Catatan Penyair
Buku yang sudah saya persiapkan selama hampir tujuh tahun menekuni dunia kesusastraan, akhirnya selesai juga. Tentu semua ini membutuhkan perjuangan panjang. Tidak saja dalam arti finansial, tapi juga tenaga, pikiran, dan waktu.
Pada awalnya, tak pernah terlintas di benak saya akan menemukan sebuah gambaran tradisi lokal (di mana saya dilahirkan) yang sebenarnya masih sangat kental dalam pikiran saya. Bagaimana pun penulis tidak pernah lepas dengan alam lingkungan dan di mana penulis itu lahir. Selama kurang lebih empat belas tahun, saya melakukan perjalanan panjang, mencoba menelusuri tiap jengkal fenomena hidup, jauh dari tanah kelahiran dan orang tua, tapi lama kelamaan saya merasa semakin dekat dengan kampung halaman yang amat beragam dan pola hidup yang berbeda.
Diperjalanan itu sedikit pun saya tidak pernah merasakan ragu, bimbang, atau pun takut, saya terus menjadi pengembara (orang dulu menyebut saya sebagai musafir) di jalan-jalan meniti batu-batu kecil. Tidak ada siapa-siapa yang dekat dengan darah nasab saya, mereka jauh di sana sambil menghitung rindu-rindu kecil terhadap saya yang selama bertahu-tahun tak pernah pulang ke kampung halaman. Meski pun saya sendiri rindu, tapi saya menyimpannya sebagai bekal ketika nanti saya pulang atau haus diperjalanan. Doa-doa ibu dan ayah itu yang hanya menemani saya setiap kali saya singgah di suatu tempat atau ketika saya merasakan lelap dengan lelah saya. Doa itu yang selalu membuat saya angkuh menelusuri jalan, jalan menikung, jalan berduri, sampai kutemukan cita-cita ini sebagai jembatan pulang. Lampu-lampu jalanan, pohon-pohon, rumput-rumput juga ikut meramaikan perjalanan saya itu, sesekali saya meminta bantuannya untuk membikin sajak setia yang mengakar, menghirup udara menghidupkan urat-urat kemanusiaan, membunuh virus-virus yang menjalar ke tubuh dan ke buku-buku.
Satu yang sangat berharga dalam perjalanan saya itu adalah kenangan. Kenangan ini yang membuat saya ada dan akan tetap ada dalam ketiadaan saya nanti. Tapi, kadang saya sering lupa mengenangnya.
Sebagai seorang penyair (kalau boleh saya mengakui secara pribadi), satu yang tidak dapat saya hindari dari dunia dan kepribadian saya sendiri. Alam selalu hadir membentuk kenakalan-kenakalan pada diri saya. Alam bukan suatu yang rumit jika kita sudah bisa mengakrabinya dengan sentuhan-sentuhan yang kita miliki sebagai manusia. Alam akan menyatu dalam diri membentuk manusia menjadi seorang diri.
Seorang diri itu adalah “penyair”, peradaban yang dimiliki membuat alam semesta ini terasa bising dalam memasuki dunia kebermaknaan ini ditampakkan ke dunia yang nyata dan riil, atau malah menganggap semua itu sebagai bentuk pengejawantahan saja dari lubuk jiwa yang paling dalam sehingga ditemukan makna-makna yang tersembunyi, yang itu membentuk karakter yang mesti dihayati dan ditafsiri untuk dapat dinikmati sebagai cacahan peristiwa yang detil.
Alangkah susahnya keluar dari apa yang sudah menjadi akrab, kenangan, dan bahasa membuatnya bernilai dan berarti. Berapa pun kata-kata yang dikeluarkan penyair sepenuhnya tidak pernah sia-sia. Kata-kata itu adalah bentuk, adalah gambaran batin si penyair itu. Tidak mungkin ada kata yang memiliki kesamaan makna dengan yang lainnya betapa pun kuatnya belenggu bahasa mengikat dirinya.
Buku kumpulan puisi ini adalah hasil proses kreatif saya dari sejak di kampung halaman sampai melakukan perjalanan ke rantau. Buku yang ada di tangan pembaca ini terdapat sajak-sajak yang saya tulis dari tahun 2005 sampai dengan 2011. Sebagian besar dalam buku ini sudah dipublikasikan di halaman koran, majalah, dan jurnah, serta antologi bersama, seperti: Jawa Pos, Surabaya Pos, kompas, Kedaulatan Rakyat, Jurnal Pagar, Majalah Tilawah, Diorama (bawah pohon), Tikar Pandan di Stinggil (Kosasti), Dzikir Pengantin Taman Sare (bawah pohon), Jurnal Budaya Gerbong, dan Temu Sastra Indonesia IV, dan lain-lain. Namun, tentunya ada banyak sajak yang mengalami proses penyuntingan sehingga ada beberapa yang berubah; yaitu struktur bahasa, pola bahasa, termasuk mengganti judul dan tipografi.
Nah, sebelum saya menyudahi prakata ini, sudah sepatutnya saya mengucapkan banyak terima kasih kepada beberapa pihak yang turut serta memberikan sumbangsih sehingga buku Labuk Dhellika ini bisa ada di tangan pembaca. Ucapan terima kasih, pertama-tama saya sampaikan pada embah RH. Suridah kakek saya yang banyak bercerita tentang hal-hal unik dan dongeng rakyat sebelum saya meninggalkan kampung, semua cerita itu bisa saya tulis ulang —tentu saja dengan menambal sulam di sana-sini dan menjadi sebagian besar isi buku ini. Terima kasih untuk kedua orang tuaku—keluargaku, yang telah rela melepas saya dengan doa. Kepada bapak Ustadi Hamzah, M.Ag. yang sudi memberikan pengantar dan Fahrudin Nasrulloh yang disela-sela kesibukannya menyisakan sedikit waktu untuk menulis epilog yang sarat nuansa metafora dan segar. Terima kasih pula kepada H.U. Mardi Luhung, M. Faizi, Jacky D., Muhammad Al-Fayyadl, yang telah sudi memberikan endorsement.
Oh iya, hampir lupa, buat Mahwi Air Tawar, Alek Subairi, dan kawan-kawan di penerbit Amper Jatim dan Rofa Media Jakarta, yang sudi membantu penerbitan buku ini. Dan kepada semua teman canda dan cerita yang tak bisa saya sebutkan satu persatu, kalian semua adalah yang terbaik.
Salam!
Jakarta, Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar