Yan Zavin Aundjand

Selamat Datang di Prasmanan Sastra Yan Zavin Aundjand
Peringatan: Dilarang Pipis di Sembarang Tempat

Minggu, 26 Februari 2012

Senandung Sajaksajak Roman Yan Zavin Aundjand


Sajaksajak Roman Yan Zavin Aundjand
ditulis pada tahun 2005 s/d 2011


Jika Kau Perempuan Rembulan

jika kau perempuan rembulan
maka kabari aku tentang kerinduan
dan jadilah pulau dalam kerinduanku
di malammalammu

Yogyakarta


Surat

hari ini kau tampak berbeda. bahasamu pucat. wajahmu tak lagi semanis madu. esok, bila halamanhalaman suratku kau buka, terbangkan hurufhuruf rinduku yang hijau. buanglah titik komanya ke dalam relung hatimu. jangan sampai kau mengatakan itu sendiri padaku. jangan katakan. aku tak ingin jalan dan sungai itu mengalir sunyi, seperti dirimu menyimpan permata di balik rambutmu yang dulu kau potong dengan pisau: matanya kau tusukkan ke jantungku.

wahai engkau yang bergumam dalam tanya. jangan tanyakan lagi tentang diriku yang lewat dibelakang rumahmu. aku telah meletakkan jejakku di bawah pohon itu. aku pergi, ke mana aku pergi. dunia akan selalu mengikuti. maka tengoklah jejakku itu di belakang rumahmu di bawah pohon mengurung niatmu.

Jakarta


Segelas Air Putih

siang itu, kuperhatikan satu persatu orangorang yang datang meramaikan rumah tua, rumahmu katanya. kucaricari tubuhmu yang di dandan, seperti kuadikuadi pengantin. tawa bahagia menepuk tangannya melepas kenangan.

“kasihku, di mana kau di dalam rumah petang. kubawa pesananmu untuk kau sulam.” sumber mata air mataku mengalir di tubuhmu, tubuhku hilang. kubawa segelas air putih yang kupetik dari bawah pohon khuldi tempat adam membuang air matanya menjadi sumber kehidupan, sampai kelak kau menyebutnya sebagai hawa yang membikin sorga di telapak kakinya. kelak kau akan berjanji meski kurang mengerti pada buah khuldi yang kau sebut buah hatimu hatiku.

akukau dalam segelas air putih menimangnimang. menuangkan gelisah. membuang amarah. lalu membikin sajak dari potongan bibir gelas merajut impian liar tentang seluruh hidupmu hidupku.
oh, malammu malamku hilang bercampur mawar bertebar di seluruh ruangan kaca. kita sepakat mengamini malam sampai matahari menyebut namamu namaku. dan akukau terpasung di belakang pintu.

Ketapang


Kupinang Kau dengan Puisi

syarifah, kupinang kau dengan puisi, agar kau menjadi arti dan makna tersembunyi. di balik bongkahan batu igauku menjelma, mengantarkanmu pada lembah mimpimimpi. surat putih ini kukirim ke kotamu sekedar diludahi lembarannya, seperti dulu kululuhkan hatimu dengan kata, kata yang mengajakmu berlari di subuh yang jelang—menyebrangi loronglorong petang. memperlihatkan wajahmu di bawah buram lampu bertuliskan toilet umum.

syarifah, kupinang kau dengan puisi, yang melukis kisahku tentangmu di sebuah stasiun. kisah antara aku dan nyamuknyamuk nakal bermain pantatku. lalu kupanggilpanggil nama kau di sebuah halte bus kota, sebab aku tak lagi bertahan dengan nyamuknyamuk nakal itu,
padahal sudah kusembunyikan wajahku dalam toilet tempat orangorang mengumpulkan keresahan.

syarifah, kupinang kau dengan puisi, yang dulu kau memanggilku di lidah jalan menyeberangi sungai kering, airmatamu tumpah tibatiba. kau tak menghiraukannya, suaramu terus memanggilku tanpa lelah.

syarifah, kupinang kau dengan puisi, menjadi ayatayat suci di setiap langkahlangkahmu, seperti sajaksajakku yang lain yang dulu pernah memperkosamu dengan asma’ suci dan firman Tuhan bersujud di bibirmu, sampai kau menjeritjerit atas nama Tuhan-mu padaku.

syarifah, kupinang kau dengan puisi!

Camplong-Ketapang


Kecupan Pertama di Tengah Kalimat Percakapan

jiwa yang terseret dalam sungai membuai—membual di segala penjuru arah. namun, tertuju pada satu warna, warna kulitmu, kulitku terbelah dua. jiwa yang hilang dalam hitungan angkaangka. detik jantung riwayat takdirku. takdir kuingkari mengikrarkan diri pada sepi dan tawaku berkepanjangan.

kugantungkan hidup demi sepatah kata. pada kata yang berkata lewat bibirnya menarinari—berlari ke arah jantungku. kuminta waktu berhenti berdenyut mengikuti langkahku. malaikat malaikat kulempar jauh, mengurungkan niatnya di sebuah museum kota. kota keabadian. kota berpulang. kota pengakhiranku membawa bibirnya pada sungai yang kubelah empat. lalu airnya berhenti pada titiktitik pemujaan: pada sungaisungai kecil yang putus di jalan. karena malaikat malaikat itu ternyata khayalan dari reingkarnasi yang sampai pada bibirnya. wajahwajah kecewa saat kecupan pertamaku di tengah kalimat percakapan dengannya—ada amarah menusuk dengan taringnya.

malaikat malaikat berpulang meninggalkan aku berpesta di depan pintu. mereka membuang potpot bunga miliknya. membuang jalan raya. membuang mobil. motor. sepeda. becak. dan pohonpohon yang menemaniku berpesta. kemudian mereka mencopoti tubuhku yang berwarna hitam. seperti warna kulit perempuan itu menikmati pestaku yang kacau.

pesta pertama di depan pintu
pesta khayalan
pesta jadijadian
pesta yang khusus kupersembahkan untuk tuhan yang selalu berkhayal atas kematianku

Jakarta-OASIS


Syarifah

semenjak gerimis menghujani batubatu pertapa
angin menyapunya di atapatap batinku
kabut lintas di jendela
mengajak gelisahku di pohon rindang
seperti jejak basah

buram
keringat bercucuran
hati kusut
menggedorgedor semua kenangan

kutemukan suarasuara bernyanyi mengelilingi tasbih
tapi diam dalam gerak dan warna
—seperti ada yang hilang

namun
kamu bagiku tak siasia kasihku
karena sebentar lagi hujan akan turun
mengecupmu dengan gerimisnya
lalu
kupanggilpanggil engkau kasihku
—dalam tidurku

Madura-Jakarta


Dzikir Pengantin

syarifah, akhirnya kurelakan jua diriku
pada detikdetik jantung bersahutan di ujung senja
lihatlah, lihatlah aku syarifah
aku menghitung tasbih berputarputar di lehermu
meniti jalan keagungan
untuk memadukan benangbenang bahagia
melukis kerinduan malam
hingga kutemukan surut matamu kembali pada peraduan yang sama

syarifah, seperti sajakku bertiup memenuhi udara ke jantungmu
seperti debudebu rinduku memanas di bibirmu
malam yang kau janjikan nanti adalah warna yang bersemayam
mengekal di ranjang keabadian

syarifah, dzikirku selalu mengada dan mengada tentangmu
hingga kau datang, hingga kau datang dengan mata telanjang
lalu kupuja dengan namamu, syarifah
karena aku adalah rindumu

Yogyakarta


Senyum Membelah Dua
:Diy

Diy, senyummu membelah tanganku memutar waktu. engkaukah di sana bernyanyi kupu-kupu yang tiba-tiba hinggap di taman. kenapa tak kau sentuh hati yang lepas melepas segala. senyummu seperti embun sejukkan batin; batin yang ramai dengan wajahmu menggerogoti sukma.

Diy, mata jauh memandang ke dalam relung yang tak kuketahui tentangmu. jarak dan waktu tak sempat kujumpai dengan senyum yang kupuja. mungkin hanya lewat kata dan bahasa untuk bisa sampai ke jantungmu, meski udara keluar masuk tubuhmu tak sempat kau tanyakan salam yang kuleburkan ke buku-buku.

Diy, matamu kubelah dengan kata. bibirmu kupotong-potong dengan bahasa. mata yang ranum. bibirmu yang basah. membuat diriku jauh memandang. barangkali ini bukan puisi, Diy, tapi hati yang sepi berteriak memanggil namamu. hanya engkau hatimu menitik beratkan pada aksara mimpi yang terpendam. mari saling bercerita diri, tentang malam, hari, dan senja.

Diy, benarkah kau di sana yang melempar selembar senyum ke relung hati. di sini musim gugur menciumi pipi tanah. daun yang gugur dari huruf –huruf asing di ranjangku yang dingin. sedang kau burung dalam kaca menguncup ke labuk hatiku.

Yogyakarta


Diri

jantungku berputarputar mengelilingi darah di tubuhmu. mata hitam tertutup awan tanpa gerimis, lalu kau diam di halaman rumah itu.
aku berjalan dan terus berjalan saat matahari di kotamu mulai terbenam.
gununggunung di dadamu marah,
wajahmu memerah seperti hantuhantu yang ketakutan pada sepenggal darah anjing
oh, diri lungkrah dan hati yang terasing

Madura


Malam tanpa Bulan

kuarungi malam tanpa bulan
meski jalan tak tampak ada
gelap gulita, terasa tubuhku hilang dalam sepi
terkubur sunyi berselimut mimpi

angin menyapa tubuhku yang telanjang
tanpa sehelai benang pun lekat pada tubuhku terbentang
sesekali berharap dirimu datang dalam peluk rinduku
menghangatkan gelisahku membara

nafasku sesak membeku hingga tubuh menggigil
barangkali aku butuh api untuk membakar sampah
biar nafasku lepas dan tersalurkan

Yogyakarta


Daun Membiru

wajahmu tak pernah kutemukan sebelumnya
daundaun itu membiru
melipat diri
seperti kaligrafi di bibirmu

Yogyakarta


Kau Datang dan Pergi

kau datang dan pergi
tanpa kau sadari bahwa kau akan mati

Yogyakarta


Sepotong Aksara

sepotong aksara
sepotong wajahmu di jendela
-membuka tirai cakrawala

Sumenep


Perjumpaan Separuh Waktu

I/
syarifah, barangkali tentangmu yang kau titip padaku hendak melepas airmataku mengiringi langkahku pergi dari kotamu. tangan seakan tak mampu melambai—saat kau teriakkan dirimu pada salam perpisahan, “selamat jalan kasih!” katamu melempar kening

kini, airmata menjadi hujan kepala batu dan menguatkan relrel itu bergetar gaduh. sungguh aku tak ingin walau pergi hanya untuk ingin kembali. aku tahu bahwa perjumpaan kita kali ini cukup singkat; sesingkat aku mengecup keningmu. kenapa harus singkat perjumpaan? kenapa harus pergi pertemuan?
syarifah, di mana kau sebut namaku suatu saat nanti, maka aku akan datang kembali menjemputmu dengan sejuta janji dan sejuta mimpi bersamamu

II/
wahai perempuan yang telah kuketuk pintunya, kutitip rinduku dalam sajak setiamu. bahwa dengan cinta lewat runcing hujan aku datang, janji separuh waktu telah aku lunasi dengan segala yang sepi. namun, peristiwa debudebu dan kabutkabut di jalanan seakan menghalangiku pergi—tak ada jalan di depan pintu, yang ada hanya wajahmu

syarifah, mulut sudah tak lagi mahir mengucapkan sepatah kata untukmu, kecuali aku hanya ingin kita menjadi satu dalam satu kata “rindu”—dalam dekapan hangat dan kecupan masingmasing keringat. syarifah, lewat potongan bibirmu aku berjanji sehidup semati denganmu

III/
aku ingin cumbui jiwamu lebih dalam, sedalam lautan menggiring gelombang hingga menyeret ribuan segala yang mengapung di atasnya

syarifah, kaulah langit membuat batinku mendung
kaulah angin mambuat badai jiwaku
kaulah lautan membuat gelombang dadaku

Jakarta


Bila Malam

bila malam jelang dan merambat lewat kening cahaya wajahmu, rinduku bergemeretak ke dalam palungpalungku. namamu yang kusebutsebut sebagai ingatan membuat angin bergetar memuja badai. akankah kita melepas kembali kerinduan yang terpendam?
kau telah membuatku tak berdaya dengan pelukan hangatmu dulu hingga tulang-tulangku meruntuhkan segala

aku mencintaimu dengan dzikir lahut

—meminangmu dengan segelas air qolam dalam kerinduan yang panjang sampai bagian yang lain membedaki kekosongan hari—menghitung malam dalam dimensi ruang dan waktu. bersamamu aku akan sampai pada titik pemujaan para leluhur, lalu membikin sebuah kehidupan yang panjang

jangan sekalikali kau memberikan dalil yang lain dalam warna atau sikap yang teraniaya. jemarijemari ini tak lelahnya menghitung hari, menghitung abad perjalananmu. setiamu membuat mimpiku terus bernyanyi bersama daundaun dan rerumputan melambai

syarifah, akukau dalam dekapan biru

Jakarta
Kau Bebani Aku dengan Rindu

kau bebani aku dengan rindu;
—rindu yang tegak meliut
lalu kau datang dan menyebutnya sebagai batu

Jakarta


Haruskah Kau Mati

syarifah, haruskah kau mati karena semua yang tertulis. sungguh pemberian yang amat lembut jika kau memikirkannya sebuah kesucian, doa tertulus dari keimananmu mengejawantah dari sesuatu yang terdiam. rasa sakit yang kau rasakan itu bukanlah amarah, tapi dendam yang kau gadai sebelum kau menjerit kesakitan.

aduhai engkau yang menulis janjimu pada sehelai daun, namun tak kau temukan dirimu pada kesetiaan yang sempurna. bacalah aksara hidup, besok kau akan kembali—mengiringi matahari dengan lambaian senyum tentang kehidupan di masa depan. lalu kau teriakkan kehidupan di angkasa yang sama sekali kau tak membacanya dengan kerinduan. dirimu adalah dirimu sendiri.

syarifah, janganlah kau bersedih tentang sesuatu yang kau genggam. semua itu adalah bayangan yang tak abadi, hanya sebatas kehendakNya untuk kau terima adanya, hingga kau temukan doa qudus di sujudmu yang suci dan bukan pada ketiadaanmu dalam getar maut yang kau puja. bersabarlah demi ketulusan pengabdianmu pada sang Pencipta.

Yogyakarta
Jangan Bersedih Rofa

jangan bersedih rofa
jangan bersedih dengan suasana menghimpit matamu menjadi airmata. di dalam hatimu terdapat impian; impian yang di dalam hurufnya terdapat simbol dan tekateki kehidupan. bacalah dirimu sebagai kepasrahan hidup dalam perasaan.

jangan bersedih rofa
di dalam ungkapan setiamu ada diriku, mengajakmu bernyanyi bersama tembangtembang anak rantau.

jangan bersedih rofa
dirimu adalah kerinduan Tuhan yang mencoba memanjakanmu dengan ridhaNya. sedihmu adalah bahasa kekosongan—lantas meminangmu pada kejujuran hatimu. maka berhitunglah pada seisi alam untuk kau semayamkan sedihmu pada malam.

jangan bersedih rofa
karena dirimu adalah terluka.

Yogyakarta-Toman


Meminangmu

kasihku, inilah alunan suara kesabaran meminangmu, terdapat irama ikhlas dan mata memancarkan ketulusan kasih sayang untukmu kasihku.

tak ada yang harus kusembunyikan untuk membuatmu bahagia. meminangmu, aku hanya ingin sesuatu dalam senyummu yang sopan dan memanja seperti gelisahku memelukmu di remang malam. lalu kau sentuh hatiku dengan pujaanmu.

sungguh aku tak ingin harihariku menjadi sepi, seperti lagulagu duka yang tak bersuara—tak bernyawa, seperti musik yang tak bersuara hingga orangorang pada pergi mencari kebisingan sendirisendiri. bagiku, ini bukan sebuah puisi kasihku, tapi rinduku yang bergemeretak inginimu selalu—meminangmu dengan dzikir batubatu.

Jakarta


Membaca Kenyataan dalam Dirimu

mimpi yang kau sembunyikan itu telah membuat hari dan malammu sepi, hati berselimut benci, benci pada kenyataan Tuhan yang dititipkan padamu.

arwah kebencianmu bertebar di manamana, membikin spekulasi diri sebagai pengejawantahan dalam diri—damailah dirimu pada diri yang bersemayam. tak adakah sedih itu kemudian? kenyataan bukan untuk kau benci, tapi untuk kau puja dengan kesabaran menanti.

Yogyakarta


Tumor di Kepalamu

tumor di kepalamu adalah senyumku dalam kehidupan yang singkat ini dan kau sendiri adalah perpanjangan generasiku.

tumor di kepalamu adalah simbol dari harapanmu dan harapanku yang tertunda
indana, bukan kekosongan hati untuk memilih sebuah kerinduan, tapi sebuah impian untuk kau telusuri lebih dalam; sedalam hangatmu memeluk mentari pagi.

tumor di kepalamu adalah anugerah Ilahi yang mencoba meminangmu dengan ketulusan. tak ada hijab antara Tuhanmu dengan dirimu jika kau merasakan sakitnya itu dengan doa, hingga syukur membasahi hariharimu.

tumor di kepalamu adalah kumpulan darah yang beku sebagai landasan dzikir yang menyatukanmu dengan cinta dan potret dari citacitamu yang tak terbatas, sedang kau kudapati sebagai landasan kekuatan.
engkau akan bangkit kembali lebih dari sekedar berdiri di depan matahari.

Jakarta


Di Jakarta

di jakarta,
di kotamu yang ramai
kutitip mimpimimpiku di selasela kerlapkerlipnya lelampu kota, melelapkanmu lewat hening rembulan. lalu kau petik sebagai ingatan.

di jakarta,
di kotamu yang penuh dengan debudebu jalan
menitip amarah gelisahku di selasela deru gelombang angin—bertebar di seluruh kotamu, hingga diri berjumpa ke rumahmu, mengetuk pintu agar kau terbangun dari kebisingan hatimu tentangku sampai kau peluk diriku dengan setiamu.

di jakarta,
di kotamu yang tak pernah tahu sunyi
kutitip risalah hatiku pada retak kaca di jendela, di dekat museum kota kuno yang dulu kau pernah mengajakku sekedar bercerita tentang kota. sentuhlah kaca itu dengan hening airmatamu, maka aku akan ada.

di jakarta,
di kotamu yang penuh asap
kutitipkan hidupku di dermaga utara. melukis kesunyian untukmu kau petik remangremang kota hingga menitik beratkan hatimu pada sebuah kehidupan dan kau menjadi rindu.

Yogyakarta

Bertahan Untukku

indana, laut bergelombang dalam batinmu, mengintai segala dalildalil kesadaran diri. hidup hanya sekali, hanya untuk keabadian diri.

indana, bertahanlah untukku
membikin hikayat baru dari kesetiaan yang tersisa, kembali kepada kesatuan dan ketautan hati, hingga meminangmu pada sebuah janjijanji.

indana, bertahanlah untukku
aku tak tahu ke mana lagi harus kucari sesuatu yang telah lama mongering. padahal, genderang perang masih saja ditabuh.
aku hanyalah sayatansayatan panah menusuk setiap detak jantung. aku tak ingin kegagalan atau pun kekalahan dalam menjaga keselamatan hatimu.
ketahuilah indana, setiap bunyi pedang adalah namamu dalam doa, namun yang membuatku hilang dalam ruang yang kosong, tak ada kamu yang ada hanya wajahmu dalam cermin.

Jakarta


Senandung Hati
:Diy

I/
entah apa dan siapa yang kutatap di layar monitor bermain dahaga. jam dinding berteriak lepas tiba-tiba. tangan-tangan sibuk bermain huruf dan angka. wajahmu seperti ada di jendela meremasremas batinku yang ranum. wahai engkau. siapa engkau.

bayangmu berkacakaca di cermin yang lepas di dinding toilet umum bandara. aku tak sedang bercakapcakap sendirian, aku juga tak sedang termangu, tapi kebisingan dan rindu ramai wajahmu melompat ke ranjang dingin tempat aku menatap langitlangit kamar dengan sajak sepi batinku.

II/
di pulau itu, Diy. barangkali harus kutitip cerita tentang negeri angin—tentang sayup hening mengantarkanmu pada lembah mimpi dan janji untuk memamah ke lubukmu. bgitulah, Diy, saat daundaun gugur melepas ingatan; merangkai tangkai, bunga membunga.

di sini, udara memberikan bahasa ke relung hatimu hatiku. mengajarkan baitbait kekosongan hati pada diri. seperti ada bau tubuhmu yang tak kukenal menyayat ingatan, sampai kulupa jalan pulang. engkau seperti membuka pintu jalan yang hilang, tapi tak tahu ke mana jalan itu mengarah dan terarah. akukau di sana berjalanjalan sambil membuangbuang airmata.

III/
Diy, di manakah rumah hati tempat kau titip hidupmu? barangkali lelah ingin berteduh dari kepulangan, meneguk haus dari bibirmu yang basah oleh waktu.
Diy, di manakah jalan itu?

Ambon-Jakarta


Al Laisa, Wajah dalam Kabut

I/
malam kelam. mata mengejamu dengan kata, kata yang melompat dalam degup tak nyata. warna membayangi diri sendiri. jalanjalan tak kutemukan arah pulang. tapi engkau masih saja tersimpan dengan senyum bukan diriku dalam dirimu.

Al, malam bercumbu rayu dengan angan, mengajakku berlayar menuju lautmu tenang. di sini, di kota yang bising dengan arloji dan manusiamanusia besi berkeliaran di dadaku—menggertak jiwaku untuk kuraba wajah tak pasti; wajah yang menggetarkan jiwaku dari seberang yang kuyakini jalan pulang.

II/
Al, di depan jendela, tempat kupandangi remang wajahmu. mataku terbawa angin merayap ke seluruh tubuhmu, tapi tak jumpai pertemuan, seperti perjumpaan wajah bagi jiwaku jiwamu dalam kabut membentuk kenangan sederhana membingkai setubuh ruh.
tapi, Al, selama langit dan bumi bersatu dalam kabut, engkau akan datang dengan layar sepatu—menancapkan rindu di dermaga hati dan menuntutku untuk selalu mencarimu.

III/
Al, meski engkau asing dalam diriku, di mana wajahmu berwarna rembulan. biru langit menyapa tubuh. dingin kurasakan dalam cermin berkacakaca tentangmu. jantungku rindu akan kedatangan hati yang tak pernah sampai pada kedalaman makna airmata yang kubuangbuang pada jiwa tak bertepi.

Al, engkau masih saja asing dalam diriku.

Jakarta-Yogyakarta


Tafakkur Cinta

dalam senyummu terlukis bungabunga
mengalir anggur kehidupan yang menembangkan cinta
menyelusup ke ruangruang jiwa
aku terbawa arus prahara lalu rubuh ke bumi
nafas tirani mendepak setiap jengkal
menggerogoti sukma, lalu
beterbangan menyatu menjadi tubuhtubuh cinta

akulah harapan rindu bagi jiwaku
kaulah embun yang memberikan
kesejukan dalam pandangan mataku
kaulah bidadari yang sedang kupeluk dengan nafas biru
bersenandung bianglala di balik tirai kain mantra
kulepas semua yang ada bersamamu
menuju idaman cahaya yang Satu

Yogyakarta


Dirimu dan Rembulan

di malam ini bulan tampak malu membawamu dalam remang lelampu, sedang aku di luar jendela berteriak menyebut namamu. saat itulah kau mulai terbangun menampakkan wajahmu di daun jendela.

Yogyakarta


Najwa

najwa, rinduku di seberang lautan melewati deru gelombang, berselimut angin, mengukir ombak. di sana kulabuhkan gelisahku pada malam menyeret seribu bayangmu.

najwa, rinduku tegak menyepi di dasar ingatan—kutemukan majaz berenang dalam lelapmu- memimpikanmu dengan bilangan waktu. sunyi- sepi berselimut diri. kapan kau kembali lalu kita saling memuja diri.

Yogyakarta


Bila Jemariku Menjadi Kenangan

bila jemariku berenang, maka kenanglah di saat udara mulai menusuk jantungmu. akan kujadikan airmataku membanjiri hijau pulau—mengatas namakanmu dalam harapanku yang memanjang, entah itu inginku pada sepotong bibirmu melempar kening.

mam, ketahuilah bahwa aku selalu mendatangimu dalam mimpi sunyi dan merangkulmu dengan sejuta janjijanji.

Yogyakarta


Berlabuh

di kotamu yang sunyi, izinkan aku berlabuh di malammalammu—membaca hening di matamu lewat runcing hujan bertebar kerinduan. tak lelahnya jemarijemariku merayap di retak kacakaca, menghitung abad perjalananmu.

tak tahukah engkau saat deram hujan bergemertak di jendela dan aku menghitung titiktitik dingin dalam aroma nafasmu di selasela angin membaca lelapmu.

Yogyakarta


Puisi Mati

bila suatu saat nanti aku mati
maka berjanjilah, kau akan mencintaiku dalam kematian
sebab, mati itu adalah cintaku padamu yang tertunda

ungkapkan cinta itu sebelum aku terkubur sunyi
maka akan kubawa cintamu bersama selembar kain kafan di tubuhku—untuk kupersembahkan pada Tuhan;
Tuhan yang tercipta dari amarah cintaku yang terpendam dan cinta yang tertahan

Yogyakarta


House Residen Misfallah OASIS

pagi, lobby A itu sepi, tempat orangorang tawar menawar malam untuk berenang di atas guling dan kasur. hanya penjaga pagi di balik pintu mencatat keluar masuk unit. lalu pintu dengan sendirinya terbuka pelan, lelaki berbadan tinggi keluar dari lubang pintu, berpakaian jubah, kepala diikat dengat sorban berwarna merah putih pernik—dia berjalan dengan gagahnya, melengah lengoh kepalanya, matanya mencari-cari barang yang sepertinya ada yang hilang saat itu juga.

di balik pintu terlihat ada perempuan melambaikan tangan pada lelaki yang baru saja keluar dari pintu. lelaki itu hanya tersenyum- taksi menunggunya di depan pintu, lalu masuk tanpa raguragu.

perempuan itu mengejarnya saat taksi mulai meninggalkan pintu berlaju cepat, di belakangnya bertuliskan “TARIF BAWAH EKSPRES”. entah perempuan itu menangis karena tak sampai, berlutut, roknya yang mini menyapu lantai. rambutnya pirang sambil dicopoti satusatu. dadanya ditepuktepuk kencang, “habibi…. kenapa kau tak membawaku.” teriaknya, lalu berkata lirih “aku akan menguburkannya. kau sudah kembali ke negaramu.”

Jakarta


Cerita di Gerbong Kereta

:Delly

kereta malam nenyusuri lembahlembah batinku yang ranum. becek tepuk lidah bergurau. mata beradu sayu. merendam rasa. bahasamu yang manja. senyummu kau sembunyikan. angin dan suarasuara deru bergelombang menyentuh dinding poriporiku. jendela kecil membuka tirai membingkai wajahmu seperti memecahkan kaca. engkau perempuan yang ragu akan langkahmu di atas relrel dan kerikil yang licin.

ada telpon berdering mengajakku berspekulasi. menyampaikan khobar tentang kekhawatiranmu pada lembahlembah orangorang menyapu lantainya dengan parfum nyengat. lalu orangorang membuang hidungnya ke dalam kasur meja.
“nanti gelisahmu akan sampai” kataku mengajakmu bicara. kau jumpai ibumu setelah selesai mengemas diri dengan kening yang kau lempar di halte pertemuan jalan pulangmu.

Jakarta-Yogyakarta


Jejak di Stasiun Wates

del, kita tak sempat bercerita tentang hujan di gerbong kereta itu, hujan yang turun tibatiba dan pecah di jendela. pun kau tak menikmatinya, matamu kau sembunyikan di balik jaketmu. entah kau bernyanyi dalam langkah mimpimu mengenang matahari mengelabuhi langkahmu, lalu kau terbangun mencari jalan pulang. melangkah pelan meninggalkan gelisahmu pada selembar kening—kau kenang di atas kertas lusuh itu melukis jejakmu: ceritamu ceritaku.

del, selamat tinggal dan jumpaku di kereta waktu yang lain.

Blandongan


Jiwaku dalam Sepi Gerimis

sepi mulai mengurung malam
purnama mulai tenggelam di atas awan
aku mencoba menatap jalan, namun tak ada sinar
tubuhku mengalir nanar

fatwa para leluhur membisik kandang telingaku
gerimis datang menyelusup ruang hampa
ada tawa, mengiris dinding jiwa
mengalir darah anyir dalam hina

sampai kapan jiwa ini terlena dalam kehampaan
mengaji hurufhuruf yang hina tanpa menghiraukan
namun diri ini tak kuasa saat kau percikkan fatwa Dewa
sebab tak sanggup mengemban amarahnya

maafkan bila diri ini berpaling dari kenyataan suci
biarkan kuemban amarah ini bersama sang sepi
izinkan aku memeluk gelisah sunyi
sampai akhirnya kutahu purnama taburkan cahaya hakiki

maafkan aku bila selama ini kubagi jiwa dengan sepi
karena keteledoranku mengaji fatwafatwa suci
kirimlah orang dan berikan kabar tentangku, di sini
agar kutahu, dan tak terselimuti kebodohan ini

Surabaya

Huruf Mengering

surat putih itu terkirim ke kotamu
sebagai bukti belahan jiwa
ini adalah jasadku
mengaji huruf mengering di antara
batubatu nisan dengan lumut tiran
ini jiwa yang hidup

aku hanya pengabdi
yang tak bisa menentang kodrat
nasib menjadi nafasku
selamanya tidak berubah
yang berubah adalah bagian yang datang
membedaki jiwaku

aku kehilangan status namaku
dan seluruh yang membuat ucapan terenggut
menjadi bahasa tabir kebohongan
biarlah aku jadi aku yang tak harus
membeli nama hitam bergulingan
di singgasana kebencianmu

kau tak lagi memerlukanku
maka, enyahlah dari jiwaku

Camplong


Gelisah

awan mulai menggagas kabut
angin pun berdesir
keduanya menyatu
lalu rubuh manjadi air kehidupan
petir menyala, menjilat, dan menggerogoti sukmaku
gelisahku dalam rindu!

oh, penyair di lembah sana
buatkanlah aku puisi dan cinta menyatu
kepulkan asapasap syairmu
menyihir gelombang menjadi galau
gelisahku dalam sepi!

oh, angin melambaikan pohonpohon poriporiku
terkesima lebur berceceran, membentang, menghembus
lalu menjadi doa dan doa menjadi nafas biru
terbangkan sayapsayap patah menjadi saksi
walau tak ada yang hendak menyapa
pasti kau akan roboh
sebab tetesan airmataku adalah titipan Tuhan
gelisahku dalam doa!

oh, jiwa menjadi korban aksara namamu
jiwaku girang, dan bercecerkan pesanpesan rindu
menggigil seperti gumpalan es yang membatu
kutitip risalah ini penuh dengan makna
kutitip risalah ini penuh kata dalam doa
kutitip risalah ini penuh gelisah dalam sepi
kutitip risalah ini penuh isyarat hati dalam puisi
kutitip risalah ini penuh gairah dalam cinta
kutawarkan gelisah asmaraku padamu
agar engkau menjadi tahu

Yogyakarta


Perjalanan 2 cm

perjalan 2 cm membuatku tak dapat melangkah
jalan itu teramat rumit dan sulit untuk kutelusuri
aku hanya diam dalam gelisahku
namun, kau tak pernah tahu sedalam yang kumau

Mato


Nasibmu Adalah Hatiku

nasibmu adalah hatiku yang gaduh
menggenggam satu arti tapak purbani
melukis risalah hidup, merangkai mimpimimpi
bangkit seakan tak mampu melafalkan wajahmu

mata redup tak terarah
sesekali mengintai marah antara luka dan sepinya waktu
mutiara berkilau dalam tubuhmu yang bengkok
memancar sinar kesatuan abadi dalam diri Tuhan

Yogyakarta


Cinta dalam Mimpi

dulu aku pernah memandangimu, tapi kau tidak
dulu aku pernah percikkan kata, tapi kau tidak membalasnya
kau seperti bulan redup tak ada sinar
kau sengaja cipta kemarahan demi keangkuhan zaman

entah ke mana perasaanku pergi, minggat dari pandangan batinku
terbuang sepi ditelan oleh waktu
berakhirlah sudah jejak semangat hidupku
karena tak mampu menanggung beban mengapung dalam onakku

akhirnya aku lelah di bawah pohon beringin dan tertidur
terbawa mimpi di siang bolong
kau datang menyatu dalam jiwaku
kau salurkan cinta dalam jantungku
setelah itu aku tak bangun lagi

Yogyakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar