Sajaksajak Roman Yan Zavin Aundjand
ditulis pada tahun 2005 s/d 2011
Jika Kau Perempuan Rembulan
jika kau perempuan rembulan
maka kabari aku tentang kerinduan
dan jadilah pulau dalam kerinduanku
di malammalammu
Yogyakarta
Surat
hari ini kau tampak berbeda. bahasamu
pucat. wajahmu tak lagi semanis madu. esok, bila halamanhalaman suratku kau
buka, terbangkan hurufhuruf rinduku yang hijau. buanglah titik komanya ke dalam
relung hatimu. jangan sampai kau mengatakan itu sendiri padaku. jangan katakan.
aku tak ingin jalan dan sungai itu mengalir sunyi, seperti dirimu menyimpan
permata di balik rambutmu yang dulu kau potong dengan pisau: matanya kau
tusukkan ke jantungku.
wahai engkau yang bergumam dalam tanya.
jangan tanyakan lagi tentang diriku yang lewat dibelakang rumahmu. aku telah
meletakkan jejakku di bawah pohon itu. aku pergi, ke mana aku pergi. dunia akan
selalu mengikuti. maka tengoklah jejakku itu di belakang rumahmu di bawah pohon
mengurung niatmu.
Jakarta
Segelas Air Putih
siang
itu, kuperhatikan satu persatu orangorang yang datang meramaikan rumah tua,
rumahmu katanya. kucaricari tubuhmu yang di dandan, seperti kuadikuadi
pengantin. tawa bahagia menepuk tangannya melepas
kenangan.
“kasihku,
di mana kau di dalam rumah petang. kubawa pesananmu untuk kau sulam.” sumber
mata air mataku mengalir di tubuhmu, tubuhku hilang. kubawa segelas air putih
yang kupetik dari bawah pohon khuldi tempat adam membuang air matanya menjadi
sumber kehidupan, sampai kelak kau menyebutnya sebagai hawa yang membikin sorga
di telapak kakinya. kelak kau akan berjanji meski kurang mengerti pada buah
khuldi yang kau sebut buah hatimu hatiku.
akukau
dalam segelas air putih menimangnimang. menuangkan gelisah. membuang amarah.
lalu membikin sajak dari potongan bibir gelas merajut impian liar tentang
seluruh hidupmu hidupku.
oh,
malammu malamku hilang bercampur mawar bertebar di seluruh ruangan kaca. kita
sepakat mengamini malam sampai matahari menyebut namamu namaku. dan akukau
terpasung di belakang pintu.
Ketapang
Kupinang Kau dengan Puisi
syarifah,
kupinang kau dengan puisi, agar kau menjadi arti dan makna tersembunyi. di
balik bongkahan batu igauku menjelma, mengantarkanmu pada lembah mimpimimpi.
surat putih ini kukirim ke kotamu sekedar diludahi lembarannya, seperti dulu
kululuhkan hatimu dengan kata, kata yang mengajakmu berlari di subuh yang
jelang—menyebrangi loronglorong petang. memperlihatkan wajahmu di bawah buram
lampu bertuliskan toilet umum.
syarifah,
kupinang kau dengan puisi, yang melukis kisahku tentangmu di sebuah stasiun.
kisah antara aku dan nyamuknyamuk nakal bermain pantatku. lalu kupanggilpanggil
nama kau di sebuah halte bus kota, sebab aku tak lagi bertahan dengan
nyamuknyamuk nakal itu,
padahal
sudah kusembunyikan wajahku dalam toilet tempat orangorang mengumpulkan
keresahan.
syarifah,
kupinang kau dengan puisi, yang dulu kau memanggilku di lidah jalan
menyeberangi sungai kering, airmatamu tumpah tibatiba. kau tak menghiraukannya,
suaramu terus memanggilku tanpa lelah.
syarifah,
kupinang kau dengan puisi, menjadi ayatayat suci di setiap langkahlangkahmu,
seperti sajaksajakku yang lain yang dulu pernah memperkosamu dengan asma’
suci dan firman Tuhan bersujud di bibirmu, sampai kau menjeritjerit atas nama
Tuhan-mu padaku.
syarifah,
kupinang kau dengan puisi!
Camplong-Ketapang
Kecupan Pertama di Tengah Kalimat Percakapan
jiwa
yang terseret dalam sungai membuai—membual di segala penjuru arah. namun,
tertuju pada satu warna, warna kulitmu, kulitku terbelah dua. jiwa yang hilang
dalam hitungan angkaangka. detik jantung riwayat takdirku. takdir kuingkari
mengikrarkan diri pada sepi dan tawaku berkepanjangan.
kugantungkan
hidup demi sepatah kata. pada kata yang berkata lewat bibirnya
menarinari—berlari ke arah jantungku. kuminta waktu berhenti berdenyut
mengikuti langkahku. malaikat malaikat kulempar jauh, mengurungkan niatnya di
sebuah museum kota. kota keabadian. kota berpulang. kota pengakhiranku membawa
bibirnya pada sungai yang kubelah empat. lalu airnya berhenti pada titiktitik
pemujaan: pada sungaisungai kecil yang putus di jalan. karena malaikat malaikat
itu ternyata khayalan dari reingkarnasi yang sampai pada bibirnya. wajahwajah
kecewa saat kecupan pertamaku di tengah kalimat percakapan dengannya—ada amarah
menusuk dengan taringnya.
malaikat
malaikat berpulang meninggalkan aku berpesta di depan pintu. mereka membuang
potpot bunga miliknya. membuang jalan raya. membuang mobil. motor. sepeda.
becak. dan pohonpohon yang menemaniku berpesta. kemudian mereka mencopoti
tubuhku yang berwarna hitam. seperti warna kulit perempuan itu menikmati
pestaku yang kacau.
pesta
pertama di depan pintu
pesta
khayalan
pesta
jadijadian
pesta
yang khusus kupersembahkan untuk tuhan yang selalu berkhayal atas kematianku
Jakarta-OASIS
Syarifah
semenjak
gerimis menghujani batubatu pertapa
angin
menyapunya di atapatap batinku
kabut
lintas di jendela
mengajak
gelisahku di pohon rindang
seperti
jejak basah
buram
keringat
bercucuran
hati kusut
menggedorgedor
semua kenangan
kutemukan
suarasuara bernyanyi mengelilingi tasbih
tapi
diam dalam gerak dan warna
—seperti ada
yang hilang
namun
kamu
bagiku tak siasia kasihku
karena
sebentar lagi hujan akan turun
mengecupmu
dengan gerimisnya
lalu
kupanggilpanggil
engkau kasihku
—dalam
tidurku
Madura-Jakarta
Dzikir Pengantin
syarifah,
akhirnya kurelakan jua diriku
pada
detikdetik jantung bersahutan di ujung senja
lihatlah,
lihatlah aku syarifah
aku
menghitung tasbih berputarputar di lehermu
meniti
jalan keagungan
untuk memadukan
benangbenang bahagia
melukis
kerinduan malam
hingga
kutemukan surut matamu kembali pada peraduan yang sama
syarifah,
seperti sajakku bertiup memenuhi udara ke jantungmu
seperti
debudebu rinduku memanas di bibirmu
malam
yang kau janjikan nanti adalah warna yang bersemayam
mengekal
di ranjang keabadian
syarifah,
dzikirku selalu mengada dan mengada tentangmu
hingga
kau datang, hingga kau datang dengan mata telanjang
lalu
kupuja dengan namamu, syarifah
karena
aku adalah rindumu
Yogyakarta
Senyum Membelah Dua
:Diy
Diy,
senyummu membelah tanganku memutar waktu. engkaukah di sana bernyanyi kupu-kupu
yang tiba-tiba hinggap di taman. kenapa tak kau sentuh hati yang lepas melepas
segala. senyummu seperti embun sejukkan batin; batin yang ramai dengan wajahmu
menggerogoti sukma.
Diy, mata
jauh memandang ke dalam relung yang tak kuketahui tentangmu. jarak dan waktu
tak sempat kujumpai dengan senyum yang kupuja. mungkin hanya lewat kata dan
bahasa untuk bisa sampai ke jantungmu, meski udara keluar masuk tubuhmu tak
sempat kau tanyakan salam yang kuleburkan ke buku-buku.
Diy, matamu
kubelah dengan kata. bibirmu kupotong-potong dengan bahasa. mata yang ranum.
bibirmu yang basah. membuat diriku jauh memandang. barangkali ini bukan puisi,
Diy, tapi hati yang sepi berteriak memanggil namamu. hanya engkau hatimu
menitik beratkan pada aksara mimpi yang terpendam. mari saling bercerita diri,
tentang malam, hari, dan senja.
Diy,
benarkah kau di sana yang melempar selembar senyum ke relung hati. di sini
musim gugur menciumi pipi tanah. daun yang gugur dari huruf –huruf asing di
ranjangku yang dingin. sedang kau burung dalam kaca menguncup ke labuk hatiku.
Yogyakarta
Diri
jantungku berputarputar mengelilingi darah di
tubuhmu. mata hitam tertutup awan tanpa gerimis, lalu kau diam di halaman rumah
itu.
aku berjalan dan terus berjalan saat matahari
di kotamu mulai terbenam.
gununggunung di dadamu marah,
wajahmu memerah seperti hantuhantu yang
ketakutan pada sepenggal darah anjing
oh, diri lungkrah dan hati yang terasing
Madura
Malam tanpa Bulan
kuarungi malam tanpa bulan
meski jalan tak tampak ada
gelap gulita, terasa tubuhku hilang dalam
sepi
terkubur sunyi berselimut mimpi
angin menyapa tubuhku yang telanjang
tanpa sehelai benang pun lekat pada tubuhku
terbentang
sesekali berharap dirimu datang dalam peluk
rinduku
menghangatkan gelisahku membara
nafasku sesak membeku hingga tubuh menggigil
barangkali aku butuh api untuk membakar
sampah
biar nafasku lepas dan tersalurkan
Yogyakarta
Daun
Membiru
wajahmu tak pernah kutemukan sebelumnya
daundaun itu membiru
melipat diri
seperti kaligrafi di bibirmu
Yogyakarta
Kau
Datang dan Pergi
kau datang dan pergi
tanpa kau sadari bahwa kau akan mati
Yogyakarta
Sepotong
Aksara
sepotong aksara
sepotong wajahmu di jendela
-membuka tirai cakrawala
Sumenep
Perjumpaan
Separuh Waktu
I/
syarifah, barangkali tentangmu yang kau titip padaku
hendak melepas airmataku mengiringi langkahku pergi dari kotamu. tangan seakan
tak mampu melambai—saat kau teriakkan dirimu pada salam perpisahan, “selamat
jalan kasih!” katamu melempar kening
kini, airmata menjadi hujan kepala batu dan
menguatkan relrel itu bergetar gaduh. sungguh aku tak ingin walau pergi hanya
untuk ingin kembali. aku tahu bahwa perjumpaan kita kali ini cukup singkat;
sesingkat aku mengecup keningmu. kenapa harus singkat perjumpaan? kenapa harus
pergi pertemuan?
syarifah, di mana kau sebut namaku suatu saat nanti,
maka aku akan datang kembali menjemputmu dengan sejuta janji dan sejuta mimpi
bersamamu
II/
wahai perempuan yang telah kuketuk pintunya,
kutitip rinduku dalam sajak setiamu. bahwa dengan cinta lewat runcing hujan aku
datang, janji separuh waktu telah aku lunasi dengan segala yang sepi. namun,
peristiwa debudebu dan kabutkabut di jalanan seakan menghalangiku pergi—tak ada
jalan di depan pintu, yang ada hanya wajahmu
syarifah, mulut sudah tak lagi mahir mengucapkan
sepatah kata untukmu, kecuali aku hanya ingin kita menjadi satu dalam satu kata
“rindu”—dalam dekapan hangat dan kecupan masingmasing keringat. syarifah, lewat potongan bibirmu aku berjanji sehidup
semati denganmu
III/
aku ingin cumbui jiwamu lebih dalam, sedalam
lautan menggiring gelombang hingga menyeret ribuan segala yang mengapung di
atasnya
syarifah, kaulah langit membuat batinku mendung
kaulah angin mambuat badai jiwaku
kaulah lautan membuat gelombang dadaku
Jakarta
Bila Malam
bila malam jelang dan merambat lewat kening
cahaya wajahmu, rinduku bergemeretak ke dalam palungpalungku. namamu yang
kusebutsebut sebagai ingatan membuat angin bergetar memuja badai. akankah kita
melepas kembali kerinduan yang terpendam?
kau telah membuatku tak berdaya dengan
pelukan hangatmu dulu hingga tulang-tulangku meruntuhkan segala
aku mencintaimu dengan dzikir lahut
—meminangmu dengan segelas air qolam dalam kerinduan yang panjang
sampai bagian yang lain membedaki kekosongan hari—menghitung malam dalam
dimensi ruang dan waktu. bersamamu aku akan sampai pada titik pemujaan para
leluhur, lalu membikin sebuah kehidupan yang panjang
jangan sekalikali kau memberikan dalil yang lain dalam warna atau
sikap yang teraniaya. jemarijemari ini tak lelahnya menghitung hari, menghitung
abad perjalananmu. setiamu membuat mimpiku terus bernyanyi bersama daundaun dan
rerumputan melambai
syarifah, akukau dalam dekapan biru
Jakarta
Kau
Bebani Aku dengan Rindu
kau
bebani aku dengan rindu;
—rindu yang
tegak meliut
lalu kau
datang dan menyebutnya sebagai batu
Jakarta
Haruskah Kau Mati
syarifah,
haruskah kau mati karena semua yang tertulis. sungguh pemberian yang amat
lembut jika kau memikirkannya sebuah kesucian, doa tertulus dari keimananmu
mengejawantah dari sesuatu yang terdiam. rasa sakit yang kau rasakan itu
bukanlah amarah, tapi dendam yang kau gadai sebelum kau menjerit kesakitan.
aduhai
engkau yang menulis janjimu pada sehelai daun, namun tak kau temukan dirimu
pada kesetiaan yang sempurna. bacalah aksara hidup, besok kau akan
kembali—mengiringi matahari dengan lambaian senyum tentang kehidupan di masa
depan. lalu kau teriakkan kehidupan di angkasa yang sama sekali kau tak
membacanya dengan kerinduan. dirimu adalah dirimu sendiri.
syarifah,
janganlah kau bersedih tentang sesuatu yang kau genggam. semua itu adalah
bayangan yang tak abadi, hanya sebatas kehendakNya untuk kau terima adanya,
hingga kau temukan doa qudus di sujudmu yang suci dan bukan pada ketiadaanmu
dalam getar maut yang kau puja. bersabarlah demi ketulusan pengabdianmu pada
sang Pencipta.
Yogyakarta
Jangan Bersedih Rofa
jangan
bersedih rofa
jangan
bersedih dengan suasana menghimpit matamu menjadi airmata. di dalam hatimu
terdapat impian; impian yang di dalam hurufnya terdapat simbol dan tekateki
kehidupan. bacalah dirimu sebagai kepasrahan hidup dalam perasaan.
jangan
bersedih rofa
di
dalam ungkapan setiamu ada diriku, mengajakmu bernyanyi bersama tembangtembang
anak rantau.
jangan
bersedih rofa
dirimu
adalah kerinduan Tuhan yang mencoba memanjakanmu dengan ridhaNya. sedihmu
adalah bahasa kekosongan—lantas meminangmu pada kejujuran hatimu. maka
berhitunglah pada seisi alam untuk kau semayamkan sedihmu pada malam.
jangan
bersedih rofa
karena
dirimu adalah terluka.
Yogyakarta-Toman
Meminangmu
kasihku,
inilah alunan suara kesabaran meminangmu, terdapat irama ikhlas dan mata
memancarkan ketulusan kasih sayang untukmu kasihku.
tak
ada yang harus kusembunyikan untuk membuatmu bahagia. meminangmu, aku hanya
ingin sesuatu dalam senyummu yang sopan dan memanja seperti gelisahku memelukmu
di remang malam. lalu kau sentuh hatiku dengan pujaanmu.
sungguh
aku tak ingin harihariku menjadi sepi, seperti lagulagu duka yang tak
bersuara—tak bernyawa, seperti musik yang tak bersuara hingga orangorang pada
pergi mencari kebisingan sendirisendiri. bagiku, ini bukan sebuah puisi
kasihku, tapi rinduku yang bergemeretak inginimu selalu—meminangmu dengan
dzikir batubatu.
Jakarta
Membaca Kenyataan dalam Dirimu
mimpi
yang kau sembunyikan itu telah membuat hari dan malammu sepi, hati berselimut
benci, benci pada kenyataan Tuhan yang dititipkan padamu.
arwah
kebencianmu bertebar di manamana, membikin spekulasi diri sebagai
pengejawantahan dalam diri—damailah dirimu pada diri yang bersemayam. tak
adakah sedih itu kemudian? kenyataan bukan untuk kau benci, tapi untuk kau puja
dengan kesabaran menanti.
Yogyakarta
Tumor di Kepalamu
tumor
di kepalamu adalah senyumku dalam kehidupan yang singkat ini dan kau sendiri
adalah perpanjangan generasiku.
tumor
di kepalamu adalah simbol dari harapanmu dan harapanku yang tertunda
indana,
bukan kekosongan hati untuk memilih sebuah kerinduan, tapi sebuah impian untuk
kau telusuri lebih dalam; sedalam hangatmu memeluk mentari pagi.
tumor
di kepalamu adalah anugerah Ilahi yang mencoba meminangmu dengan ketulusan. tak
ada hijab antara Tuhanmu dengan dirimu jika kau merasakan sakitnya itu dengan
doa, hingga syukur membasahi hariharimu.
tumor
di kepalamu adalah kumpulan darah yang beku sebagai landasan dzikir yang
menyatukanmu dengan cinta dan potret dari citacitamu yang tak terbatas, sedang
kau kudapati sebagai landasan kekuatan.
engkau
akan bangkit kembali lebih dari sekedar berdiri di depan matahari.
Jakarta
Di Jakarta
di
jakarta,
di
kotamu yang ramai
kutitip
mimpimimpiku di selasela kerlapkerlipnya lelampu kota, melelapkanmu lewat
hening rembulan. lalu kau petik sebagai ingatan.
di
jakarta,
di
kotamu yang penuh dengan debudebu jalan
menitip
amarah gelisahku di selasela deru gelombang angin—bertebar di seluruh kotamu,
hingga diri berjumpa ke rumahmu, mengetuk pintu agar kau terbangun dari
kebisingan hatimu tentangku sampai kau peluk diriku dengan setiamu.
di
jakarta,
di
kotamu yang tak pernah tahu sunyi
kutitip
risalah hatiku pada retak kaca di jendela, di dekat museum kota kuno yang dulu
kau pernah mengajakku sekedar bercerita tentang kota. sentuhlah kaca itu dengan
hening airmatamu, maka aku akan ada.
di
jakarta,
di
kotamu yang penuh asap
kutitipkan
hidupku di dermaga utara. melukis kesunyian untukmu kau petik remangremang kota
hingga menitik beratkan hatimu pada sebuah kehidupan dan kau menjadi rindu.
Yogyakarta
Bertahan Untukku
indana,
laut bergelombang dalam batinmu, mengintai segala dalildalil kesadaran diri.
hidup hanya sekali, hanya untuk keabadian diri.
indana,
bertahanlah untukku
membikin
hikayat baru dari kesetiaan yang tersisa, kembali kepada kesatuan dan ketautan
hati, hingga meminangmu pada sebuah janjijanji.
indana,
bertahanlah untukku
aku
tak tahu ke mana lagi harus kucari sesuatu yang telah lama mongering. padahal,
genderang perang masih saja ditabuh.
aku
hanyalah sayatansayatan panah menusuk setiap detak jantung. aku tak ingin
kegagalan atau pun kekalahan dalam menjaga keselamatan hatimu.
ketahuilah
indana,
setiap bunyi pedang adalah namamu dalam doa, namun yang membuatku hilang dalam
ruang yang kosong, tak ada kamu yang ada hanya wajahmu dalam cermin.
Jakarta
Senandung Hati
:Diy
I/
entah apa
dan siapa yang kutatap di layar monitor bermain dahaga. jam dinding berteriak
lepas tiba-tiba. tangan-tangan sibuk bermain huruf dan angka. wajahmu seperti
ada di jendela meremasremas batinku yang ranum. wahai engkau. siapa engkau.
bayangmu
berkacakaca di cermin yang lepas di dinding toilet umum bandara. aku tak sedang
bercakapcakap sendirian, aku juga tak sedang termangu, tapi kebisingan dan
rindu ramai wajahmu melompat ke ranjang dingin tempat aku menatap langitlangit
kamar dengan sajak sepi batinku.
II/
di pulau
itu, Diy. barangkali harus kutitip cerita tentang negeri angin—tentang sayup
hening mengantarkanmu pada lembah mimpi dan janji untuk memamah ke lubukmu.
bgitulah, Diy, saat daundaun gugur melepas ingatan; merangkai tangkai, bunga
membunga.
di sini,
udara memberikan bahasa ke relung hatimu hatiku. mengajarkan baitbait
kekosongan hati pada diri. seperti ada bau tubuhmu yang tak kukenal menyayat
ingatan, sampai kulupa jalan pulang. engkau seperti membuka pintu jalan yang
hilang, tapi tak tahu ke mana jalan itu mengarah dan terarah. akukau di sana
berjalanjalan sambil membuangbuang airmata.
III/
Diy, di
manakah rumah hati tempat kau titip hidupmu? barangkali lelah ingin berteduh
dari kepulangan, meneguk haus dari bibirmu yang basah oleh waktu.
Diy, di
manakah jalan itu?
Ambon-Jakarta
Al Laisa, Wajah dalam Kabut
I/
malam kelam.
mata mengejamu dengan kata, kata yang melompat dalam degup tak nyata. warna
membayangi diri sendiri. jalanjalan tak kutemukan arah pulang. tapi engkau
masih saja tersimpan dengan senyum bukan diriku dalam dirimu.
Al, malam
bercumbu rayu dengan angan, mengajakku berlayar menuju lautmu tenang. di sini,
di kota yang bising dengan arloji dan manusiamanusia besi berkeliaran di
dadaku—menggertak jiwaku untuk kuraba wajah tak pasti; wajah yang menggetarkan
jiwaku dari seberang yang kuyakini jalan pulang.
II/
Al, di depan
jendela, tempat kupandangi remang wajahmu. mataku terbawa angin merayap ke
seluruh tubuhmu, tapi tak jumpai pertemuan, seperti perjumpaan wajah bagi
jiwaku jiwamu dalam kabut membentuk kenangan sederhana membingkai setubuh ruh.
tapi, Al, selama
langit dan bumi bersatu dalam kabut, engkau akan datang dengan layar
sepatu—menancapkan rindu di dermaga hati dan menuntutku untuk selalu mencarimu.
III/
Al, meski
engkau asing dalam diriku, di mana wajahmu berwarna rembulan. biru langit
menyapa tubuh. dingin kurasakan dalam cermin berkacakaca tentangmu. jantungku
rindu akan kedatangan hati yang tak pernah sampai pada kedalaman makna airmata
yang kubuangbuang pada jiwa tak bertepi.
Al, engkau
masih saja asing dalam diriku.
Jakarta-Yogyakarta
Tafakkur
Cinta
dalam senyummu terlukis bungabunga
mengalir anggur kehidupan yang
menembangkan cinta
menyelusup ke ruangruang jiwa
aku terbawa arus prahara lalu rubuh ke
bumi
nafas tirani mendepak setiap jengkal
menggerogoti sukma, lalu
beterbangan menyatu menjadi tubuhtubuh
cinta
akulah harapan rindu bagi jiwaku
kaulah embun yang memberikan
kesejukan dalam pandangan mataku
kaulah bidadari yang sedang kupeluk
dengan nafas biru
bersenandung bianglala di balik tirai
kain mantra
kulepas semua yang ada bersamamu
menuju idaman cahaya yang Satu
Yogyakarta
Dirimu dan Rembulan
di malam ini bulan tampak malu membawamu
dalam remang lelampu, sedang aku di luar jendela berteriak menyebut namamu.
saat itulah kau mulai terbangun menampakkan wajahmu di daun jendela.
Yogyakarta
Najwa
najwa,
rinduku di seberang lautan melewati deru gelombang, berselimut angin, mengukir
ombak. di sana kulabuhkan gelisahku pada malam menyeret seribu bayangmu.
najwa,
rinduku tegak menyepi di dasar ingatan—kutemukan majaz berenang dalam lelapmu-
memimpikanmu dengan bilangan waktu. sunyi- sepi berselimut diri. kapan kau
kembali lalu kita saling memuja diri.
Yogyakarta
Bila Jemariku Menjadi Kenangan
bila
jemariku berenang, maka kenanglah di saat udara mulai menusuk jantungmu. akan
kujadikan airmataku membanjiri hijau pulau—mengatas namakanmu dalam harapanku
yang memanjang, entah itu inginku pada sepotong bibirmu melempar kening.
mam,
ketahuilah bahwa aku selalu mendatangimu dalam mimpi sunyi dan merangkulmu
dengan sejuta janjijanji.
Yogyakarta
Berlabuh
di
kotamu yang sunyi, izinkan aku berlabuh di malammalammu—membaca hening di
matamu lewat runcing hujan bertebar kerinduan. tak lelahnya jemarijemariku
merayap di retak kacakaca, menghitung abad perjalananmu.
tak
tahukah engkau saat deram hujan bergemertak di jendela dan aku menghitung
titiktitik dingin dalam aroma nafasmu di selasela angin membaca lelapmu.
Yogyakarta
Puisi Mati
bila suatu saat nanti aku
mati
maka berjanjilah, kau akan
mencintaiku dalam kematian
sebab, mati itu adalah
cintaku padamu yang tertunda
ungkapkan cinta itu sebelum aku terkubur sunyi
maka akan kubawa cintamu bersama selembar kain
kafan di tubuhku—untuk kupersembahkan pada Tuhan;
Tuhan yang tercipta dari amarah cintaku yang
terpendam dan cinta yang tertahan
Yogyakarta
House
Residen Misfallah OASIS
pagi, lobby A itu sepi, tempat orangorang tawar
menawar malam untuk berenang di atas guling dan kasur. hanya penjaga pagi di
balik pintu mencatat keluar masuk unit. lalu pintu dengan sendirinya terbuka
pelan, lelaki berbadan tinggi keluar dari lubang pintu, berpakaian jubah,
kepala diikat dengat sorban berwarna merah putih pernik—dia berjalan dengan
gagahnya, melengah lengoh kepalanya, matanya mencari-cari barang yang
sepertinya ada yang hilang saat itu juga.
di balik pintu terlihat ada perempuan melambaikan
tangan pada lelaki yang baru saja keluar dari pintu. lelaki itu hanya
tersenyum- taksi menunggunya di depan pintu, lalu masuk tanpa raguragu.
perempuan itu mengejarnya saat taksi mulai
meninggalkan pintu berlaju cepat, di belakangnya bertuliskan “TARIF BAWAH
EKSPRES”. entah perempuan itu menangis karena tak sampai, berlutut, roknya yang
mini menyapu lantai. rambutnya pirang sambil dicopoti satusatu. dadanya
ditepuktepuk kencang, “habibi…. kenapa kau tak membawaku.” teriaknya, lalu
berkata lirih “aku akan menguburkannya. kau sudah kembali ke negaramu.”
Jakarta
Cerita di Gerbong Kereta
:Delly
kereta
malam nenyusuri lembahlembah batinku yang ranum. becek tepuk lidah bergurau.
mata beradu sayu. merendam rasa. bahasamu yang manja. senyummu kau sembunyikan.
angin dan suarasuara deru bergelombang menyentuh dinding poriporiku. jendela
kecil membuka tirai membingkai wajahmu seperti memecahkan kaca. engkau
perempuan yang ragu akan langkahmu di atas relrel dan kerikil yang licin.
ada
telpon berdering mengajakku berspekulasi. menyampaikan khobar tentang
kekhawatiranmu pada lembahlembah orangorang menyapu lantainya dengan parfum
nyengat. lalu orangorang membuang hidungnya ke dalam kasur meja.
“nanti
gelisahmu akan sampai” kataku mengajakmu bicara. kau jumpai ibumu setelah
selesai mengemas diri dengan kening yang kau lempar di halte pertemuan jalan
pulangmu.
Jakarta-Yogyakarta
Jejak di Stasiun Wates
del,
kita tak sempat bercerita tentang hujan di gerbong kereta itu, hujan yang turun
tibatiba dan pecah di jendela. pun kau tak menikmatinya, matamu kau sembunyikan
di balik jaketmu. entah kau bernyanyi dalam langkah mimpimu mengenang matahari
mengelabuhi langkahmu, lalu kau terbangun mencari jalan pulang. melangkah pelan
meninggalkan gelisahmu pada selembar kening—kau kenang di atas kertas lusuh itu
melukis jejakmu: ceritamu ceritaku.
del,
selamat tinggal dan jumpaku di kereta waktu yang lain.
Blandongan
Jiwaku dalam Sepi
Gerimis
sepi mulai mengurung malam
purnama mulai tenggelam di atas awan
aku mencoba menatap jalan, namun tak ada
sinar
tubuhku mengalir nanar
fatwa para leluhur membisik kandang telingaku
gerimis datang menyelusup ruang hampa
ada tawa, mengiris dinding jiwa
mengalir darah anyir dalam hina
sampai kapan jiwa ini terlena dalam kehampaan
mengaji hurufhuruf yang hina tanpa menghiraukan
namun diri ini tak kuasa saat kau percikkan
fatwa Dewa
sebab tak sanggup mengemban amarahnya
maafkan bila diri ini berpaling dari
kenyataan suci
biarkan kuemban amarah ini bersama sang sepi
izinkan aku memeluk gelisah sunyi
sampai akhirnya kutahu purnama taburkan
cahaya hakiki
maafkan aku bila selama ini kubagi jiwa
dengan sepi
karena keteledoranku mengaji fatwafatwa suci
kirimlah orang dan berikan kabar tentangku,
di sini
agar kutahu, dan tak terselimuti kebodohan
ini
Surabaya
Huruf Mengering
surat putih itu terkirim ke kotamu
sebagai bukti belahan jiwa
ini adalah jasadku
mengaji huruf mengering di antara
batubatu nisan dengan lumut tiran
ini jiwa yang hidup
aku hanya pengabdi
yang tak bisa menentang kodrat
nasib menjadi nafasku
selamanya tidak berubah
yang berubah adalah bagian yang datang
membedaki jiwaku
aku kehilangan status namaku
dan seluruh yang membuat ucapan
terenggut
menjadi bahasa tabir kebohongan
biarlah aku jadi aku yang tak harus
membeli nama hitam bergulingan
di singgasana kebencianmu
kau tak lagi memerlukanku
maka, enyahlah dari jiwaku
Camplong
Gelisah
awan mulai menggagas kabut
angin pun berdesir
keduanya menyatu
lalu rubuh manjadi air kehidupan
petir menyala, menjilat, dan menggerogoti
sukmaku
gelisahku dalam rindu!
oh, penyair di lembah sana
buatkanlah aku puisi dan cinta menyatu
kepulkan asapasap syairmu
menyihir gelombang menjadi galau
gelisahku dalam sepi!
oh, angin melambaikan pohonpohon poriporiku
terkesima lebur berceceran, membentang, menghembus
lalu menjadi doa dan doa menjadi nafas biru
terbangkan sayapsayap patah menjadi saksi
walau tak ada yang hendak menyapa
pasti kau akan roboh
sebab tetesan airmataku adalah titipan Tuhan
gelisahku dalam doa!
oh, jiwa menjadi korban aksara namamu
jiwaku girang, dan bercecerkan pesanpesan
rindu
menggigil seperti gumpalan es yang membatu
kutitip risalah ini penuh dengan makna
kutitip risalah ini penuh kata dalam doa
kutitip risalah ini penuh gelisah dalam sepi
kutitip risalah ini penuh isyarat hati dalam
puisi
kutitip risalah ini penuh gairah dalam cinta
kutawarkan gelisah asmaraku padamu
agar engkau menjadi tahu
Yogyakarta
Perjalanan
2 cm
perjalan 2 cm membuatku tak dapat
melangkah
jalan itu teramat rumit dan sulit untuk
kutelusuri
aku hanya diam dalam gelisahku
namun, kau tak pernah tahu sedalam yang
kumau
Mato
Nasibmu
Adalah Hatiku
nasibmu adalah hatiku yang gaduh
menggenggam satu arti tapak purbani
melukis risalah hidup, merangkai
mimpimimpi
bangkit seakan tak mampu melafalkan
wajahmu
mata redup tak terarah
sesekali mengintai marah antara luka
dan sepinya waktu
mutiara berkilau dalam tubuhmu yang
bengkok
memancar sinar kesatuan abadi dalam
diri Tuhan
Yogyakarta
Cinta dalam Mimpi
dulu aku pernah
memandangimu, tapi kau tidak
dulu aku pernah percikkan
kata, tapi kau tidak membalasnya
kau seperti bulan redup tak
ada sinar
kau sengaja cipta kemarahan
demi keangkuhan zaman
entah ke mana perasaanku
pergi, minggat dari pandangan batinku
terbuang sepi ditelan oleh
waktu
berakhirlah sudah jejak
semangat hidupku
karena tak mampu menanggung
beban mengapung dalam onakku
akhirnya aku lelah di bawah
pohon beringin dan tertidur
terbawa mimpi di siang
bolong
kau datang menyatu dalam
jiwaku
kau salurkan cinta dalam
jantungku
setelah itu aku tak bangun
lagi
Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar