Jejak
Tuhan
Kisah Pencarian
Kebenaran; Agama, Tuhan, dan Birahi
Sekelompok mahasiswa yang ingin menemukan kebenaran dan
bertemu dengan Tuhan, dengan usahanya dalam berkomunitas yang mereka bikin. Ada
banyak cara yang mereka lakukan, yaitu dari diskusi, konsultasi, membaca
buku-buku agama dan filsafat, sampai pada titik yang paling banal pun mereka
silami untuk dapat tenggelam dalam diri Tuhan itu.
Setelah sekian lama berdiam, menyepi, menyendiri. Ruangan
kamar berantakan dengan buku-buku. Ia semakin tak yakin dengan posisinya
sendiri dalam beragama. Entah. Ia ingin mencari sesuatu yang entah tak pernah
dipelajari dalam agamanya sendiri atau menutup kebenaran agama yang sama sekali
ia ragukan keberadaannya.
Waktu menghendaki ruang kosong. Kembali kepada kekosongan.
Memulai menghitung dari titik nol dalam mempertanyakan sebuah wujud dari tiada.
Jiwa-jiwa yang rindu akan ruang yang tak terbatas itu. Menjadikan sesuatu dalam
pemikiran yang dapat diterima dalam ruang kosong. Menyatu jadi lebur. Lebur dan
lebur. Sampai kembali kepada titik nol sebagai angka keabadian dari jejak yang
asing dan terasing, meski air mata menjdi tumbal kebencian dan kekuasaan.
Malam itu mereka bersepakat mencari Tuhan lewat selangkangan
perempuan, sebab mereka meyakini bahwa di selangkangan itulah jalan menuju
Tuhan, kembali ke pembahasan awal mereka tempo dulu saat membikin forum
pembukaan Komunitasnya, Majlis KAFI. Dengan yakin, di sanalah sumber segala
sesuatu dan perkembangan manusia mulai dikeluarkan. Hari-hari tak lagi
memuaskan dalam pencehariannya. Ada banyak hal yang telah mereka lakukan, tidak
hanya lewat perdebatan, tapi dengan cara mencari hal-hal yang unik dan ajaib,
yang dianggap memiliki kekuatan yang tak pernah mereka miliki sebelumnya, dan mereka
ketahui sebelumnya. Semua itu dianggap sebagai jalan menuju Tuhan.
Hal-hal baru yang tak pernah mereka ketahui itu membuat
mereka mengabaikan hal-hal lama yang sudah mereka yakini (dipakai). Persoalan
sebelumnya akan menjadi hilang begitu saja, seperti orang mencampakkan sesuatu
tanpa ada beban dan rasa kasihan sedikit pun pada yang ditinggalkan. Yang
terpenting, mereka terus berproses, memfungsikan otak yang masih sehat dan
terus mencari hal-hal baru sebagai ajang dan bahan dalam diskusi mereka setiap
hari.
“Tidak sembarang orang akan memiliki benda seperti ini,”
ucap Hijriyan kepada yang lain. Mereka tersenyum terkagum-kagum sambil
membolak-balik cincin dan batu yang baru saja mereka peroleh dari salah seorang
dukun yang mereka temui di salah satu rumah dekat kontrakkannya. Tapi, menjadi
berbeda pemahamannya kemudian. Benda itu dijadikan salah satu alat untuk
mengantarkan mereka menuju Tuhan. Kekuatan itulah kekuatan Tuhan yang
diletakkan pada benda.
Tidak hanya wacana yang dikenal pada diri orang-orang Majlis
KAFI itu, akan tetapi kegilaan mereka juga tidak lepas sebagai ciri khas mereka
di mana-mana. Mereka tidak pernah menghiraukan hal baik atau buruk, apa pun
yang orang lain bicarakan tentang mereka juga tidak menghiraukan. Mereka terus
berjalan sesuai dengan keinginannya, bahkan mereka senang sekali ketika orang
banyak membicarakan mereka. Mereka semakin bangga diri, semakin besar diri
ketika berbicara di tempat-tempat umum.
Mereka terus berjalan di atas kegamangan dan kejujuran dalam
kebodohan. Meniti cinta di atas cinta—di sana perempuan berlari-lari,
mengucapkan kalimat gengsi, karena mereka tak pernah tahu pada diri; diri yang
tak pernah tahu mandi, menjijikkan, bau. Ah, perempuan yang mana yang mau
dilihat kemaluannya sama orang lain.
Dari perbuatan mereka yang senonoh itu. Hampir semua
perempuan di kampus merasa takut dan terganggu saat ada mereka. Perempuan sudah
banyak menganggap mereka sudah gila, sinting, miring, atau paling tidak mereka
sudah kesurupan.
Namun, mereka akhirnya sepakat memilih mengunjungi tempat yang
hanya dihuni perempuan saja di kawasan dekat Stasiun, melakukan acak-acakan
dimensi dalam ruang. Dengan rasa ingin tahu untuk segera bertemu Tuhan di sana.
Mereka terus berlarian ke arah gang, sambil berucap, “aku datang untukmu,
tuhan.”
Setelah mereka sampai di sebuah keramaian itu. Tubuh
tersengat bau-bau wewangian yang tertebar di seluruh gang dan ruangan.
Tangan-tangan nakal perempuan menarik-narik baju mereka yang masih berjalan ke
arah mata yang masih saja bingung, kenapa dan yang mana untuk mereka temui di
antara salah satu perempuan-perempuan yang ada. Semuanya terlihat cemerlang dan
terlalu indah semenjak mereka temui.
“Mas…” kata salah satu perempuan sambil menarik tangan
Hijriyan.
“Di sini aja, Mas,” yang satunya mencubit pipi Naen yang
kelihatan imut. Membuat perempuan bikin gemes melihatnya. Sementara Jhoni
terlihat sudah mengadakan bincang-bincang dengan perempuan di bagian pojok gang
ke tiga dari arah selatan.
Mereka seakan tak tahu harus berbuat apa, apa yang mereka
niatkan dari awal lepas dari angan-angannya. Kosong. Hanya bau harum wewangi
yang membuat pikiran mereka melayang-layang. Tubuh gemetar, seperti orang
ber-amarah ketika mau menghadapi perang. Lalu mereka memasuki ruangan remang
masing-masing perempuannya. Pintu ditutup. Suara-suara seruling mengantarkan
mereka pada bau kasur dan guling di ranjang. Bau-bau harum anggur nyengat
hidungnya melayang-layang. Tergapai seluruh ruangan menjadi cerita malam.
Di gang dekat Stasiun itu, mereka masih belum kelihatan
keluar dan beranjak dari tempat semula. Mereka bertiga kelihatan bingung dan
saling bingung. Kepala merunduk. Mata melirik. Hijriyan mengeluarkan air mata
pelan. Kakinya diluruskan ke depan dalam posisi duduk. Tangannya diletakkan di
atas lututnya, sambil memupuk-mupuk lututnya.
“Ada apa, Yan? Kamu nangis? Kenapa mukamu jadi sedih, gitu?”
tanya Naen, melihat Hijriyan yang tiba-tiba jadi lemas.
“Ibu…ku.. me..ninggal,” jawabnya sedih tergopoh-gopoh. Air
matanya semakin bercucuran deras. Aneh, orang-orang pada melihatnya, ada cowok
jantan menangis di tengah-tengah keramaian malam. Hijriyan jadi bahan tontonan
banyak perempuan.
“Saya ikut sedih, Kawan. Saya ikut berduka cita. Sudahlah.
Ayo, kita bareng-bareng ke sana. Kita pulang sekarang,” kata Naen, juga
ikut-ikutan sedih.
Hijriyan mengangguk. Lalu, mereka langsung bergagas pulang
dari gang itu. Sesampainya di kontrakan, mereka langsung beres-beres
pakaiannya, persiapan untuk pulang.
Sesampainya, melihat tanah merah yang masih basah. Hijriyan
tiba-tiba lepas dari genggaman Setiyani, adik kandungnya, dan melompat di atas
makam ibunya. Dipeluknya batu nisan. Diciumnya berulang kali. Tak ingat
apa-apa. Tangan mengelus-ngelus di gundukan tanah mereh itu. Lama, suasana
menjadi sunyi. Mereka kaget dan tertegun menatap Hijriyan. Pipinya menempel di
ujung nisan. Tak ada suara apa-apa lagi yang keluar dari mulutnya.
Tiba-tiba senja di ufuk barat menyeret air mata mereka
masing masing. Terlihat pak Herwanto, ayah Hijriyan, dan Setiyani pingsan
ketika sampai di pemakaman itu. Ada apa dengan diri mereka? Naen dan Jhoni
kebingungan mau berbuat apa dan bagaimana dengan keadaan mereka yang tiba-tiba
tergeletak pingsan di depan Hijriyan.
Senja melepas dirinya pada malam. Malam semakin gelap.
Mereka kehilangan arah di tengah-tengan pemakaman itu. Tak ada jalan. Mereka
bingung mau membawa mereka pulang ke rumahnya. Ah, mereka sedikit takut dengan
suasana petang itu, apalagi melihat mereka yang lain tergeletak pas di depan
mata.
Mereka berusaha menyadarkan mereka yang pingsan. Dipijatnya
urat-urat yang dianggap membuat mereka sadar. Namun, juga tidak ada hasil. Lama
mereka menunggu sadar mereka. Angin mengelus-ngelus tubuh mereka yang merinding
ketakutan, kalau-kalau ada hantu dan pocong tiba-tiba bangun dari salah satu
kuburan yang ada si situ. Mereka terus merasakan kekhawatiran dan takut. Hampir
satu jam mereka menunggu mereka sadar dari tidurnya.
Mereka temui malam tanpa bulan. Bintang-bintang terselimuti
awan. Kabut-kabut melempar diri pada embun meneteskan air mata. Keadaan sunyi,
sesunyi mereka menatap nisan-nisan itu berbaris-baris, hanya suara-suara tangis
pak Herwanto dan Setiyani menggopoh-gopoh memeluk Hijriyan. Hijriyan tersungkur
bersujud ke gundukan tanah ibunya. Al-Qur’an terbuka tetap dipegangi erat di
tangannya.
Naen dan Jhoni sendiri belum tahu apa yang terjadi
sebenarnya di antara mereka itu. Dari tadi mereka hanya kaget dan takut. Tidak
ada pikiran yang terlintas melihat keadaan mereka, sampai mereka itu terbangun.
Lebih dikagetkan lagi ketika mereka menangis memeluk Hijriyan. Tak ada sapa dan
tawa, semua menangis.[ ]