menolong kita. Begitu juga sebaliknya, kelak dikahirat itu kita akan ditanya tentang tanggung jawab kita kepada anak kita, kalau anak tidak dididik dengan ilmu agama, tidak dididik dengan benar, di akhirat kita akan celaka. Ya…. anak kita sendiri yang akan mencelakakan kita. Kenapa kita akan celaka, karena kita tidak mendidik anak-anak kita dengan benar, kita tidak mendidik anak-anak kita dengan ilmu agama. Dosa yang dilakukan anak kita di dunia itu akan melipat ganda, orang tua juga ikut berdosa, kalau orang tidak mendidiknya dengan benar.”
“Iya, kiai. Saya ingin anak saya pitar agama,” kata ayahku kemudian.
“Iya… bagus. Saya heran, di sini itu, masyarakat banyak banyak mementingkan anak-anaknya bekerja. Kerja… terus yang dipikirkan, bukannya anak disuruh ngaji dan sekolah biar tahu agama, malah disuruh kerja… saya sudah sering bilang ke siapa pun, didiklah anak-anak kita dengan ilmu agama. Pentingkan anak-anak kita itu menuntut ilmu, kalau ilmu sudah punya, maka harta dengan sendirinya akan ikut. Ilmu itu sangat penting sekali sebagai bekal hidup di dunia mau pun di akhirat kelak. Sampai nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallah berkata, uthlubul ilma walau bisshin… artinya: tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri cina, uthlubul ilma minal mahdi ilal lahdi… artinya: tuntutlah ilmu dari mulai lahir sampai masuk ke liang lahat. Nah, itu salah satu bentuk bahwa, betapa pentingnya orang menuntut ilmu, sampai-sampai nabi berkata seperti itu…”
Lama perbincangan, seseorang membawakan makanan di tengah-tengah perbincangan ayahku dengan kiai Ma’ruf. Ah, sudah saatnya tamu dipersilahkan makan. Salah satu bentuk penghormatan kepada tamu, hal yang biasa. Tidak hanya ketika bertamu ke rumah kiai saja, siapa pun ketika bertamu ke rumah orang akan dijamu dengan makanan seadanya. Biasanya yang disuguhkan itu adalah nasi, jajan dan hal-hal lain bila tuan rumah ada yang mau disuguhkan. Dan yang sangat pasti disuguhkan itu adalah kopi bagi tamu laki-laki dan teh bagi tamu perempuan.
“Waduh, sudah siap ini. Ayo silahkan. Seadanya… ke sini tidak nemmu apa-apa sampeyan. Silahkan!” ucap kiai Ma’ruf sambil juga menemani makan.
“Iya, Kiai.”
“Di acara Khatmil Qur’an itu, saya mengundang kiai Abdullah dari Sampang untuk ceramah agamanya. Ya… cuma itu yang bisa saya lakukan,” kiai Ma’ruf sambil mengajak ngobrol.
Ayahku mengangguk.
“Itu wali santri yang khatam sudah ada yang mengantarkan kambing, anak-anak yang carikan makan. Saya tidak memaksa kepada wali santri yang khatam itu… punya berapa pun biaya silahkan, berapa pun jumlahnya. Saya yakin, selama kita berbuat di jalan Allah dan demi menjunjung tinggi ilmu Allah, iansya Allah tidak akan dipersulit, aka nada jalan. Yakin!”
“Iya, Kiai. Amin! Semoga berjalan dengan lancar.”
“Amin, amin, amin…! Lo… ayo pasang lagi nasinya..! Yang kenyang sampeyan. Makan kok cuma sedikit sampeyan ini…!” persilahkan kiai Ma’ruf ramah.
Menemani tamu makan itu juga sebagai bentuk penghormatan tuan rumah kepada tamu. Artinya, tuan rumah benar-benar menganggap tamu, dan bentuk rasa hati yang senang karena telah meluangkan waktunya untuk bersilaturrahmi. Menemani tamu makan, tuan rumah tidak boleh selesai makan lebih awal dari tamu, tamu harus selesai terlebih dahulu, baru tuan rumah mengikuti. Apabila tuan rumah selesai lebih dulu, maka itu pertanda bahwa tuan rumah kurang menghargai tamu, dan itu berarti bahwa tuan rumah tidak menginginkan tamu makan lebih banyak serta tuan rumah dianggap pelit atau kikir. Tuan rumah mesti terus mempersilahkan tamu menambah nasi dan lauk, meski sebenarnya tamu sudah merasa kenyang dan tidak mungkin menambah porsi kembali. Hanya sebatas penghormatan dan kebiasaan saja sebagai salah satu bentuk keramah tamahan tuan rumah kepada tamu.
“Ini buat biaya selamatan khatam anak saya, Kiai. Maaf, cuma seadanya, Kiai. Semoga bermanfaat, dan terhitung baik oleh Allah,” katanya setelah selesai makan. Ayah menjulurkan uang sebesar Rp. 200.000 kepada kiai Ma’ruf.
“Iya, iya… tidak apa-apa. Semampu sampeyan.”
“Ini uang cuma untuk kebutuhan perlengkapan di sini saja kiai. Besok, Insya Allah… saya menyumbangkan satu ekor sapi, Kiai. Saya sudah dari dulu meniatkan ini kepada anak saya. Kalau anak saya, Sufyan, khatam al-Qur’an, saya mau menyambelih sapi buat selamatannya.”
“Iya, iya… niat itu wajib dipenuhi. Karena itu adalah nadir sampeyan kepada anak sampeyan. Jadi itu harus dipenuhi. Kalau begitu, saya mengabarkan ke wali santri yang lain, takut ada yang bawa kambil atau sapi lagi, saya kira cukup satu ekor sapi dan kambing buat undangan dan tamu-tamu yang datang nanti. Biar wali santri yang lain, kalau ada yang menyumbangkan kambing dan sapi lagi, biar saya minta uangnya saja untuk biaya-biaya yang lain, juga buat salam tempel undangan kiai-kiai yang dari luar.”
“Ohya, Kiai. Kalau begitu, saya mau pamit dulu.”
“Lo… mau ke mana…?”
“Sudah malam, Kiai.”
“Iya, iya… terima kasih atas mainnya. Kapan-kapan main lagi kalau lagi ada di Madura. Kapan balik ke Pasuruan…?”
“Insya Allah besok sore.”
“Ohya. Iya… hati-hati di daerah orang. Semoga diberikan rizki yang lancar dan halal oleh Allah. Amin!”
“Amin. Mari, Kiai,” ayah bersalaman. Tangan menggenggam amplop berisikan uang.
“Oh, iya..! terima kasih, terima kasih.. barokallah… semoga dibalas oleh Allah…” balas kiai Ma’ruf sambil tangan kirinya memegangi bahu ayah.
Ibu sudah keluar lebih dulu dari rumah kiai. Dia menunggu di luar di depan Langgar denganku, menunggu ayah selesai pamitan.
“Amin…! Assalamualaikum…” sambil beranjak pergi.
Waalaikumsalam..

# # #

Khatmil Qur’an tinggal beberapa hari lagi. Aku dan santri-santri yang lain yang khatam berlatih bersama setiap malam. Berlatih ketangkasan baca al-Qur’an dengan nada tartil. Sebab, acara Khatmil Qur’an itu adalah acara kami. Santri yang khatam akan membacakan beberapa surat pendek dari juz ‘Amma secara beriingan dan bergantian di atas panggung sebelum acara ceramah agama dimulai. Kami terus dilatih baca surat-surat pendek oleh kiai sampai benar-benar tidak kaku membacanya dan kompak. Surat-surat yang akan dibacakan itu adalah dari surat al-Dhuha sampai dengan surat an-Nas. Dilanjutkan oleh salah satu santri yang khatam yang bertugas membacakan doa khatmil qur’an setelah bacaan surat-surat selesai.
Hari itu semua orang merasa senang dan gembira, acara Khatmil Qur’an layaknya acara pesta; dari mulai anak-anak, dewasa, sampai yang tua-tua, semuanya tak ketinggalan menghadiri, menonton, dan mendengarkan dari awal acara sampai akhir. Di acara itu, juga diramaikan oleh beberapa orang yang berjualan mainan, makanan, dan bentuk makanan-makanan khas seperti rujak, bakso, soto, kaldu, sarambi, rujak kerupuk, es, kacang, ancang, dan sebagainya. Di acara khatmil qur’an inilah orang tua dapat memanjakan anaknya dengan dibelikan mainan dan makanan atau jajan, terlebih bagi santri-santri yang khatam qur’an—akan diperlakukan berbeda. Orang tua rela mengeluarkan uang yang banyak demi anak-anaknya senang di acara tersebut. Mereka tidak ingin mendengar dan melihat anak-anaknya menangis karena tidak dibelikan mainan dan jajan—itu akan menjatuhkan kewibawaan orang tua, mereka malu membiarkan anaknya menangis di tengah-tengah keramaian dilihat banyak orang.
Suasana acara Khatmil Qur’an di Langgar Bates berlangsung  meriah, begitu orang menyebutnya Langgar itu, Langgar Bates. Kami, santri-santri yang sudah berhasil mengkhatamkan al-Qur’an bergembira merayakan acara khataman al-Qur’an itu. Kami didandan layaknya perempuan didandan; wajah kami dibedaki dengan bedak, memakai gincu atau lipstik, dan mata dihiasi dengan alat pewarna. Kami harus mengenakan pakaian seragam layaknya orang arab berpakaian pada umumnya; memakai kopiah putih, surban berwarna merah putih pernak pernik, egel hitam di kepala, dan jubah putih. Beda dengan santri puti yang khatam, mereka di dandan seperti pengantin duduk di kuadi; memakai jubah pengantin, kerudung dengan dihiasi bunga-bunga, leher dikalungi bunga melati, dan sebagainya. Hanya saja, waktunya yang berbeda. Karena padatnya acara, maka prosesi khatmil qur’an untuk santri putri dilaksanakan setelah sholat ashar sampai menjelang maghrib, dengan tujuan agar acara tidak selesai sampai terlalu larut malam.
Ratuasan warga menghadiri untuk menyaksikan kegiatan Khatmil Qur’an. Sebab, acara Khatmil Qur’an itu tidak hanya diisi dengan bacaan-bacaan ayat-ayat al-Qur’an saja, tapi juga dimeriahkan dengan sejumlah kegiatan menarik. Mulai dari pawai obor, pembacaan ayat-ayat al-Qur’an, prosesi Khotmil Qur’an, gambus, dan ceramah agama.
Pada malam itu, digelarlah acara paling akbar itu di Langgar Bates. Acara kali ini adalah acara yang terbesar selama sejarah Langgar Bates. Undangannya dan yang di luar undangan (non undangan) pun banyak sekali yang hadir di luar tempat undangan guna ikut meramaikan dan menyaksikan acara tersebut. Para undangan  itu terdiri dari para kiai-kiai desa, kiai Langgaran, kiai pesantren, dan kelompok gambus hadrah. Aku merasa heran sendirian, gemetar sekaligus sedikit gugup menatap begitu banyaknya orang, alias penonton yang mencapai ribuan orang kemudian. Ternyata, penonton sebanyak itu tidak hanya warga di desaku yang datang menyaksikan, tetapi hampir mencapai seluruh warga di desa-desa tetangga.
Kami memulai membacakan al-Qur’an di atas panggung sesuai dengan apa yang kami latih sebelumnya. Di acara ini, sebutlah pra acara, tidak ada yang memandu. Setelah kami melakukan pawai obor dari tempat makam kiai sepuh ke halaman panggung, kami dituntun naik ke atas panggung satu-satu oleh kiai Qohar, sauadara kiai Ma’ruf, yang sebelumnya juga ikut melatih kami dalam tata cara membaca al-Qur’an dengan tartil dan tertib di panggung secara bergantian, beserta dengan doa-doanya. Obor dimatikan dan kami diamkan di depan panggung.
Pembacaan dimulai:
A’udzubillaahi minal assyaithonirrajim…
Bismillaahirrahmaanirrahim…
Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Arrahmanirrahim. Maalikiyaumiddin. Iyyaaka na’budu waiyyaaka nasta’in. ihdinas shiratol mustaqim. Shiratol ladzina an’amta ‘alaihim, ghairil maghdhu bi ‘alaihim waladhollin. Amin..!” kami memulai membaca surah al-Fatihah secara bersama, kemudian dilajutkan membacakan surah-surah pendek secara bergantian.
A’udzubillaahi minal assyaithonirrajim… Bismillaahirrahmaanirrahim…” bagianku membaca. Aku dapat giliran kedua setelah temanku, Anwar. Aku membacakan surah Alam Nashrah.
Alam nasyrah laka shadrok. Wawadha’na ‘anka wiszrak. Al-ladzi anqodha dlahrak. Warafa’na laka dzikrak. Fainna ma’al ‘usri yusraa. Inna ma’al ‘usri yusraa. Faidzaa farghta fanshob. Wailaa rabbika farghab…” aku membacakannya meski sedikit gugup dengan penonton yang sebanyak itu. Dan aku lega setelah membacakannya. Hatiku jadi tenang, dan keringatmu mulai mongering perlahan dengan tiupan angin yang tiba-tiba bertiup kencang menyapa suasana. Begitu juga seterusnya sampai akhir surat dari juz ‘Amma. Namun, di surat an-Nas, surat terakhir dari juz ‘Amma itu, kami membacanya bersama-sama dengan kompak kembali.
Pembacaan doa khatmil qur’an dibacakan oleh Anwar, dan yang lain mengucapkan amin dengan pelan dari setiap kalimat yang diucapkan oleh Anwar. Setelah itu kami turun dari atas panggung dengan membawa al-Qur’an ke Langgar. Di Langgar ini pula kami melakukan makan bersama, dokumentasi, dan foto-foto bersama dengan keluarga. Sementara di panggung sudah dimulai senandung musik gambus hadrah, selingan hiburan untuk masyarakat dan tamu-tamu yang datang sebelum acara inti dimulai.
Di acara inti, kegiatan Khatmil Qur’an ini dibuka dengan pembacaan surah al-Fatihah, yang dipandu oleh kiai Ja’far dari Camplong. Dilanjutkan dengan pembacaan Sholawat Qiyam, syarofal anam, yaitu pembacaan sholawat dengan berdiri dan semua hadirin harus ikut beridi. Pembacaan sholawat ini dipandu oleh kiai Asnawi dari Taddan. Sambutan-sambutan menduduki acara yang ketiga, yang disampaikan oleh ketua panitia dan pengasuh Langgar atau yang mewakili. Kemudian acara itu dilanjutkan dengan ceramah keagamaan, yang disampaikan langsung oleh kiai Abdullah dari Sampang yang entah dari pondok pesantren apa, aku tidak tahu. Kiai Abdullah mengajak semua hadirin suka belajar dan membaca ayat-ayat al-Qur’an serta mengajak hadirin untuk memasukkan dan mendidik anak-anaknya ke Langgar Bates untuk dibimbing baca al-Qur’an dan agama. Sebab, pahala membaca al-Qur’an, kata kiai Abdullah di atas panggung, sangatlah besar pahalanya. Terakhir acara Khotmil Qur’an ini ditutup dengan pembacaan doa, yang dipandu oleh kiai Qohar saudara kiai Maf’ruf sendiri.
Malam itu, aku benar-benar berpesta, juga santri-santri yang khatam lainnya. Aku banyak dibelikan mainan dan jajan oleh ibuku. Apa pun yang aku minta pasti ibu beri. Sedang ayah tak menemaniku jalan-jalan bersama ibu, ayah masih nunggu acara sampai selesai di depan panggung.
“Kamu mau beli apalagi?” kata ibu seperti ingin benar-benar aku menikmati suasana itu, ia sambil menggendong adikku.
“Sudah,” jawabku menggeleng. Aku benar-benar sudah kenyang, dan mainan sudah tiga macam mainan aku beli; mobil, pistol yang berbunyi, dan becak. Mainan yang kuanggap aneh dan wah semenjak aku lahir.[ ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar