toampar, jejak memahat dzikir pada pembaringan berpagar batubatu pertapa. warnanya putih ditumbuhi lumutlumut coklat. karangan bunga berceceran di manamana, berkisah tentang maut yang menghidupkan batin para musafir.
(kulihat para musafir itu memuja bhuju’bersemayam di batu pembaringan itu. o mereka terseret pada kesunyian. Katanya, di sana tersimpan air sorga di balik batu nisan rumah pejuang kebenaran.)
toampar, rumah para penegak firman tuhan. di sini embah mannan, ambah suadi, dan embah samiyah menitipkan jejak tentang tanah dan air disucikan. mereka adalah hamba pilihan untuk manusia memuja bendabenda. mengajak manusia kembali pada kekosongan hati—pemujaan yang hakiki. jejak suci mereka tinggalkan di atas bukit kecil tempat mereka bersembunyi untuk mendapatkan pencerahan ilahi.
toampar, tempat mereka menertawakan hidup, menjunjung tinggi martabat dan kebebasan manusia. di sini orangorang mengenal embah hosen; seorang pahlawan sejati –penghuni batu demi harkat dan harga diri.
di toampar ini, para pengikut lebur jadi abu, lalu orangorang mencatatnya dengan airmata dalam doa qudus mereka menghamba.
toampar, tempat orangorang meramaikan kenangan. merubah waktu menyatu dengan bakti, sampai terdengar suarasuara terenggut airmata. entah mendoakan mereka selamat karena terhimpit bumi. di sini musafir berdatangan silih berganti; para musafir itu terusir dari hati yang terbakar hingga mengubur segala impian. merapatlah wahai hakikat. wahai, merasuklah kau dalam denyut kalbu. lebur. leburlah seperti debudebu tak pernah risau diterbangkan angin dan dihinggapkan pada nisannisan—pada ujung nafas yang tak lekang menciumi kasturi.
malam jumat; ruhruh bhĂºjĂº’ berpulang ke tanah asal. pun yang mati akan mengintip matahari menggeser tubuhnya, membenamkan asap pecut yang meliut ke angkasa, tubuh merah kuning melesat dari sela keraktanah kering coklat.
yang berdiam dalam diri—merekam malam di arwah hingga sunyi di hati abai pada
rumah yang gaduh,bertukar nasib, berebut dupa yang disulut demi sang jagat.
Gagasan dan dugaan bermunculan tentang kekerasan dalam agama atau kekerasan yang mengatas namakan agama, terutama sejak merebaknya aksi terorisme 2000/2001. Mendengar Istilah terorisme, mayoritas kita akan memahaminya sebagai bentuk kekerasan dari kubu agama yang menganggap segala sesuatunya yang tidak sejalan dengan nilai-nilai yang mereka pahami sendiri itu adalah salah, atau bahasa akrabnya adalah sesat. Untuk memahami kenapa terorisme bisa terjadi, kenapa agama yang seharusnya menjadi jalan menuju kedamaian (rahmatal lil ‘alamin), malah membawa malapetaka dan bencana bagi pemeluknya atau orang lain?
Kekerasan agama itu seperti tidak akan pernah berakhir, bahkan cenderung dieksploitasi secara politis dan ekonomis oleh oknum-oknum tertentu yang punya kepentingan dan niat buruk mereka agar umat beragama tidak pernah damai. Sebelum kita beranjak lebi jauh, kita pahami dulu eksistensi agama itu sendiri. Kenapa manusia harus beragama?
Agama itu sendiri adalah masalah, dengan argumen bahwa pandangan dunia keagamaan bersifat anakronistik. Pandangan khas mengenai suatu agama sebagai satu-satunya jalan kebenaran, dan yang lainnya salah. Karenanya, agama dipandang tidak relevan, karena berpotensi memecah belah dan merusak. Bukankah klaim kebenaran yang saling bertentangan secara tak terelakkan mengarah pada konflik?
Manusia adalah makhluk yang sesat setelah dibuang oleh Tuhan dari mimpi-mimpinya di surga. Bumi ini gersang dan mengalami pertumpahan darah jauh sebelum manusia itu diciptakan. Maka tidak heran, kenapa kemudian manusia selalu mempersoalkan hal-hal di sekitarnya yang tidak relevan dan tidak benar menurut pengetahuan dan pengalamannya sendiri. Dari sinilah kekerasan itu muncul. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, kepada siapakah manusia itu membela; kepada dirinya? Agamanya? Atau kepada Tuhan? Atau malah kita akan menjatuhkan segara perbuatan di muka bumi ini kepada Tuhan yang menyeting semuanya? Seperti kekerasan Tuhan pada bencana yang menghanguskan banyak nyawa manusia. Seringkali kita terjebak pada bahwa semua itu adalah manusia sendiri, dan tidak berpandangan bahwa di balik semua itu ada orang lain yang menyetingnya, baik itu Tuhan atau oknum lain yang punya kepentingan.
Kita harus memahami betul, sebab dan akibat (kausalitas) segala sesuatunya dari sudut pandang yang berbeda, karena itu adalah perbedaan—manusia berbeda. Dari perbedaan itu kita menemukan makna kebersamaan keragaman. Manusia tercipta berbeda dan untuk perbedaan itu pula; ada kekerasan dan ada pula kedamaian. Ada suka dan ada pula duka. Dan begitu seterusnya.
Saya menganggap bahwa kasus terbesar yang seringkali muncul, yaitu dari dua agama besar di dunia, Kristen dan Islam. Kedua agama ini merupakan yang terbesar di dunia, diperkirakan hampir 1,8 milyar pemeluk Kristen, dan 1,3 milyar pemeluk Islam di dunia. Kisah-kisah yang berbau kekerasan dalam perkembangan kedua agama ini, mungkin yang paling banyak mewarnai sejarah kekerasan dalam garis waktu keagamaan.
Kedua agama itu mempunyai misi yang kuat dalam kedudukan penting untuk mendorong eksklusivisme sempit. Yang saya maksud di sini, tidak berarti agama-agama lain juga tidak pernah terlibat dari garis waktu itu. Ironisnya, terkadang sikap dan perilaku yang ditumbuhkan secara diametris berlawanan dengan inti ajaran yang didakwahkannya.
Dari sini, kita membutuhkan analitis kritis atas masalah inti yang terdapat pada setiap agama. Meski pun banyak anggapan tabu untuk memperdebatkan agama di muka publik, tetapi kegagalan membangun dialog ini berkontribusi cukup signifikan dalam terjadinya konflik yang melahirkan bencana.
Artinya, bila suatu ajaran mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran mutlak. Maka, agama itu telah mengabaikan Ke-Segala-Maha-an Tuhan di atas segalanya. Inilah bentuk yang seringkali manusia itu lupakan. Manusia beragama mayoritas memiliki kebiasaan ketaatan buta dan mendewakan pemimpin keagamaan mereka. Padahal, agama itu sendiri adalah autentik, karena agama itu dari Tuhan yang diciptakan oleh manusia, jika itu diakui kebenarannya. Jadi, agama tidak pernah menafikan intelektualitas dan kebebasan manusia. Apabila ajaran agama tertentu bertentangan dengan akal sehat, membatasi kebebasan intelektual penganutnya, meniadakan integritas individu pengikutnya dengan cara menuntut ketaatan buta terhadap pemimpin karismatik mereka, maka hal itu patut diwaspadai.
Kita bisa lihat pula bahwa agama mulai gandrung merindukan zaman ideal, lalu bertekad merealisasikan zaman tersebut ke dalam zaman sekarang. Ide negara teokratis itu masih berlangsung dan menjadi hantu yang menakutkan di zaman modern ini. Bila agama membenarkan dan membiarkan terjadinya “tujuan yang membenarkan cara”. Pikiran pokoknya ini akan menyalahgunakan komponen dari agama itu sendiri. Agama tak mungkin ada tanpa komponen yang hakiki, seperti ruang dan waktu yang sakral, komunitas dan institusi keagamaan. Komponen tersebut sejatinya adalah sarana, namun dapat dijadikan tujuan, dan untuk mencapainya digunakanlah segala cara. Cara yang tepat untuk dilakukan bagi penulis adalah merealisasikan tujuannya itu, yakni tidak pernah memarjinalkan kelompok tertentu. Kemudian mengajak kelompok lain untuk membantu kelompoknya mencapai tujuannya. Bukan malah mengubah tujuan menjadi sarana, dan memutlakkan sarana hanya sebagai pencapaian tujuan. Memang tidak mudah orang akan bersikap seperti ini, yang sering terjadi sebaliknya. Untuk mempertahankan kebenaran dan mengejar tujuan mereka, biasanya muncullah ide perang. Sejarah tentang perang suci dan aksi teror bisa menunjukkan itu.
Islam sendiri adalah agama perdamaian. Kata islam berasal dari akar kata salama yang artinya “selamat”, ditarik lebih jauh lagi adalah perdamaian, sama seperti ketika kata salam dari bahasa Ibrani shalom yang mempunyai arti juga “perdamaian”. Dalam Islam berulangkali dijelaskan betapa pentingnya jihad melawan diri sendiri, melawan egoisme, dan dosa yang selalu menghuni hati manusia, lebih penting dari pada melawan orang luar.
Di Indonesia, Islam kontemporer tidak terlepas dari latar belakang kesejarahan itu. Bangkitnya semangat keagamaanbelakangan ini tidak muncul begitu saja, melainkan bagian dari perkembangan penguatan karakter Islam terutama setelah Perang Jawa dengan tertangkapnya Pangeran Diponegoro. Raja-raja Jawa Islam pada waktu itu, lebih dekat kepada tradisi Majapahit dari pada tradisi Islam dari semenanjung Arabia. Ini juga yang menjadi dasar munculnya istilah abangan, karena mereka memeluk Islam pada dasarnya atas motif politis dan ekonomis. Dari pada memilih bersekutu dengan Portugis, mereka lebih memilih Johor dan Demak, yang berarti memilih Kristen atau Islam. Situasi ini yang menyebabkan sinkretisme Islam di Indonesia lebih dominan, dan disebutlah sebagai kaum abangan itu. Di satu sisi, ini memberi wacana perdamaian, toleransi, dan persahabatan terhadap ajaran Islam oleh para raja dan masyarakat Jawa waktu itu.
Seperti yang saya singgung di atas bahwa agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan, lebih-lebih di Indonesia akhir-akhir ini. Agama baru menjadi konkret sejauh dihayati oleh pemeluknya. Bisakah memisahkan begitu saja agama dari pemeluknya? Orang menyaksikan bahwa agama sering digunakan sebagai landasan ideologis dan pembenaran simbolis bagi kekerasan. Oleh karena itu, sulit menjawab pertanyaan, bagaimana agama bisa menjadi dasar suatu etika untuk mengatasi kekerasan. Mungkin, upaya transparansi dalam hubungan antar agama bisa membantu memberi landasan etika semacam itu.
Upaya transparansi, pengambilan jarak dan sikap kritis, yakni kerangka penafsiran religius terhadap hubungan sosial (fungsi ideologi), agama sebagai faktor identitas, dan legitimasi etis hubungan sosial.
Agama harus dipahami:
1.Agama sebagai ideologi. Agama menjadi perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan hubungan-hubungan sosial. Sejauh mana suatu tatanan sosial dianggap sebagai representasi religius, yang dikehendaki Tuhan. Masalah ketidakadilan dan kesenjangan menjadi topik panas dalam perspektif ini.
2.Agama sebagai faktor identitas. Hal ini dapat didefinisikan sebagai kepemilikan pada kelompok sosial tertentu. Kepemilikan ini memberi stabilitas sosial, status, pandangan hidup, cara berpikir, dan etos. Ini menjadi lebih kental lagi bila dikombinasikan dengan identitas etnis, yakni Aceh Muslim, Flores Katolik, Bali Hindu, dan sebagainya. pertentangan etnis atau pribadi bisa menjadi konflik antar agama.
3.Agama menjadi legitimasi etis hubungan sosial. Berbeda dengan agama sebagai kerangka penafsiran, mekanisme yang ketiga ini bukan sakralisasi hubungan sosial, tetapi suatu tatanan sosial mendapat dukungan dari agama.
Alhasil, kekerasan dan agama sepintas adalah dua pengertian yang bertolak belakang. Bagaimana agama yang pada dasarnya mendorong umat mengamalkan kasih, kehidupan, dan perdamaian, bisa berdampingan dengan kekerasan? Agama dapat dipakai sebagian orang untuk membahayakan kehidupan orang lain, karena kekerasan inheren dalam agama itu sendiri.
Kekerasan atas nama agama kerap kali terjadi. Kekerasan atas nama agama itu dianggap sebagai sesuatu yang jauh dari nilai-nilai Islam karena Islam menjadikan agama sebagai rahmatal lil alamin atau rahmat bagi sekalian alam yang tidak membolehkan terjadinya kekerasan. Bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang sejak terbentuknya. Sementara negara harus menjaga demi kemakmuran keadilan dan kesejahteraan rakyat, sehingga negara ini harus jauh dari segala bentuk kekerasan atas nama agama. Apabila kekerasan masih terjadi, maka negara itu tidak akan pernah damai dan dapat mengancam persatuan dan kesatuan serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang seharusnya dijaga dan dipertahankan.
Berdasarkan dalil agama dan logika, perbedaan agama dan pandangan keagamaan adalah sebuah keniscayaan yang harus dikelola dengan baik. Jika dikelola dengan baik, maka dapat menjadi rahmat dan memberi kemudahan bagi pemeluk agama, bukan sumber konflik dan perpecahan. Agama datang untuk membawa misi damai dan kasih sayang. Orang beragama itu berdasarkan emosi dan hatinya. Agama berbeda dengan ilmu di mana ilmu dasarnya adalah akal. Karena itu, dengan mudah seseorang akan meninggalkan pendapat ilmiahnya. Tapi agama itu emosi tidak mudah orang meninggalkan agamanya sekaligus orang cepat tersinggung.
Oleh karena itu, negara tidak hanya mengungkap akibat yang muncul dari kasus yang mengatasnamakan agama tapi harus mampu membenahi akar permasalahan yang memunculkan kekerasan itu. Semisal kekerasan yang menimpa komunitas Ahmadiyah, di mana kekerasan agama seolah telah mendapat legitimasi dan ditolerir oleh negara. Bahkan banyak dari masyarakat yang bersikap diam bahkan ada yang seolah-olah menyetujui. Ini sikap pembiaran negara. Kenapa seolah-olah negara gagap menghadapi kekerasan, negara seolah-olah bingung bila berhadapan dengan umat.
Negara seolah-olah bingung jika berhadapan menghadapi yang katanya mewakili umat Islam, padahal umat Islam tidak suka dengan kekerasan. Semua agama menyampaikan pesan-pesan kedamaian. Akibatnya, peristiwa serupa kerab terjadi bahkan telah mengalami peningkatan pada tiap tahunnya.
Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia
Negara Indonesia yang sudah menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi, sepenuhnya belum mampu mengatasi persoalan-persoalan yang terus terjadi pada kelompok-kelompok agama tertentu yang dianggap selalu membikin masalah dengan agamanya sendiri atau pun penganut agama lain serta paham yang berbeda. Adanya perbedaan ini seringkali memicu terjadinya konflik yang disebut sebagai konflik antar agama, lebih sempit lagi orang menyebutnya adalah kekerasan agama.
Bisa kita saksikan, akhir-akhir ini kekerasan di antara para pengikut agama yang sama; semisal ada beberapa kelompok Islam, yang atas nama Islam, mengancam atau bahkan melakukan kekerasan terhadap penganut Islam lainnya. Dan secara tipikal, pelaku ancaman dan kekerasan menganggap kelompok Islam lainnya sudah sesat, menyimpang; seolah kebenaran Islam menjadi monopoli mereka sendiri, atau seolah mereka mengambil alih peran Tuhan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah (baca: konflik).
Hal yang memicu masalah ini adalah bisa disederhanakan dalam perspektif hubungan antar agama, yaitu masih kuatnya rasa saling curiga di antara umat agama berbeda. Masih kuat, misalnya, kecurigaan di kalangan umat Islam, bahwa lembaga, kepemimpinan, dan organisasi Kristiani terus melakukan kristenisasi dengan berbagai cara yang mungkin. Sebaliknya, umat Kristiani mencurigai umat Islam terus berusaha menciptakan negara Islam di Indonesia. Kecurigaan yang kuat di kalangan umat Kristiani tentang hal ini bukan tidak mungkin membuat mereka nervous dan defensif dengan psikologi minoritas tertentu. Lain lagi, belum adanya (bisa dikatakan minim) dialog-dialog yang workable antara kepemimpinan agama level tengah dan bawah. Memang dialog-dialog intra dan antar agama kelihatan terus berlangsung, tetapi—harus diakui—umumnya baru sampai pada level kepemimpinan puncak, di tingkat nasional mau pun daerah. Jarang sekali terjadi dialog-dialog intra dan antar agama pada level tengah dan bawah kepemimpinan agama, yang justru bergerak dan amat berpengaruh terhadap masyarakat tingkat akar bawah. Padahal, kepemimpinan agama pada level inilah yang bisa menghitam putihkan massa, yang bisa membuat massa murka, atau sebaliknya, menjadikan mereka lebih tenang dan beradab.
Adanya pengembangan dialog intra dan antar agama sangatlah penting untuk terus dilakukan, tidak hanya pada level puncak, tetapi juga pada level tengah dan bawah kepemimpinan agama. Memang beberapa daerah provinsi dan kabupaten/kota telah membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), tetapi dialog-dialog yang diselenggarakan FKUB belum tersosialisasikan ke tingkat bawah untuk kemudian bisa menciptakan hubungan intra dan antar umat beragama yang lebih sehat, harmonis, dan dinamis.
Namun, semarak ancaman dan tindakan kekerasan atas nama agama juga karena tidak efektifnya kekuasaan negara. Dalam banyak kasus, terbukti polisi yang terjun dilapangan tidak mampu mencegah terjadinya kekerasan, seperti dalam kasus penyerbuan massa anti Ahmadiyah ke markas Ahmadiyah di Parung atau lokasi Ahmadiyah lainnya. Toh, meski pun polisi dapat menangkap mereka dalam pelaku tindak kekerasan atas nama agama, kemudian diajukan ke pengadilan, tetap tidak mendapat hukuman setimpal dengan tindakan yang telah dilakukan, yang nyata-nyata mengacaukan kehidupan umat beragama dan kehidupan publik pada umumnya.
Agama sendiri mengakui kekerasan sebagai bagian realitas sebuah dunia yang tidak ideal (given reality), dunia insani, dunia yang sarat hawa nafsu dan keberdosaan. Agama tidak membenarkan kekerasan begitu saja. Namun secara fenomenologis, agama-agama formal tidak terlepas dari praktik-praktik kekerasan. Praktik-praktik kekerasan itu secara konstitutif inheren dalam agama-agama formal dengan pemaknaan teologis dan sublimasi. Dengan penghalusan dan peluhuran, kekerasan diarahkan untuk tujuan-tujuan keselamatan (sublimed violence).
Lain dari pada itu juga, sebuah bentuk kekerasan yang terdapat dalam agama adalah hukuman yang dikenakan untuk anggota komunitas umat yang terbukti melanggar ajaran agama, dapat berupa hukuman cambuk, potong lengan, atau rajam. Sublimasi kekerasan yang lebih subtil dijumpai dalam sistem kurban agama-agama. Hewan-hewan tak bersalah dikurbankan dalam suatu ritus demi mencapai sasaran-sasaran rohani seperti untuk meredakan kemarahan Tuhan (appeasement), untuk menebus kesalahan umat (atonement), atau memohon berkat dari Tuhan.
Kekerasan berupa perang yang menghalalkan darah musuh juga termasuk dan untuk yang ini jangkauan serta efeknya mencapai masyarakat luas. Dalam hal yang disebut perang suci, kekejian yang biasa dijumpai dalam perang-perang umumnya juga terjadi seperti pembakaran, perampokan, penjarahan, pembantaian massal, dan kejahatan-kejahatan kemanusiaan lainnya. Bahkan, warga-warga sipil yang tidak terlibat, hanya karena beda agama, dapat menjadi kurban. Praktik-praktik kekerasan ini mendapat pemutihan dan menjadi halal, menjadi kekerasan yang disucikan dalam agama.
Penghayatan akan Yang Ilahi, penentu mati hidup manusia, ternyata dapat menghasilkan semacam religiositas fatalistik, yang membuat umat merasa berhak mewakili Yang Absolut dalam menentukan mati hidup seseorang. Religiusitas fatalistik ini sanggup memotivasi penganut agama untuk melakukan bunuh diri, baik secara kelompok mau pun massal seperti terjadi pada agama-agama yang menekankan dunia sudah diambang kiamat. Bentuk lain religiusitas fatalistik ini adalah ketika kelompok di luarnya dipandang sebagai musuh yang harus dikalahkan atau dibasmi, seperti dalam perang suci.
Di sinilah interpretasi religius berperan amat penting. Tindak-tindak kekerasan dalam Kitab Suci tidak pernah berhenti pada tindakan itu sendiri. Di balik itu selalu terkandung tujuan-tujuan soteriologis, demi efek pengudusan dan keselamatan umat pada masa itu. Karena itu, pembenarannya juga terbatas hanya pada masa itu sebagai event-event yang konstitutif dalam proses kelahiran agama itu sendiri. Karena sifat einmalig-nya itu, maka kasus-kasus kekerasan yang dibenarkan agama saat itu tidak serta-merta menjadi pedoman-pedoman moral yang preskriptif untuk segala masa dan keadaan. Kasus-kasus kekerasan dalam Kitab Suci bukan model untuk menyelesaikan problem-problem sosial, tetapi sebagai event-eventeinmalig, tidak untuk diulangi sebagai kasus, tetapi efek-efek soteriologisnya harus dihadirkan dalam berbagai cara yang kontekstual sesuai masa dan keadaan.
Hal-hal yang mesti dilakukan dalam proses yang mengarah ke transparansi terjadi melalui tiga bentuk pengambilan jarak, yaitu kritik ideologi, dekonstruksi, dan analogi permainan. Bila terbuka terhadap tiga hal ini, agama bisa menjadi dasar etika mengatasi kekerasan, karena ketiga hal itu merupakan bentuk mekanisme kontrol terhadap kesewenang-wenangan penafsiran. Kritik agama yang dilontarkan oleh Marx, Nietzsche dan Freud menyumbang di dalam pemurnian pemahaman agama. Kritik agama ini terbentuk di luar proses hermeneutika, sebagai kritik ideologi, sebagai kritik atas prasangka dan ilusi agama. Terbuka terhadap kritik ini berarti pengakuan adanya serangan dari luar, yang mungkin destruktif, tetapi kemudian diubah menjadi alat otokritik. Jadi yang terjadi adalah kritik itu bukan apologi, tetapi penjinakan serangan tersebut untuk pemurnian pemahaman agama. Sedangkan dengan dekonstruksi, pembaca diajak untuk membongkar ilusi-ilusi, motivasi-motivasi sadar atau tak sadar, serta kepentingan-kepentingan diri dan kelompok.
Agama lain dengan Kitab Suci, teologi, moral, hukum, ritual, dan institusinya itu diterima sebagai teks. Terbuka terhadap penafsiran teks itu berarti diperkaya oleh cakrawala penafsiran yang berbeda; di lain pihak, agama lain bisa menjadi sarana kritik ideologi terhadap agama sendiri. Pernyataan orang muslim yang mempertanyakan teologi Kristen tentang Trinitas sebagai konsep yang sulit didamaikan dengan ke-Esa-an Tuhan, meski pun orang Kristen sama sekali tidak bermaksud menyangkal ke-Esa-an Tuhan, bisa menjadi kritik ideologi. Jawaban atas kritik ini tidak akan berupa apologi. Kritik itu menjadi sarana pemurnian diri, bukan dalam arti mempertanyakan iman itu, tetapi teologi sebagai “fides querens intellectum” (iman yang mencari pendasaran rasional) ditantang mengelaborasi konsep yang lebih memadai.
Demikian juga peran ilmu-ilmu sosial dan filsafat di dalam elaborasi teologi tidak hanya sekadar sebagai hamba teologi, yakni selain membantu memberikan deskripsi dan menjelaskan struktur-struktur logis aspek-aspek manusia, ilmu-ilmu tersebut juga bisa kritis terhadap teologi. Jadi ilmu-ilmu itu dipakai tidak hanya kalau sesuai dengan kepentingan teologi, tetapi bahkan bila kritis terhadapnya. Gagasan sosialisme utopis abad XIX yang sangat kritis terhadap teologi Katolik berguna di dalam elaborasi teologi moral sosial, yakni locus teologi bergeser ke pengalaman nyata, penderitaan buruh di Eropa pada abad XIX.
Balkanisasi dan Kanalisasi
Negara seolah tidak memiliki kemauan politik (political will) dan kapasitas untuk bertindakan tegas guna melindungi setiap dan seluruh warga negaranya dari ancaman dan tindakan kekerasan dari individu atau kelompok warga lainnya. Jika keadaan ini terus berlanjut, bukan hanya kekerasan yang dapat kian merebak di antara umat beragama, bahkan negara sendiri dapat menjadi sebuah negara gagal (failed states). Jika Indonesia menjadi negara gagal, bisa dibayangkan implikasi dan konsekuensi selanjutnya; integrasi negara sulit dipertahankan sehingga seolah menunggu waktu bagi terjadinya apa yang sering disebut sebagai balkanisasi.
Oleh karena itu, dalam konteks hubungan intra dan antar umat beragama, perlu pemulihan kembali kemauan politik dan kapasitas bertindak aparat negara. Jika saya menyarankan perlunya sebuah strong state yang memiliki kemauan politik dan kapasitas untuk melindungi setiap dan seluruh warganya, tidak berarti saya menyetujui kembalinya negara otoriter dan diktatorial di Indonesia, sebaliknya yang saya sarankan adalah negara demokrasi yang kuat karena sesungguhnya demokrasi tidak bisa tegak jika negara memble, tidak berdaya apa-apa melindungi warganya, tidak mampu menegakkan demokrasi. Jelas, hanya dengan kepatuhan pada tata hukum, ketertiban, dan keadaban publik, demokrasi bisa tegak secara lebih otentik.
Tak kurang pentingnya, representasi negara yang diwakili para pejabat dalam berbagai level harus pula senantiasa memperlihatkan komitmennya pada penegakan hukum. Hal ini karena bukan tidak jarang pejabat yang memikul tanggung jawab dalam kehidupan keagamaan, seperti Departemen Agama, tidak memberi garis yang tegas tentang ketidakbolehan melakukan ancaman atau kekerasan terhadap penganut atau kelompok keagamaan tertentu. Sebaliknya, bukan tidak jarang pejabat-pejabat ini mengeluarkan pernyataan dan kebijakan yang justru seolah menjadi justifikasi bagi tindakan-tindakan melanggar hukum itu.
Adanya sublimasi religiusitas, jika itu hanya berhenti sampai di sini, maka menguatlah sikap-sikap fundamentalistik dalam beragama. Religiositas hitam-putih atau either-or ini sepintas mengampanyekan kesetiaan kepada asas-asas fundamen agama, namun sebenarnya yang terjadi adalah penolakan terhadap aplikasi ajaran-ajaran agama dalam konteks komtemporer, sebuah konteks sosial yang sudah jauh berbeda dari masa sublimasi religiusitas hitam-putih. Dengan mengakui sublimasi kekerasannya, tetapi selalu harus dikontekstualisasikan pada setiap masa, di sinilah reinterpretasi Kitab Suci menjadi signifikan dan indispensable. Tindak-tindak kekerasan yang tercatat dalam Kitab Suci dengan demikian tidak begitu saja untuk ditiru dan diterapkan untuk segala masa dan keadaan, terlebih bila perkembangan masyarakat sudah semakin come of age dan kehidupan bermasyarakat sudah diikat hukum-hukum positif. Yang berlaku untuk segala masa dan keadaan hanya nilai-nilai soteriologisnya, yang harus diimplementasikan secara berbeda sesuai perkembangan masa dan keadaan yang sudah tidak sama lagi dengan yang ada dalam Kitab Suci.
Usaha-usaha menghidupkan religiositas either-or dalam masyarakat yang serba pluralistik seperti di Indonesia sebenarnya hanya salah satu bentuk penghadiran agama. Tidak hanya unsur-unsur kekerasannya saja, tetapi nilai-nilai soteriologis dari sublimasi tahap pertama. Keselamatanlah yang harus diamalkan, bukan kehancuran dan kematian. Di sisi lain, agama justeru sering dijadikan alat untuk melegalkan setiap bentuk kekerasan. Ini karena menancapkan pesan ke-Tuhan-an sering diadaptasi secara salah oleh para pemeluk agama itu. Agama pada sisi ini hadir dengan wajah yang sangat menakutkan.
Keselamatan sekaligus ketakutan tentu saja tidak mungkin dipertemukan dalam logika penafsiran dogmatika. Sebab demikian, ambiguisitas ini bisa dibaca sebagai konstruk wacana keagamaan yang tidak bisa hanya berdiam diri di medan supra logika. Agama memang tidak sekedar dogmatika, ia disusun oleh berbagai kekuatan logika penafsiran, mitos, eklektisisme budaya yang dipraksiskan secara massif dan tentu saja mengundang heroisme akan klaim kebenaran. Kekerasan atas nama agama dengan demikian menyiratkan sebentuk penangkapan dan penafsiran pemeluknya terhadap pesan ke-Tuhan-an yang diikuti beragam mitos akan klaim kebenaran.
Saksikan bagaimana heroisnya para moralis yang menerjemahkan kalimat amar makruf nahi munkar dengan cara memporak-porandakan tempat pelacuran, menyerang tempat-tempat yang dianggap sarang maksiat sembari banyak melanggar hak asasi manusia, hak ekonomi, hak politik, bahkan hak-hak perempuan. Bagaimana mungkin teologi keberagamaan ditegakkan di atas pelecehan hak asasi, dan hilangnya sumber pencaharian sebagaian orang yang dikafirkan? Wacana keagamaan pada gilirannya menjadi sedemikian harmonis dengan perilaku kekerasan para pemeluknya. Paradoksal ini seperti sebuah langkah kompromi terhadap kekerasan, yang dihalalkan untuk menegakkan supremasi ke-Tuhan-an.
Padahal mengawinkan kesucian dogmatika dengan kekerasan ternyata tidak hanya bertentangan dengan nalar keagamaan sendiri, lebih menyesatkan lagi, ini melanggar hakikat kemanusiaan. Pada saatnya, tidak menuntut kemungkinan agama akan diabtraksikan sebagai utopia cita-cita hidup yang penuh dengan keselamatan. Agama kemudian tidak sekedar dijalankan dalam kerangka pemahaman yang sangat sempit, justeru perilaku keberagamaan akan semakin meninggalkan subtansi penegakan teologi di tengah-tengah perkembangan kebudayaan yang begitu cepat. Dogmatika, perilaku keagamaan, dan perkembangan budaya pada gilirannya menampilkan sebuah dialog asimetris.
Dogmatika agama tidak hanya gagal di tataran inklusivisme antar teks keagamaan, lebih tragis perkembangan semakin mengekspresikan sikapnya yang antipati terhadap berbagai keberatan dogmatik. Ini harga mahal yang harus dibayar manakala agama ditampilkan dengan wajah yang menakutkan. Banyak dimensi agama yang terberangus akibat anarkisme pemeluknya yang kurang arif menyikapi dinamika budaya.
Pembongkaran terhadap ilusi, kepentingan pribadi atau kelompok, serta motivasi bermanfaat untuk menghindarkan dari penyalahgunaan agama. Ilusi yang dibangun cenderung ke pembentukan kelompok eksklusif. Eksklusivitas biasanya berdalih melindungi diri dari kontaminasi dan menjaga kemurnian ajaran. Setiap penafsiran bekerja dalam lingkup yang terbatas, tetapi ilusi membatasi lagi lingkup itu dari kemungkinan-kemungkinan penafsiran. Ilusi itu tidak transparan. Sesuatu yang berbeda atau baru tidak diterima bila tidak sesuai dengan tipe-tipe yang dimiliki. Pembongkaran melalui reinterpretasi teks, kritis, dan kontekstual, perlu agar lebih terbuka. Dengan cara ini, ajaran diterima atas dasar kebebasan, bukan paksaan atau conditioning.
Pembongkaran juga dilakukan untuk membuka kedok penafsiran yang menyembunyikan kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok. Penyembunyian kepentingan ini terkait dengan peran integrasi agama dan peran dominasi. Apa yang ditafsirkan dan mendapat pembenaran dari agama adalah hubungan kekuasaan, yaitu setiap kekuasaan selalu mencari legitimasi. Kekuasaan menuntut lebih dari keyakinan yang kita miliki. Untuk mengisi kekurangannya, agama berperan sebagai sistem pembenaran dominasi. Dengan pembongkaran ini setidak-tidaknya kepentingan yang disembunyikan itu tampil di dalam kesadaran bahwa masalah dilokalisir agar tidak mengatasnamakan agama. Manipulasi agama dibongkar sehingga potensi konflik dipersempit.
Relevansi pengambilan jarak yang mengambil bentuk analogi permainan dalam hubungan antar-agama, terletak di dalam upaya untuk menciptakan peluang bagi perjumpaan-perjumpaan informal yang memberi ruang untuk perjumpaan antarpribadi, seperti olahraga, teater, musik, dan sebagainya. Sayang, bahkan kegiatan-kegiatan yang bersifat hiburan dan olahraga pun cenderung dijadikan alat segregasi sosial, di mana permainan hanya diorganisir untuk pemeluk agama tertentu. Segregasi sosial atas dasar agama sejak masih kanak-kanak menyuburkan prasangka-prasangka negatif. Penolakan terhadap yang berbeda agama bisa datang dari kebiasaan hanya mau bergaul dengan yang beragama sama. Kemampuan komunikasi menjadi terbatas, paradigma pluralisme dikerdilkan.
Oleh karenanya, semua bentuk monopoli kebenaran dipertanyakan karena makna teks terlalu kaya untuk direduksi menjadi satu kebenaran. Prinsip ini bisa mendasari penerimaan pluralisme, yaitu pluralisme merupakan sarana untuk mengungkapkan kepenuhan misteri Tuhan. Tuhan terlalu kaya, dalam arti tidak bisa dibatasi, sehingga tidak mungkin hanya satu tradisi pengalaman beragama dapat mengungkap dan menggambarkan secara menyeluruh kepenuhannya.
Pendasaran teologis seperti ini sungguh-sungguh menghormati agama-agama lain dalam kekhasan dan nilai-nilai mereka. Kekhasan suatu agama tidak identik dengan masalah superioritas. Dengan tetap menghormati identitas agama lain, suatu agama ditantang untuk menjawab pesan yang diterima dari agama-agama lain. Jadi perbedaan merupakan tantangan untuk dijawab. Upaya menjawab tantangan ini mendewasakan agama sebagai lembaga sosial-sejarawi.
Menjadikan agama sebagai landasan etika yang mengatasi kekerasan, bukan utopi tanpa dasar karena semakin terasahlah kemampuan para pemeluk agama-agama untuk menjalin hubungan dengan yang berbeda. E Levinas, filsuf Perancis, dengan indah merumuskan, hubungan tidak menetralisasi yang lain, tetapi memelihara yang lain. Yang lain sebagai yang berbeda bukan menjadi obyek yang menjadi milik kita atau menjadi kita, tetapi menarik diri dalam misterinya.
Maka, mempraktikkan kekerasan dengan simbol agama dalam menyelesaikan konflik sosial, dapat meningkatkan kekerasan balasan secara eskalatif (spiral kekerasan), dan pada akhirnya menjadikan agama sebagai bagian persoalan, bukan bagian dari solusi. Memakai slogan-slogan agama dan kekuatan massa untuk menyelesaikan masalah hukum sama saja dengan menggerogoti wibawa hukum itu sendiri. Padahal, ajaran agama sejalan dengan cita-cita negara hukum di mana setiap warga negara sama kedudukannya berhadapan dengan hukum. Di hadapan Tuhan setiap makhluk insani juga sama. Yang Mahakuasa tidak akan membeda-bedakan pahala dan ganjaran bagi makhluk-Nya.
Berangkat dari karakteristik demokratis ini, kanalisasi kekerasan di dalam agama harus disalurkan dalam koridor hukum positif tanpa main hakim sendiri. Biarlah energi dari absolutisme religiositas diarahkan secara horizontal dengan proporsional dan tidak emosional. Bila demikian, energi dari religiositas akan ikut membangun praktik-praktik negara hukum, tidak mencederai citra negara hukum dengan menimbulkan keresahan dan ketidakpastian hukum yang baru.
Pada dimensi ideologis, agama yang terlanjur diideologikan juga bersinggungan dengan ideologi kemanusiaan yang sifatnya universal. Agama yang sering ditampilkan secara tidak ramah di tengah-tengah ketimpangan sosial, secara ideologis dianggap cacat karena mengabaikan kemanusiaan atas nama kesucian dogmatika.
Dalam sepanjang sejarah, perang, konflik, pertikaian antar agama lebih dilatari oleh perebutan kebenaran. Kebenaran dalam konteks ini tentu kebenaran menurut pemahaman dan interpretasi masing-masing agama. Dalam ranah ini, kebenaran dimaksudkan sebagai upaya untuk mengukuhkan superioritas agama tersebut untuk melegitimasi eksistensinya sebagai sebuah agama yang paling benar dari pada yang lain. Maka kebenaran itu harus dijaga, dipertahankan dan di tempatkan sebagai sesuatu yang tak terjamah dan tak tersentuh oleh siapa pun.
Tidak sekedar pola pertahanan secara defensif dan tertutup ini, namun yang lebih fatal lagi kebenaran yang dibentengi itu dipakai untuk menghakimi dan merendahkan kebenaran agama lain. Pun juga, dalam konteks tertentu–jika suatu agama itu jumlahnya terbesar dalam tempat tertentu—maka kebenarannya coba dipaksakan menjadi kebenaran tunggal yang harus juga diakui dan diterima oleh agama lain. Persis pada titik inilah, jalan apa pun bisa dipakai, termasuk kekerasan, dengan atas nama kebenaran agama.
Ada sesuatu yang dasar dari situ. Pertama, agama merupakan teks pasif. Artinya, nilai-nilai agama baru akan terlihat apabila diaplikasikan oleh manusia. Dengan demikian, manusia punya posisi penting dalam menghidupkan agama. Kondisi keyakinan dan pemahaman manusia terhadap realitas yang berbeda-beda menyebabkan adanya interpretasi bias terhadap teks agama. Dengan demikian, sangat terbuka munculnya tafsir-tafsir yang mungkin tidak sesuai dengan pokok ajaran agama. Ingat sebuah tafsir tidak mungkin melompati rezim kuasa-pengetahuan, latar sosio-kultur dan politik. Maka, proses penafsiran bisa di sesuaikan dengan kepentingan. Kemudian adanya hegemoni di dalam masyarakat, yang menempatkan orang-orang berilmu sebagai kelompok dominan. Agama hanya direpresentasi oleh segelintir orang, yang sekaligus dijadikan rujukan oleh masyarakat.
Di sini posisi dan sikap negara yang ambigu. Satu sisi negara menjamin kebebasan berkeyakinan seperti yang tertuang dalam UUD 1945, Pasal 28E ayat (2). Namun sisi lain, agama tidak sekedar mengabaikan konstitusi tersebut tapi lebih jauh lagi, dalam beberapa kasus, negara justru memperlihatkan kebengisannya dengan merampas keyakinan warganya. Hasrat negara untuk berselingkuh dengan ruang agama tampaknya begitu besar. Hal ini yang menyebabkan relasi Agama-Negara menjadi kabur dan berkelit-kelindang.
Persoalan agama memang menjadi sangat pelik dan sensitif sekaligus membahayakan. Jika agama dipahami dengan spirit pluralisme yang ditambatkan pada nilai universal, maka agama akan menjadi jalan keselamatan. Namun jika agama dipahami secara kaku, untuk menggelar kekuasaan, maka agama akan jadi sumber konflik.[ ]